Meskipun tidak semua pondok pesantren mengajarkan dan mengkajinya, kehadiran kitab al-Ahkam as-Shulthaniyyah tidak bisa dilepaskan dari kekayaan khazanah keilmuan Islam. Kehadirannya telah menjadi kekayaan intelektual umat.
Kitab ini lebih memfokuskan pembahasannya ke dalam ranah disiplin ilmu politik, lebih tepatnya fiqih tata negara. Dengan kata lain, kitab ini membahas eksistensi negara dan para pengelola negara dari sudut pandang syari’at Islam.
Pemikiran politik atau dasar-dasar politik yang terdapat dalam kitab ini tak bisa terlepas dari latar belakang penulis dan kondisi kehidupan politik di negara tempat tinggalnya. Imam al Mawardi yang bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al- Bashri, lahir di Basrah pada tahun 364 H. Ia merupakan seorang pakar fiqh bermazhab Syafi’i, ahli hadits, dan ahli politik. Ia mejalani kehidupannya di negara yang dipimpin Dinasti Abbasiyah.
Dari sisi jabatan kenegaraan, ia merupakan salah seorang pejabat tinggi pada masa detik-detik kemunduran pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Beberapa jabatan tinggi yang pernah ia emban diantaranya menjadi duta besar keliling pada masa pemerintahan Khalifah al-Qadir.
Tugas diplomatik yang ia emban pada waktu itu sangatlah berat, sebab ia harus meyakinkan negara-negara tetangga akan kelangsungan pemerintahan yang dipimpin Khalifah al-Qadir yang wibawa dan pengaruhnya mulai meredup. Jabatan tertinggi lainnya yang pernah ia sandang adalah hakim agung (Qadi al-Qudat) dan penasihat khalifah
Sebelum menjadi pakar fiqih dan mengemban beberapa jabatan kenegaraan, Imam al Mawardi yang dibesarkan orang tuanya yang pakar membuat air mawar (al Mawardi) menempuh berbagai pendidikan keilmuan di kota Basrah. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di kota Baghdad. Menurut salah satu riwayat, ia memperdalam ilmu keislaman di lembaga pendidikan al Za’farani. Di kota Baghdad inilah ia mulai menuliskan berbagai gagasan dan pemikirannya melalui berbagai karya tulis.
Beberapa kitab buah karya ulama yang teologinya beraliran ahlu sunnah wa al jama’ah (sunni) ini, diantaranya Qawanin al-Wizarah (Pedoman Pengangkatan Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi Kepemimpinan Sebuah Kerajaan), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Fiqih Akhlak Kehidupan Masalah Dunia dan Agama), al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Hukum Tata Negara), dan masih banyak kitab lainnya. Dari sekian banyak karyanya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling populer dan banyak dikaji baik di pondok pesantren maupun di lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi.
Merujuk kepada latar belakang penulisannya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang terdiri dari 20 Bab, 37 pasal ini kemungkinan besar merupakan karya tulis pesanan dari salah seorang pejabat di pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang tengah berkuasa pada waktu itu. Motif permintaan penulisan kitab politik ini selain untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga untuk memperkuat kembali eksistensi kekhalifahan Abbasiyah.
Terlepas dari latar belakang dan motif penulisannya, kitab ini telah mewarnai cakrawala kehidupan berpolitik, khususnya di negara-negara yang berpenduduk muslim. Lebih dari semua itu, kitab ini telah menjadikan agama, dalam hal ini agama Islam sebagai unsur bagian dari pengelolaan sebuah negara.
Dalam kitab politik tata negara ini dibahas berbagai bidang administrasi penyelenggaraan negara. Beberapa bidang yang dikaji diantaranya, administrasi negara, pengangkatan kementeriaan, pembentukan pengadilan, pengangkatan hakim, perpajakan, pembentukan pemerintahan daerah, pengangkatan panglima perang, penentuan sanksi/hukum pidana dan perdata, penentuan amir al hajj (urusan ibadah haji/agama), pedoman pemilihan pemimpin, agraria (pertanahan), pengelolaan harta negara, dan beberapa masalah ketatanegaraan lainnya.
Satu hal yang menarik dari kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini adalah memasukkan jabatan imam shalat/imam masjid sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Kedudukan imam masjid/imam shalat termasuk ke dalam jajaran pejabat negara. Bab ke-9 dari kitab ini dengan panjang lebar membahas kedudukan dan tatacara pengangkatan imam masjid yang meliputi imam masjid, imam shalat fardhu, imam shalat Jum’at, dan imam shalat ‘id.
Dengan adanya bab khusus tentang imam masjid ini, Imam al Mawardi ingin menegaskan bahwa penerapan ajaran agama tak bisa dilepaskan dari kehidupan berpolitik atau bernegara. Dalam hal ini, Imam al Mawardi mengikuti jejak Rasulullah saw ketika tiba di Madinah. Ia menjadikan masjid sebagai pondasi dasar dalam pembinaan umat.
Apabila kita mengkaji lebih dalam ide-ide politik yang terdapat dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, tidak semua pemikiran politik Imam al Mawardi dapat diterapkan dalam kehidupan berpolitik pada saat ini, misalnya saja tentang pengelolaan harta fa’i dan ghanimah, dan penunjukkan pemimpin secara langsung oleh khalifah/pemimpin sebelumnya. Namun demikian, setidaknya pemikiran yang dituangkan penulis kitab ini telah membuktikan bahwa ajaran Islam tidak hanya mengurus kehidupan akhirat saja, namun juga mengatur kehidupan dunia, termasuk mengatur kehidupan bernegara.
Melalui karyanya ini, Imam al Mawardi telah memberikan suatu pemikiran dan pembelajaran dasar-dasar politik kepada kaum muslimin, khususnya ia mengajarkan kepada kaum santri, kaum rebahan (yang belajarnya sambil rebahan, tanpa bangku dan kursi) agar mempersiapkan diri menjadi agen perubahan, memahami hakikat berpolitik, dan ikut membangun kehidupan bernegara demi kemaslahatan umat.