Ini kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika Ahok masih anggota DPR RI, Jokowi masih Walikota Solo, dan Anies masih Rektor Universitas Paramadina. Kegaduhan politik Indonesia belum segaduh sekarang.
Saat itu hari Jumat, saya sedang berada dalam workshop terbatas tentang perumusan nilai-nilai dasar pemikiran Gus Dur di sebuah hotel di kawasan perbelanjaan elektronik di Jakarta. Sekitar pukul 11.30 kami break untuk Jumatan.
Tak jauh dari hotel lokasi workshop terdapat masjid yang cukup besar. Para peserta workshop pun pergi ke masjid itu. Saya turut dalam mobil Gus Ulil Abshar Abdalla ke masjid itu.
Ketika kami tiba, masjid sudah cukup penuh sehingga kami kebagian duduk di teras. Khutbah rupanya sudah dimulai, sehingga saya salat tahiyyat dengan agak cepat.
Khatibnya bersuara agak keras. Semula yang keras cuma nadanya, tapi lama-lama yang keras adalah isi khutbahnya. Khatib berbicara tentang ancaman kristenisasi di beberapa kawasan di Jakarta, yang dilakukan dengan banyak cara. Kata dia, orang-orang Kristen terutama yang Cina, banyak sekali membiayai upaya pemurtadan orang-orang Islam.
Saya mulai tidak nyaman. Khutbah berbau SARA ini tak pernah saya sukai, apalagi jika itu terjadi di sebuah masjid yang berada di tengah-tengah kawasan non Muslim seperti di area perdagangan elektronik ini.
Terhadap khutbah-khutbah seperti ini, sikap saya tak pernah ragu: saya harus tinggalkan. Saya tak ingin hati saya terkotori oleh kebencian, apalagi kebencian yang mencemari sebuah mimbar suci di masjid.
Saya pun berdiri, balik kiri dan melangkah melintasi shaf-shaf jamaah di teras. Gus Ulil yang duduk satu atau dua shaf di belakang saya memandang memberi isyarat bertanya, “Mau ke mana?”
Saya jawab dengan menunjuk ke arah luar masjid dan menggerakkan bibir, “Balik hotel.” Dia mengangguk dan tetap duduk di shafnya.
Saat bertemu di ruang makan siang di hotel, Gus Ulil bertanya pada saya: “Sampeyan ke mana tadi, kok pergi duluan?”
“Balik hotel, Gus. Gak suka saya dengan khutbahnya yang menebar kebencian SARA tadi.”
“Terus gak Jumatan?”
“Saya kan musafir, zuhur saja boleh.”
Gus Ulil pun tertawa ngakak. “Tapi sampeyan tahu nggak, siapa tadi yang khutbah itu?”
“Gak tahu, kan tadi mimbarnya gak kelihatan dari teras.”
“Itu tadi khatibnya Rizieq Shihab. Saya kenal suaranya.”
“Walahhh… patessan isinya keras begitu, seperti sengaja menantang sekitar.”
“Lha iya, makanya saya tidak pergi tadi. Saya mau dengerin, kalau sampai khutbahnya nyenggol-nyenggol Gus Dur, saya akan interupsi.”
Wah mantap… Nyali saya belum sampai segitu, Gus. Nyali saya baru sampai meninggalkan khutbah ora mutu.
????