Dalam kitab “Syarhul Hikam” (Ibnu Atha’illah as-Sakandari) diceritakan tentang seorang raja yang sederhana, tiba-tiba mendapat hadiah gelas yang bertahtakan intan murni, dari seorang pengusaha kaya-raya. Sang raja merasa senang dan gembira. Ia merasa bahwa hadiah mewah itu layak diterimanya, meski kemudian ia ditegur oleh salah seorang penasihatnya. “Gelas itu memang indah dan menarik, tapi menurut saya, sebaiknya Raja tak usah memilikinya.”
“Lho? Mengapa tidak? Bukankah ini sesuatu yang halal, dan saya berhak memilikinya?” protes sang raja.
Penasihat itu menatap raja dengan pandangan berkaca-kaca, “Kalau gelas itu pecah, boleh jadi akan menjadi musibah, karena tidak ada seorang ahli yang bisa memperbaikinya. Kalau gelas itu hilang dicuri orang, maka Raja akan menjadi miskin karena tak mampu memiliki pengganti yang sepadan. Padahal, tanpa hidup dengan gelas itu, Raja sudah cukup aman tanpa musibah, juga tanpa kekurangan suatu apa.”
Sang raja terkekeh-kekeh, tak menghiraukan perkataan penasihatnya. Selama berbulan-bulan ia merasa senang dan gembira dengan memiliki gelas kesayangan itu. Tiapkali meminum anggur atau minuman apapun kesukaannya, selalu ia menggunakan gelas itu. Tiapkali ada tamu terhormat dari kalangan bangsawan, ia tak mau melepaskan gelas itu. Lama kelamaan, ia pun merasa bergantung pada gelas bertahtakan intan murni itu. Seakan ia tak mau minum jika tak memakai gelas kesayangannya itu.
Sampailah pada suatu hari, gelas itu jatuh dan pecah berkeping-keping di atas lantai. Sang raja tersentak kaget dan terbengong-bengong. Hatinya menjadi gundah-gulana, sedih dan menderita. Bahkan, badannya kurus kering, karena berhari-hari ia menahan pilu hingga tak bisa tidur. “Kau benar, wahai penasihatku, dengan tidak adanya gelas itu, nafsu makan dan minumku seakan hilang. Kalau dulu aku tidak punya gelas itu, tentu tidak ada kejadian gelas pecah dan aku pun tidak akan merasa sedih.”
Terkait dengan itu, Rasulullah pernah menegaskan bahwa, jika umatku tidak selalu menatap ke atas tetapi melihat ke bawah, niscaya ia akan dimudahkan untuk selalu mensyukuri nikmat dan anugerah Allah. Untuk itu, segala sesuatu yang disenangi, boleh jadi akan menjadi segala sesuatu yang disedihkan. Nilai kesenangan yang kita miliki berbanding lurus dengan beratnya kesedihan yang harus ditanggung. Jika kita hidup menuruti gaya selebritas dengan segala kepopuleran dan kemegahan duniawinya, maka bersiap-siaplah kita akan menghadapi kehinaan dan kemiskinan yang sebanding dengan banyaknya kemewahan yang pernah kita raih.
Hadiah bagi sang raja akan menjadi ringan tanggungannya jika ia hanya menerima sebuah kursi rotan atau kemoceng, karena ia tak terlampau kecewa jika kursi itu rusak atau kemoceng itu hilang. Jadi, kecintaan manusia terhadap dunia sangat menentukan kualitas kebahagiaan atau penderitaan seseorang.
Pada prinsipnya, manusia tidak dilarang untuk kaya dan memiliki sesuatu yang membuatnya bahagia, namun kecintaan akan dunialah yang dilarang. Cinta yang berlebihan pada dunia sangat mengandung potensi kekecewaan dan kesedihan yang teramat sangat, ketika yang dicintainya itu raib, rusak, tenggelam dan mati ditelan bumi. Karena bagaimanapun, manusia tak punya hak atas penjagaan dan keamanan seketat apapun terhadap anak, harta kekayaan, kekuasaan, yang pada hakikatnya hanyalah amanat dan titipan belaka.
Kemampuan menghindari kerusakan akibat kesedihan, harus didahulukan ketimbang mengedepankan kemaslahatan berupa kesenangan yang timbul dari sesuatu yang bisa cepat hilang. Dalam film yang diangkat dari kisah nyata, “All The Money In The World” (sutradara Ridley Scott), digambarkan bagaimana kekayaan yang dihasilkan dinasti pengusaha minyak Paul Getty, harus menelan korban cucunya (penerus dinasti) yang kemudian disandera teroris, sehingga Getty pun berkata: “Ada satu masalah penting yang didambakan orang-orang kaya di seluruh dunia, yakni kemerdekaan jiwa. Orang yang terlanjur kaya seperti saya bagaikan hidup di atas tebing jurang yang menganga, tak bisa hidup merdeka. Kalaupun bukan saya yang terperosok jurang itu, ia bisa mengorbankan rumah-tangga, perkawinan, anak-cucu maupun saudara-kerabat sendiri.”
Sikap dan perilaku koruptif yang digambarkan dalam film tersebut, seakan-akan membuat manusia terobsesi meraih kebahagiaan dengan tidak memiliki rasa cukup. Sikap moral yang terkandung di dalam “rasa cukup” mendorong manusia berdamai dengan dirinya sendiri. Secara religius, rasa cukup itu sangat berhubungan erat dengan “rasa syukur”. Karenanya, lebih memiliki imunitas keimanan, bahwa Tuhan Maha Menyaksikan segalanya. Pertarungan melawan godaan berupa pamrih material pun sedapat mungkin bisa ditepiskan.
Manusia yang tidak merasa cukup selalu melihat ke atas, selalu merasa kurang, betapa pun melimpahnya kekayaan duniawi yang telah dimiliki. Para koruptor yang terkena kasus OTT oleh KPK, bukanlah orang-orang yang tergolong rendah secara ekonomi, tetapi mereka memiliki sifat ngongso, artinya selalu ingin mengambil dan meraup lebih banyak lagi. Uang dan segala bentuk material jadi obsesi yang tak pernah berakhir. “Kami ingin lebih dan lebih,” demikian Paul Getty dalam film All The Money In The World, pada saat keuntungan perusahaannya justru meningkat dan melimpah-ruah.
Dalam logika dan akal sehat, semestinya orang-orang kaya itulah yang merasa dirinya cukup. Hanya mereka yang memiliki rasa cukup secara material layak disebut “manusia selesai” karena telah berhasil mengatasi segala godaan duniawi. Mereka memiliki kepekaan dan kepedulian, hingga sanggup melahirkan karya-karya besar, serta memiliki andil untuk menyumbang bagi jalannya keadilan dan kemanusiaan.
Manusia yang telah terpenuhi kemakmuran awalnya, akan memiliki kepedulian pada kemuliaan hidup. Karena yang dicari bukan semata-mata prestise dan kesuksesan, tapi sejauhmana prestise itu mampu melahirkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup. Oleh karena itu, saya berani berkesimpulan bahwa keterpurukan suatu negeri, karena minimnya orang-orang “selesai” yang telah melampaui kemakmuran awalnya, baik di tingkat penyelenggara negara, politisi, aparat, budayawan, seniman, hingga para pelaku ekonomi sekalipun.
Dampak dari semuanya itu bisa kita saksikan bersama, bahwa peran sosial, politik, dan ekonomi, hanya dipahami sebatas wahana perburuan kepentingan dan keuntungan yang berujung pada terpenuhinya ambisi dan obsesi duniawi semata. Penghayatan perasaan teramat “dangkal” sampai-sampai mendorong perilaku dan karakteristik untuk bergerak liar, menyeruduk ke segala arah, membobol kantong kekayaan negara, baik dari hasil pajak, migas, sampai APBN sekalipun. Untuk mengamankan jaminan kapitalnya, mereka yang koruptor berskala milyaran, justru sibuk mencari kambing-hitam dengan memfitnah para maling ayam di tingkat desa, kampung dan pedusunan.
Puncak dari kemiskinan jiwa itu, terakumulasi pada hasrat dan nafsu yang dapat dilihat secara telanjang dan kasatmata, bahwa kekuasaan adalah godaan paling manis sekaligus paling jahat. Hanya manusia-manusia yang memiliki karakter dan tabiat sama, yang akan menjadi korban politisasi mereka. Karena orang-orang semacam itu, tak mampu mengukur risiko, tak sanggup melihat kedalaman dirinya, tetapi hanya wadak dan kulit luarnya saja.
Negeri ini membutuhkan surplus orang-orang “selesai” yang telah melampaui kemakmuran awalnya. Hal itu tidak identik menjadi orang kaya, tetapi orang yang batinnya merasa cukup, merasa bahagia, hingga memiliki kelapangan dan kesempatan untuk dapat membahagiakan orang lain.
Saat ini, para penerus dan pewaris Orde Baru yang sebagian masih bercokol di kursi kekuasaan, ikut menggeser fungsi Pancasila menjadi ideologi kudu sugih dengan moto hidup, “sing sabar ora keduman” (yang sabar tidak kebagian). Konon, di kalangan para pewaris Orde Baru – termasuk di lingkaran Ferdi Sambo – sensitivitas atas harga diri dan martabat memang sangat rendah.
Begitu mudahnya mereka pamer kekayaan di tengah jutaan rakyat miskin. Sementara, mereka terus saja menumpuk kepemilikan rumah megah, villa dan kendaraan mewah, ratusan hektar lahan tanah, hingga pamer kepemilikan jet-jet pribadi, yang dimanfaatkan secara tidak semestinya. Meminjam adagium penulis novel Pikiran Orang Indonesia, “Mereka tak ubahnya dengan kesibukan menguras tenaga untuk menggali lubang yang semakin curam, sampai pada akhirnya mereka terperosok ke dalam lubang galiannya sendiri.” ***