Hidup antarbangsa, kadang juga berlaku apa yang dikatakan pepatah Jawa: wang sinawang. Kita lihat bangsa lain hebat, padahal bangsa lain itu lihat kita sebenarnya yang “hebat”.
Sekira sepuluhan tahun lalu, nyelonong ke dalam alamat email resmi kantor kami sebuah surat dari seorang perempuan asal Korea. Ia memperkenalkan diri sebagai seorang dosen pengajar antropologi di sebuah universitas di Seoul. Dia bilang dapat nama dan alamat lembaga kami dari seorang teman.
Ia menanyakan apakah mungkin ia bisa mengirimkan anaknya untuk ikut magang di lembaga kami selama satu bulanan? Magang bagaimana dan belajar ilmu apa? Untuk mengenal dan belajar kehidupan masyarakat Indonesia, jawabnya. Masih kabur bagi kami apa maunya sebenarnya.
Oh ya, si nyonya korea ini, demikian kita sebut, adalah seorang doktor bidang antropologi. Ia menyelesaikan S3 dengan disertasi mengenai kehidupan kaum perempuan di Jawa, tepatnya di Klaten. Ia mengaku sempat tinggal lebih dari setahun di sebuah desa di Klaten untuk kepentingan riset doktoralnya tersebut. Kami jadi maklum dengan kefasihan si nyonya Korea ini menulis surat dalam bahasa Indonesia yang cukup bagus.
Nah kembali ke si anak yang hendak ia magangkan. Ia ingin, katanya, anaknya belajar betapa indah dan menariknya kehidupan santai, tidak grusa-grusu, dan serawung orang Jawa yang ia lihat selama riset. Ia percaya orang Jawa juga rajin bekerja. Tapi yang ia terpukau, meski bekerja keras, orang Jawa selalu punya waktu leha-leha dan santai di sela-sela hari yang melelahkan. Tidak harus menunggu akhir minggu, tidak mesti menunggu hari libur, dan tidak harus makan banyak beaya. Orang Jawa duduk-duduk santai di langgar sehabis shalat berjamaah, duduk-duduk ngobrol di angkringan dan pos siskamling, dan atau bercengkerama di teras rumah.
Karena itulah ia bilang ke anaknya, ada lho suatu masyarakat-bangsa, yang suka kerja keras tapi tak melupakan pentingnya bersantai. Dan ia mengusulkan perlunya si anak belajar hidup santai ini dengan masyarakat bangsa tersebut. Dan rupanya si anak setuju.
Nah mengapa ke lembaga kami? Kebetulan waktu itu, kami punya program pendampingan anak-anak muda setingkat SMU. Anak-anak muda ini datang dari berbagai latar sekolah, agama, kelas, dan lain-lain. Mereka kami ajak latihan menulis (creative writing) dan membuat film (film making). Untuk melakukan kedua kegiatan itu, mereka sering bertemu dan menemui banyak kalangan masyarakat, mulai pembuat tempe, pengamen, penjaga kuburan, dan lain-lain. Kantor kami ketika itu dijadikan markas berkumpul yang sepanjang hari dan malam selalu ramai.
Dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya menerima permintaan nyonya Korea itu. Sebulan kemudian si anak datang dengan diantar ibunya. Ia lelaki muda, usia sekitar 16an tahun, tubuh tinggi, dengan wajah Koreanya yang tipikal. Ia kemudian ambil kos sekitar kantor kami, dan si ibu pulang. Sementara kami agak sedikit cemas, apa dia bisa beradaptasi.
Sesuai pesan si ibu, maka anak itu kami lepas saja bergaul, berteman, dan bergabung dengan anak-anak muda ini. Pokoknya, kata si ibu, apa yang dimakan anak-anak sini, anak itu juga ikut makan, apa yang diminum, anak itu juga turut minum, dan apa yang dilakukan anak-anak di sini, anaknya juga harus lakukan.
Maka si anak pun jadi anak sini. Ketika anak-anak muda ini makan di angkringan dia juga ke angkringan, ketika anak-anak muda ini main futsal, dia juga ikut, ketika anak-anak muda ini gitaran, dia juga ikut serta, dan ketika anak-anak ini “bekerja”; riset lapangan, observasi para waria yang jadi pengamen atau wawancara pembuat tempe, ia juga selalu terlibat. Pokoknya ke mana anak-anak ini pergi, ia ikut dan apa yang anak-anak muda lakukan, ia juga turut lakukan. Tentu saja ini ilmu dasar seorang antropolog yg mau ke lapangan.
Dan sebulan lebih seminggu berlalu, ia benar-benar enjoy dan menikmati. Ia sungguh-sungguh “going native.” Tak ada insiden yang bikin khawatir. Kemudian datanglah si nyonya Korea menjemputnya. Sebelumnya si nyonya Korea bilang akan mengajak kami untuk berbuka puasa (kebetulan waktu itu awal Ramadan) dan minta dicarikan sebuah rumah makan.
Nyonya Korea mentraktir kami dan sebelum makan berakhir ia menyerahkan sebuah amplop berisi uang. Lho uang untuk apa? Nyonya Korea itu mengucapkan itu sebagai tanda terima kasih. Dia bilang, anaknya sangat senang sekali dan banyak belajar. Bahkan anaknya sempat bilang mau tambah dua minggu lagi. Tetapi itu tidak mungkin, karena dia sudah harus masuk sekolah lagi.
Dalam obrolan kami yang cukup panjang, tampak sekali si nyonya Korea ini benar-benar mengagumi budaya hidup santai di sini. Berulang-ulang dia bilang, kalian jangan kehilangan budaya santai ini. Di Korea, segala sesuatu harus ketat, pasti, dan akhirnya dalam hal kaku. Kompetisi sangat kuat sekali. Sekali Anda melakukan kesalahan, maka itu seperti sebuah kematian. Hidup sangat tidak manusiawi. Banyak orang yang stress dan bunuh diri.
Demikian, sekadar cerita. Ini dulu, ya dulu sekali. Waktu itu, Negara ini belum dirudal dengan drakor. Pentingnya kerja keras belum lagi jadi khotbah para pejabat dan pengusaha. Dan segelintir politisi belum membakar lumbung padi dan mendirikan di atasnya rumah ibadah.
Santai adalah hak setiap insan. Hak kaum buruh, petani, pekerja serabutan dll. Santai adalah kemewahan. Tapi kapitalisme merampas hak dan kemewahan ini. Santai dianggap kelemahan, kekurangan, penyakit, dan lain-lain. Mengambil lagi santai itu adalah mengembalikan kehidupan pada tempatnya.
Anda yang masih menganggap santai itu penting, dengan terus bekerja, tapi waspada untuk ‘tidak dikerjain kerja’ mengutip penyair Joko Pinurbo, berbahagialah, karena itulah kebahagiaan jiwa dan batin.
Toh hidup memang cari apa?