Puasa disyari’atkan tahun kedua Hijrah, hampir bersamaan dengan kewajiban jihad, atau lima tahun setelah kewajiban salat. Salat adalah satu satunya kewajiban yg disyari’atkan di periode Makkiyah, yaitu pada tahun kesepuluh setelah kenabian. Rasulullah menjalankan puasa Ramadan sebanyak sembilan kali (tahun), sebelum beliau kembali keharibaan sang kekasih, Allah Swt.
Pada mulanya kewajiban puasa Ramadhan bersifat mukhayyar, pilihan saja. Artinya, bagi yang mampu berpuasa silakan. Bagi yang mungkin malas atau belum terbiasa, boleh juga tidak puasa, tetapi diganti dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sekalipun Al-Qur’an menegaskan puasa lebih baik daripada membayar fidyah. Silakan simak Al-Qur’an surah al Baqaroh ayat 183-184.
Puasa Ramadan menjadi kewajiban mu’ayyan (bukan pilihan lagi, bukan mukhayyar)), ketika ayat 185 surah al-Baqarah diturunkan. Semenjak itulah, semua orang yang mampu berpuasa wajib menjalankannya, tidak boleh lagi membayar fidyah. Rukhsah, keringanan, tidak berpuasa hanya diberikan untuk orang sakit dan musafir.
Inilah yg disebut dalam tarikh tasyri’, dengan at-tadarruj fi at tasyri’ (pembentukan hukum secara evolotif, tahap demi tahan, pelan-pelan, bukan revolusi, sekaligus). Metode evolutif merupakan salah satu manhaj dakwah Al-Qur’an. Selain puasa, pengharaman khamer (yang memabukkan) dalam Al-Qur’an juga dilakukan secara evolutif, yaitu melalui empat tahapan sampai masyarakat benar benar siap, setelah itu barulah khamer diharamkan. Jadi kewajiban puasa berawal dari ringan menuju berat, dari mukhayyar menjadi mu’ayyan.
Namun ada yang menarik, banyak juga hukum Islam yang awalnya berat kemudian menjadi ringan setelah negosiasi, “tawar-menawar” antara Rasulullah dan kebutuhan umat. Seperti diketahui, Rasulullah adalah sosok yg sangat “demokratis”, jika kebijakannya memberatkan umatnya, beliau siap mengubah kebijakannya. Jadi kalau Rasulullah ndak pakai gensi-gensian, pokoknya kebijakannya memberatkan umatnya, beliau siap mengubahnya.
Dulu, di awal kewajiban puasa, hubungan suami istri (jimak) hanya dibolehkan malam hari sebelum tidur. Setelah tidur, tidak boleh lagi melakukannya. Jadi, dulu tidak boleh “sahur jimak”, kalau sebelumnya sudah tidur.
Situasi ini, sangat memberatkan para sahabat, sebab banyak yang bekerja sepanjang hari, setelah berbuka sudah tidak kuat lagi menahan tidur, atau anaknya tidak tidur-tidur. Dan baru bangun lagi tengah malam untuk bersahur. Seringkali, keinginan jimak tiba- tiba datang di waktu malem ini. Sementara itu, ia dilarang. Maka larangan jimak saat sahur, sangat memberatkan umat. Mengadulah mereka kepada Rasulullah.
Berdasar pengaduan itu turunlah ayat….”dan di waktu malam dihalalkan bagimu berjimak dengan istrimu, karena istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakeain istri”.
Sejak turun ayat ini, suami istri boleh melakukan hubungan sepanjang malam. Pokoknya sebelum kumandang “ash shalatu khairum minan naum”, boleh melakukan “sahur jimak”.
Inilah salah satu karakteristik hukum Islam, pelegeslasiannya bersifat evolutif, dan jika kebijakannya memberatkan umatnya, maka islam siap mengubahnya, tentu tetap dalam batas kebijaksanaan Allah Swt. Wallahu a’lam
Situbondo. 250420