Hubbun berasal dari bahasa arab, maknanya adalah cinta. Hubbul wathon, cinta negara. Hubbu ad-Dunya, cinta dunia, Hubbul ‘alam, cinta alam. Kita sering sekali mendengar kata alam. Alam semesta, alam dunia, alam ghaib.
Sebagaimana tercatat dalam KBBI, arti kata alam memiliki banyak makna, yaitu segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan) sekeliling, lingkungan kehidupan, dan lain-lain.
Jika kita mengingat pelajaran ilmu tauhid ketika di pesantren dulu, kata alam juga sering disebutkan. Alam dalam ilmu tauhid didefinisikan sebagai kullu ma siwal khāliq (segala sesuatu selain Sang Pencipta). Artinya, alam adalah semua ciptaan Allah. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.
Sikap Hubbul ‘alam, atau cinta pada alam sangatlah penting untuk ditanamkan pada diri kita. Kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana keadaan alam di sekitar kita. Penting sekali kita memiliki rasa cinta terhadap alam yang terdiri dari semua mahluk di alam semesta ini. Salah satunya, kita dapat mencontoh Syaikh Abu Bakar bin Salim.
Dalam sebuah makalah hasil dari catatan al-Halaqah al-Ilmiyah di Masjid Jami At-Taubah, Makam al-Habib Ahmad bin Alwi al-Haddad yang ditulis oleh al-Habib Alwi bin Abdullah al-Aydrus asy-Syihri dengan judul “al-Muslimu al-Haqiqi wal ‘Abdul Mahdh asy-Syaikh Abu Bakr bin Sālim Anmûdzājan” diceritakan suatu kisah yang menarik.
Syaikh Abu Bakar bin Salim memulai membina dirinya sendiri, dengan menundukkan hawa nafsunya, karena sebagaimana yang dikatakan orang-orang, “Selama hawa nafsu itu hidup, ia layaknya ular yang berbahaya.”
Syaikh Abu Bakar bin Salim keluar dari kota ‘Inat menuju Tarim untuk salat di masjid-masjid di kota Tarim. Di setiap perjalanannya, acap kali beliau melewati tempat minuman hewan ternak milik warga, diisinya tempat minum itu dengan air agar hewan-hewan itu dapat minum. Sontak saja pada pagi harinya para penggembala mendatangi hewan ternak mereka, dan mendapati tempat minum hewan ternak mereka sudah terisi air. Mereka pun tidak perlu mengisi tempat minum tersebut.
Syaikh Abu Bakar melakukan aktvitas ini setiap malam ketika pergi menuju Tarim. Setiap perjalanan malam, beliau seringkali tidak menggunakan alas kaki hingga kakinya terluka. Sampai disebutkan bahwa para wanita penggembala ketika di pagi hari sering menemukan bekas-bekas darah di pinggir jalan. Mereka mengatakan, “Ini bekas luka anaknya Salim bin ‘Abdillah, yaitu Syaikh Abu Bakar bin Salim.” Saking seringnya bekas darah tersebut terlihat, dan terisinya tempat minum hewan ternak disana, mereka sampai mengenal bekas darah Syaikh Abu Bakar yang terlihat di pinggir jalan.
Tak pernah sekalipun dalam benak beliau ingin berkata, “Saya adalah anak fulan bin fulan,” atau “Saya adalah seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi.” Tidak sama sekali. Justru hal inilah yang beliau jadikan sarana untuk melatih hawa nafsunya.
Selain aktivitas yang telah disebutkan, beliau juga sering berkhalwat dan beribadah, salah satunya di lembah Nabi Hud dan berjalan-jalan di sana. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa selama berkhalwat beliau hanya memakan buah yang tumbuh dari pohon Arāk atau pohon siwak. Rasanya sangat pahit. Mungkin sekarang tidak akan ada orang yang mau memakannya karena rasanya tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu lembah ke lembah lainnya untuk beribadah. Hal demikian beliau lakukan untuk membina jiwanya dan menundukkan hawa nafsunya.
Jika kita perhatikan dari aktivitas Syaikh Abu Bakar yang telah disebutkan diatas, kita mendapati antara Hablun minallah dan Hablun minallah yang telah beliau tirakati seimbang. Ibadah yang beliau lakoni dengan tekun tak membuat beliau lupa akan pentingnya hubungan antara dirinya dengan alam, dengan ciptaan Allah Tuhan semesta alam. Tak membuat beliau sungkan untuk menolong sesama, bahkan menolong hewan-hewan ternak itu.
Kisah diatas seakan berpesan kepada kita, agar dapat mengikuti atau meneladani jejak Syaikh Abu Bakar dengan menyeimbangkan hubungan antara kita dengan Tuhan, dan antara kita dengan manusia lainnya. Hal penting lainnya yang perlu kita tiru adalah sifat Hubbul ‘alam yang beliau lakoni setiap malamnya dengan mengisi air di tempat minum hewan ternak orang lain.
Ada tiga poin yang dapat kita ambil dari peristiwa itu, pertama menanamkan cinta kita kepada hewan-hewan, bahwa mereka pun ciptaan Tuhan yang harus disayangi, dan yang kedua adalah memberikan rasa senang kepada orang lain dengan membantu mereka, dan terakhir tidak berbangga diri atas kebaikan yang telah kita lakukan. Wallahu a’lam