Bermula dari gerakan para pekerja pabrik di Amerika Serikat –berjumlah setengah juta orang– yang menuntut hak dan perlakukan lebih manusiawi di awal bulan Mei 1886. Aksi itu mulai tanggal 1 Mei, dan berlangsung hingga tiga hari setelahnya.
Selang tiga tahun kemudian, di Paris-Prancis, ditetapkanlah 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau kerap disebut May Day. Di seluruh penjuru dunia, tanggal 1 Mei, biasanya ditandai oleh aksi turun ke jalan untuk menyuarakan kepentingan kaum pekerja.
Namun, 1 Mei kali ini, hampir dipastikan tak ada demonstrasi besar-besaran di jalan raya sebagaimana lazimnya, karena pandemi korona tengah melanda hampir seluruh penjuru negara. Namun demikian, secara substansial, peringatan Hari Buruh tidaklah mungkin kita abaikan.
Tanggal bersejarah yang mengingatkan dunia pada pengorbanan para pekerja di berbagai sektor kehidupan ekonomi itu sudah sepantasnya direnungkan serius, seraya dipikirkan sungguh-sungguh apa yang menjadi isu-isu atau topik permasalahan yang sedang bergulir di dalamnya.
Bagaimanapun, para pekerja adalah pahlawan keluarga sekaligus pahlawan bagi bangsanya. Mereka memeras keringat setiap hari demi menghidupi anak-istri/suami, serta berpartisipasi menggerakkan roda perekonomian negeri. Terganggunya aktivitas mereka otomatis menyebabkan goyahnya kehidupan banyak keluarga, serta mengakibatkan menyusutnya pendapatan negara, yang pada akhirnya bakal memperlambat laju pembangunan.
Satu hal yang sulit dipungkiri merupakan persoalan krusial saat ini tentu saja terkait nasib para pekerja yang mengalami PHK atau pun kehilangan mata pencaharian untuk sementara waktu lantaran terpukulnya hampir semua sektor industri oleh pandemi korona, yang mengharuskan dibatasinya lalu-lintas manusia dan barang demi menekan penyebaran virus yang sudah memakan korban ratusan ribu jiwa di seluruh dunia itu.
Bisa dibayangkan betapa jutaan rakyat Indonesia sekarang terbelit persoalan fianansial karena terhentinya kegiatan produktif mereka, sambil menunggu redanya badai krisis yang belum diketahui pasti ujungnya. Apalagi bagi kalangan buruh lepas atau pekerja kasar yang mengandalkan upah maupun laba harian sebagai sumber utama ekonominya. Beban yang dirasakan tentu semakin berat.
Maka sudah selayaknya bila semua pihak bergandengan tangan, bahu-membahu menggalang kekuatan bersama untuk mengatasi kondisi yang pelik ini; Para pengusaha memikirkan win-win solution terbaik yang paling memungkinkan diambil demi memperkecil risiko PHK di kalangan karyawannya. Kelas menengah atas yang kebetulan dianugerahi kelebihan rezeki seyogyanya menggencarkan semangat berbagi dan berempati. Sementara pemerintah dengan seluruh instrumen kekuasaannya menggelontorkan beragam kebijakan “emergency exit” untuk mengurangi kepengapan ekonomi yang diderita rakyat di lapisan bawah.
Dalam situasi krisis seperti saat ini, tak ada gunanya bersikap saling tuding dan getol menyalahkan satu sama lain sembari melempar wacana beraroma kebencian dan permusuhan, yang malah memperlemah “spirit of togetherness” atau jiwa kebersamaan. Kalaulah tendensi politik, ideologi, atau pragmatisme pada konteks tertentu dianggap absah mewarnai dinamika kehidupan bernegara yang demokratis, tetap saja rasanya kurang bijak kalau kondisi “extra-ordinary” yang mempertaruhkan nasib jutaan orang justru dimanfaatkan untuk “memancing di air keruh”.
Apalagi sekarang kita sedang memasuki bulan suci Ramadan. Bulan spesial yang patut dipenuhi dengan segala macam upaya “muhasabah” (instropeksi diri) dan “mujahadah” (bersungguh-bersungguh melakukan kebajikan), termasuk menebar kemanfaatan bagi orang banyak, khususnya mereka yang tengah ditimpa kemalangan.
Jika selama ini Ramadan senantiasa disemarakkan oleh berbagai rangakaian acara penyerahan santunan kepada anak-anak yatim dan fakir-miskin yang telah teridentifikasi nyata, mungkin ada baiknya kalau perhatian kita saat ini juga disisihkan senagian untuk membantu para tetangga, teman, atau orang-orang yang “tulang-punggung” keluarganya terkena PHK atau terdampak wabah korona.
Jadi, sebenarnya Hari Buruh yang kini diperingati adalah “hari kita semua”. Apa yang ingin dirayakan oleh kaum pekerja pada dasarnya adalah cita-cita ideal yang juga menjadi harapan kita, dan keluh-kesah mereka pun sebetulnya menjadi bagian dari persoalan kita.
Bila kondisi ekonomi para pekerja belakangan ini sangat rentan, sudah sewajarnya pula kalau kita semua berusaha mengulurkan bantuan, sembari membahas kembali tentang penataan nasib dan masa depan mereka tatkala badai pandemi mulai mereda.