Teologi pembebasan dalam konteks pemikiran Islam kontemporer muncul ke permukaan sebagai suatu keniscayaan sejarah. Pembahasan ini menjadi penting seiring munculnya beragam ketimpangan seperti keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan masyarakat Islam dibandingkan dengan non-Islam.
Banyak pemikir Islam kontemporer merasa gelisah dan berusaha mencari penyelesaian atas realitas yang dihadapi masyarakat Islam. Asghar Ali Engineer satu di antara banyak pemikir Islam kontemporer, dan pelopor yang menawarkan paradigma pembebasan ke dalam teologi, yang ditransformasikan menjadi tiga konsep kerangka praksis, yaitu tauhid, iman, dan jihad.
Tersebarnya Islam oleh nabi Muhammad saw. dengan seluruh prosesnya merupakan sebuah revolusi. Selama berabad-abad Islam telah berperan secara sangat signifikan dalam panggung sejarah kehidupan umat manusia.
Islam hadir untuk menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan demi tercapainya satu masyarakat yang ideal menurut Islam.
Dengan demikian Islam bermakna sebagai pembebas, yaitu membebaskan manusia dari kondisi-kondisi ketidakadilan.
Hal ini sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. yang menggugat kondisi ketidakadilan di tengah masyarakat, bangsa dan negara.
Asghar merupakan tipe pemikir yang tergugah untuk melakukan reinterpretasi bahkan dekonstruksi terhadap ajaran Islam. Asghar berpendapat jika ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Oleh karena itu dia terkenal sebagai penggagas teologi pembebasan, seperti ditulis dalam buku Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro (Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2003)
Konsep Islam tentang Teologi Pembebasan
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi bagi sekalian alam terutama untuk umat manusia. Islam adalah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan bagi yang mengancam struktur menindas saat ini.
Tujuan dasarnya sebagai persaudaraan yang universal, kesejahteraan dan keadilan sosial. Untuk itulah Islam sangat menekankan kesatuan manusia. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Quran surah Al-Hujurat: 13.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal)
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan bahwa kesatuan asal usul manusia menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan. Tidak diperbolehkan seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku, atau warna kulit dengan lainnya, tetapi juga antar jenis kelamin mereka.
Selain itu, ayat di atas secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga. Sebuah penegasan dan desahan tentang pentingnya kesalehan.
Mengutip Quraisy Shihab dalam buku Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002: hal 261), kesalehan yang dibahas tidak hanya kesalehan ritual, tetapi juga kesalehan sosial.
Selain itu, Islam juga sangat mementingkan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah, dan menderita, serta memberi kesempatan pada mereka untuk menjadi pemimpin.
Karena itu, Islam tidak segan-segan mendelegasikan kepemimpinan seluruh dunia kepada mustadh’afin (orang yang lemah).
Tauhid dan Kesatuan Manusia
Menurut Engineer, teologi pembebasan merupakan teologi yang menerima tauhid tidak sekedar sebagai pernyataan tentang keesaan Allah. Namun, sekaligus juga kesatuan manusia dalam semua hal.
Jika manusia berbeda-beda, mereka tidak akan dikelompokkan atas dasar, kebangsaan, suku, dan ras, dan bukan untuk saling bermusuhan serta menghancurkan kedamaian dan keharmonisan.
Namun keberagaman dan perbedaan ini menjadi sarana untuk mengidentifikasi diri dan saling mengenal.
Agama adalah fenomena spiritual umat manusia, dengan demikian pintu dialog terbuka antar agama-agama yang ada.
Spiritualitas sebagai gerbang dialog yang dibuka oleh Asghar Ali bukanlah spiritualitas yang kering sehingga statis dan menutup gerbang itu sendiri.
Spiritualitas itu sarat dengan nilai religius serta implikasi-implikasi etis yang sangat mendalam sehingga memungkinkan terjadinya dialog antar semua agama yang ada.
Kemungkinan itu berarti pula bahwa di luar kerangka ideologis, yakni dalam pengalaman keagamaan, terdapat kemungkinan dialog.
Teologi pembebasan Asghar Ali menetapkan, perbedaan agama tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk menciptakan konflik. Sehingga menutup pintu dialog antar penganut agama yang berbeda.
AI-Qur’an selalu memuji seseorang yang berjuang demi haknya. Teks “jihad” adalah pembenaran dalam melindungi orang lemah dan tertindas serta pertahanan diri terhadap agresi.
Teologi pembebasan Asghar Ali selalu diturunkan dari hukum Islam dan sangat penting dalam kerangka aksi bersama dengan agama-agama Asia, sebagaimana muncul dalam teologi Dalit di India, teologi perlawanan rakyat Filipina di Filipina, teologi Minjung di Korea, dan teologi Buddhadasa di Thailand.
Islam harus ditampilkan sebagai agama yang penuh dengan keterbukaan, toleransi dan respek pada agama lain (Ahmad Kursani dalamTeologi Pembebasan dalam Islam 2011:58).
Tidak dapat dihindari oleh siapa pun bahwa selalu ada ketegangan antara yang real (asli) dan yang mungkin dalam hidup manusia.
Teologi tradisional dalam mengatasi ketegangan itu, sebagaimana telah disinggung pada uraian di atas selalu berkompromi pada yang real dengan menggunakan istilah Al-Qur’an yang mendukung.
Sebaliknya, teologi pembebasan berusaha untuk memperkuat ketegangan dengan menekan pada yang mungkin dan berjuang menghadapi realitas yang ada untuk menjadikan terbuka ke arah kemungkinan-kemungkinan baru.
Teologi pembebasan Asghar Ali berdasar pada yang mungkin. Teologi pembebasan itu adalah teologi yang mengusahakan untuk meningkatkan derajat kebebasan baik untuk individu maupun untuk kolektif (kelompok, masyarakat atau bangsa) dengan cara mengurangi eksploitasi ekonomi.
Upaya itupun harus diwujudkan melalui sosialisasi sarana produksi, pelarangan akumulasi kekayaan, penindakan secara hukum atas praktek riba’.
Ahmad Kursani dalam bukunya Teologi Pembebasan dalam Islam (2011:65) menjelaskan jika pembentukan institusi-institusi tepat untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat, sebagaimana telah digariskan dalam Al-Qur’an.
Pada akhirnya dapat dipahami jika, Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir Islam kontemporer yang terkenal dan merupakan seorang aktivis sosial di India. Ia mempunyai perhatian besar terhadap problem-problem sosial.
Teologi pembebasan yang dipelopori Engineer ini merupakan usulan kreatif yang mengaitkan antara pentingnya paradigma baru dalam teologi yang memerangi penindasan dalam struktur sosio-ekonomi.
Paradigma ini dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena. Mulai dari arogansi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat, hingga diskriminasi pada warna kulit, bangsa atau jenis kelamin.
Yang cukup parah adalah penumpukan kekayaan serta pemusatan kekuasaan dalam realitas masyarakat kontemporer. (MAAL)