Putra Aceh ini konsisten berjuang untuk menegakkan keadilan. Perjuangan Ir. Azmi Abubakar untuk menegakkan antidiskriminasi dan juga antiterhadap sikap intoleransi tak diragukan lagi. Kiprah Pendiri Museum Pustaka Peranakan ini patut diapresiasi, apalagi di zaman negara kita yang terus digoyang dan rentan dengan isu intoleransi.
Komitmen dan konsistensinya lelaki yang mulai tinggal di Tangerang sejak tahun 1987 ini dibuktikannya dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang yang hingga kini terus bertumbuh kembang dan jadi rujukan para pengamat maupun peneliti budaya Tionghoa, baik dari Indonesia maupun mancanegara.
Sejak menjadi mahasiswa di Intitut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong, Azmi aktif berjuang untuk rakyat. Aktivis 98 ini, sangat aktif semasa kuliah, baik di luar dan dalam kampus. Di antaranya pernah selama dua periode berturut menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sipil ITI.
Di luar kampus terlibat aktif di Solidaritas Mahasiswa Jakarta dan pada Era Reformasi 1998, ikut mendirikan Forkot dan Famred. Kemudian pada tahun 1999, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara, sebuah organisasi yang memiliki cabang di sejumlah daerah. Dengan kapasitasnya tersebut, Azmi melakukan langkah besar dengan ikut memprakarsai teciptanya perdamaian di Aceh yang ketika itu sedang dilanda konflik bersenjata yang berkepanjangan.
Azmi Abubakar menjadi salah satu Inisiator Perdamaian Aceh. Kedekatannya dengan Gus Dur, sejak masa menjadi aktivis, membuat Azmi memiliki peran penting dalam proses perdamaian ini. Posisinya adalah sebagai Juru Runding. Selama proses perundingan Azmi kerap melakukan lawatan ke sejumlah negara.
Mengapa Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Pada sebuah rumah, kantor (rukan) berlantai dua di bilangan Golden Road, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten, sebuah papan merah terpampang tulisan Aksara emas bertulisan “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”. Papan yang melekat pada bangunan bercat putih ini sekaligus menjadi pembeda dengan bangunan lain di sekitarnya.
Memang tak terlihat seperti museum kalau kita tengok dari luar gedung. Tetapi begitu kaki melangkah masuk, kita akan dibuat terperangah dengan “kekayaan” koleksinya. Deretan buku dan naskah beraksara Mandarin serta Latin terlihat di segala penjuru ruangan. Puluhan ribu buku tua dan catatan-catatan kuno itu tersimpan rapi di rak-rak kaca. Ditambah lagi berbagai jenis artefak dan juga karya-karya fotografi.
Orang pasti tak bakalan percaya kalau lelaki brewokan bertampang “Sumatra banget” ini merupakan pendiri sekaligus pengelola Museum Pustakan Peranakan Tionghoa. Tetapi faktanya, lelaki berdarah Gayo inilah yang pada pada tahun 2011 mendirikan Museum Pustakan Peranakan Tionghoa.
Ketimpangan dan diskriminasi pada zaman Orde baru membuat putra Aceh terus berjuang demi kesetaraan sesama warga negara. Pada era itu ada peraturan yang melarang penerbitan dengan bahasa dan aksara China. Juga ada peraturan mengganti nama Tionghoa dengan nama Indonesia dan juga larangan perayaan keagamaan juga pentas kesenian.
Keadaan inilah yang membuat Azmi, punya tekad untuk membangun museum. Apalagi ketika Soeharto lengser tekadnya makin bulat. “Peristiwa Mei berdarah 1998 inilah yang paling kuat melatarbelakangi saya membangun museum ini,” papar Azmi.
Bahkan saat berinteraksi dengan komunitas Tionghoa untuk mencari buku atau diskusi grup, tak jarang Azmi dipandang heran. Sampai akhirnya ia menjelaskan maksud dan tujuan sehingga dirinya diterima dengan baik.Kini Azmi mempunyai banyak sahabat Tionghoa yang terjalin karena museum ini.
“Museum ini adalah balas jasa bagi orang Tionghoa yang banyak berjasa dari sebelum Indonesia merdeka sampai setelah merdeka,” ujar Azmi suatu kali.
Maka setamat kuliah Azmi keliling ke berbagai daerah berburu literatur yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Orang banyak yang setengah mentertawakannya. Untuk apa mengumpulkan buku sejarah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa zaman itu.
Di sebuah ruko di kawasan Tangerang, ribuan buku, dokumen, kliping koran, foto dan artefak lain yang berkaitan dengan etnis Tionghoa dikumpulkannya.
Pengalamannya bertahun-tahun jadi aktivis dan melakukan aksi tak pernah satu pun orasi, yel, atau spanduk yang menyebutkan kebencian terhadap Tionghoa. “Apa gunanya Orde Baru jatuh kalau korbannya saudara sendiri. Ini membekas ke saya dan saya coba cari tahu, makanya saya mengumpulkan buku,” ujar Azmi prihatin.
Azmi menyimpulkan tragedi Mei 1998 lantaran informasi tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. “Informasinya banyak. Orang Tionghoa menghasilkan puluhan ribu literatur. Bahkan media dan akademis juga menghasilkan literasi Tionghoa. Itu banyak sekali informasinya tetapi tidak bisa diakses,. Informasi tidak sampai ke masyarakat,” jelas Azmi.
Azmi berkisah, bukan perkara mudah untuk mengumpulkan segala literatur Tionghoa. Sementara otangtua saya hanya senyum saya. Mereka tahu apa yang dilakukan anaknya.
“Saya dianggap aneh oleh banyak orang. Mengumpulkan buku dan barang bertema Tionghoa. Apalagi pada masa itu. Bagi saya ini adalah kebaikan yang masih kosong yang jarang dikerjakan orang, saya mulai dari rumah,” papar Azmi.
Yang menarik Azmi yang bekerja di bidang properti ini, dalam mengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, keukeh tidak mau menerima donasi atau sumbangan dalam bentuk apa pun dari orang Tionghoa. Azmi juga berupaya untuk menjaga istri dan empat orang anak dari persepsi negatif orang-orang.
“Keluarga saya sudah bisa menerima dan mereka menjadi bagian dari museum ini. Keluarga saya sekarang sudah menganggap dan menjadi bagian dari museum ini,” pungkas Azmi.