Sebagai warga NU, saya tidak terlalu beruntung karena nyaris tidak pernah bertemu dengan Gus Dur dari dekat. Seingat saya, hanya dua kali kali mendengar diskusi Gus Dur dalam sebuah seminar. Untung saja saya pernah bekerja sebagai jurnalis di Koran Jakarta yang pernah menugasi saya mewawancari Gus Dur, Januari 2009.
Wawancara dengan Gus Dur ini adalah satu-satunya perjumpaan saya secara dekat. Bersama Rusdi Mathari, Ezra Sihite dan Teguh Nugroho, kami mewawancarai beliau di ruangannya di Kramat, awal Januari 2009, 10 tahun silam. Ini petikan yang menurut saya paling menarik:
Anda sempat ingin belajar di Eropa, kok tidak kesampaian?
Karena nggak dapat beasiswa. Saya dulu kuliah setahun, tetap nggak dapat. Ya sudah, pulang. Belajar di mana sama saja yang terpenting kan orangnya. Saya beruntung bisa pergi ke Mesir pas masa keemasan sastra Arab. Saya fakultas sastra. Lalu pindah ke Irak. Di Baghdad saya belajar sastra diabsen. Tapi yang terindah menurut saya itu mahasiswa itu diwajibkan menulis. Setiap orang diwajibkan menghafal 265 bait setiap tahun.
Anda jago memberi komentat soal bola, Anda pernah bermain bola?
Waktu kecil saya main bola. Ya waktu sekolah di SMEP di Yogya, saya ini beck kiri dari kesebelasan siswa se-Yogyakarta.
Bagaimana perkembangan sepak bola di Indonesia sekarang?
Sebetulnya maju kalau mau. Di dunia ini komite olah raga harusnya berkuasa menunjuk pemain, di Indonesia tidak. Pengurusnya menerima sogokan semua. Jadi kalau ada orang luar mau main dengan kita, dia tinggal bilang ke ketua komisi, itu pemain bagus nggak usah dipakai. Kalah kita. Memang sangat bobrok, apalagi sekarang, siapa nama ketuanya? Nurdin Halid.
Bagaimana cara Anda mengetahui isi buku?
Ada teman yang membaca buku itu, kemudian apa-apa saja yang penting itu diberitahu kepada saya. Kadang buku itu dibacakan kepada saya. Ada yang terpotong-potong, ada juga yang penuh dibacakan. Selain itu dari e book. Saya baru menyelesaikan dua buku tentang pemerintahan George Bush. Buku-bukunya Barack Obama, semua itu sudah saya baca.
Apa makanan kesukaan Anda?
Tahu tek.
Tahu tek enak di Jakarta di mana?
Warungnya di Jatinegara ada di pinggir jalan, tahu campur, pokoknya sembarang kalir di warung-warung pinggir jalan itu.
Ada keluarga Cendana yang mendatangi Anda?
Masih. Lah itu Tutut mau masuk PKB. Dia tanya apa boleh saya masuk PKB. Saya bilang boleh, asal mau bayar. Jadi seluruh pengeluaran DPP itu ditanggung semua, tapi itu nanti dua tahun lagi. Kalau sekarang ramai, kayak PKS itu. Timing itu sama pentingnya. PKS itu nggak tahu caranya saja.
Soal Anda keturunan China?
Itulah yang menyebabkan banyak kalangan tertawa. Dari mana Chinanya Gus Dur?
Kalau mau pergilah ke Kraya satu kilo dari trowulan ke arah selatan. Di situ ada kuburan Syeik Jumadil Kubro. Tapi aslinya itu kan Tan Kim Hong nenek moyang saya. Tan Kim Hong itu artinya orang bermarga Tan yang berbaju emas. Siapa yang berbaju emas? Yang berbaju emas itu jenderal.
Bagaimana ceritanya?
Brawijaya V itu punya istri banyak. Selain permaisuri dia juga punya banyak garwa ampil. Salah satu di antaranya disebut Putri Cempa dari Kamboja, Khmer. Putri Cempa ini punya dua anak, yang pertama laki-laki Tan Ong Wat. Belakangan dalam keadaan luka parah dia dilarikan ke Demak. Sembuh dan membuat kerajaan Demak. Dia punya keturunan di jaman sekarang ya Megawati itu. Itu kalau mau ngakoni. Satu lagi perempuan namanya Tan A Lok itu embah saya. Jadi kita itu saudara kalau mau ngakoni. Kalau nggak mau ya sudah. Ada lagi satu saudara lain yang juga nggak mau ngakoni. Namanya Susilo Bambang Yudoyono.
Bener Gus?
Lah iya. Dulu ada orang namanya Ki Kasan Besari (Hasan Basri) adiknya Raden Mas Said. Dia sakti bukan main. Pangeran Samber Nyawa itu dia, bukan Mas Said. Dia akan menjadi Mangkunegoro II adiknya cemburu atau apa, diracun. Tapi dia nggak mati hanya invalid. Kan nggak ada toh rojo jowo invalid. Dia terus dikasih tanah perdikan di Ponorogo. Kasan Besari punya anak lima. Yang pertama leluhurnya SBY, matinya di Gunung Gajah Pacitan, yang kedua itu lelehur saya, Ki Ageng Basarwiyah.
SBY tahu?
Tahu. Nggak mau ngakoni ya sudah wong nggak patheken.
Anda yang nyampaikan?
Nggak tapi dia pasti tahu.
Presiden Sejuta Lelucon
Gus Dur tak pernah jauh dari lelucon. Cucu pendiri Nahdhatul Ulama Hasyim Asyhari ini tak pilah-pilih momen dalam mengeluarkan koleksi humornya. Di Gedung Putih, Gus Dur pernah membuat Bill Clinton terkekeh. “Dia tanya saya apa saya sering baca buku dan buku apa yang sedang saya baca. Saya bilang baca bukunya Kennedy, One Thousand Day President,” kata Gus Dur.
Gus Dur menceritakan seperti yang dia baca dalam buku itu, saat Kennedy pertama kali berkantor di gedung oval. “Saya bilang, ini loh di belakang kursi ada tembok yang punya dekokan. Ternyata dekokan itu bekas kepala stik golf,” kata Gus Dur.
Eisenhower, presiden sebelum Kennedy selalu rapi sekali meletakkan stik golf, tak berubah selama 8 tahun. “Lama-lama temboknya dekok. Saya bilang, saya mau tunjukan ini lho perpusatakaannya Eisenhower. Ngakak semua, padahal saya baca dari buku.”
Mantan Presiden Soeharto adalah salah satu subjek lelucon yang kerap diungkitnya. Sinta Nuriyah, sebagai orang paling terdekatnya tentu saja paling sering menjadi korban kegemaran Gus Dur bergurau.
Gus Dur pernah mencandai Sinta dengan cerita lama tentang mantri di rumah sakit yang sedang jalan di dekat kamar mayat. Tiba-tiba di depannya muncul sesosok perempuan. Cantik. Dia ikuti. Ketika perempuan itu menoleh, ternyata wajahnya datar. Tak ada mata, tak ada hidung. Sang mantri pun ambil langkah seribu sampai ketemu penjual sate.
Dia duduk lalu pesan sate. “Sate 10,” kata si mantri. Si tukang sate sambil bakar sate bertanya kenapa mantri terlihat pucat. “Saya baru lihat perempuan mukanya rata,” kata mantri. Tukang sate sambil menoleh menjawab “Apakah mukanya seperti saya?”.
Mendengar cerita itu, Sinta yang saat itu berjalan bersama Gus Dur semakin erat memegang lengan Gus Dur. “Nggak takut jalan lewat kamar mayat?” tanya Gus Dur pada Sinta.
“Ya nggak kan jalan sama suami,” kata Sinta. “Saya bilang, ‘lho kok merasa pasti ini suamimu?”’ kata Gus Dur. “Lari dia.”
(Wawancara ini pertama kali dimuat di Koran Jakarta)