Imam Ahmad bin Hanbal pernah dipaksa untuk mengakui tafsir tunggal rezim Al-Makmun yang menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Namun beliau tidak mau. Beliau lebih memilih mati daripada harus mengatakan hal yang bisa menyesatkan umat. Sehingga Imam Ahmad menerima hukuman dari penguasa.
Tidak lama setelah itu, Khalifah Al-Makmun meninggal dan digantikan oleh Abu Ishaq Muhammad bin Harus ar-Rasyid yang dikenal dengan nama Khalifah al-Mu’tasim. Ia memiliki pemahaman yang sama dengan khalifah sebelumnya, yaitu mengatakan bahwa Alquran ialah makhluk. Oleh sebab itu, Imam Ahmad masih tetap meringkuk di dalam penjara dengan penuh penderitaan.
Melihat penyiksaan terhadap Imam Ahmad, ada salah satu muridnya yang enggan dengan pemikiran Imam Ahmad, “Mengapa Panjenengan tak mau berbohong saja, Syaikh. Agar tidak dihukum mati. Masalahnya kalau Panjenengan meninggal, umat akan kehilangan panutan. Sehingga kematian panjenengan lebih berbahaya bagi keberlangsungan Islam dari pada kebohongan di hadapan penguasa.”
“Tidak,” jawab Imam Ahmad.
“Aku lebih memilih mati daripada aku menyesatkan umat. Di wilayah ini ada banyak orang yang selalu mencatat perkataanku. Kalau sampai aku mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk, betapa banyaknya orang yang tersesat karenaku. Sebab bagaimanapun orang-orang itu akan mengikuti pendapatku. Jika umat pada masa ini mencatat pendapatku, maka umat berikutnya juga akan sesat. Lha, daripada ada banyak orang tersesat, lebih baik aku saja yang mati. Kematian seorang Ahmad tak ada artinya dibandingka dengan kesesatan umat,” Imam Ahmad tetap tegas dengan pendapatnya.
Disebutkan di dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, ketika dikurung di penjara, Imam Ahmad sempat menyampaikan bahwa yang ditakuti bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman cambukan. Beliau khawatir tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.
Namun sebelum menghadap algojo, ada tahanan lain yang bernama Abu Haitsam al-Haddad yang ngobrol dengan Imam Ahmad. Abu Haitsam adalah pencuri yang dipenjara penguasa.
“Syaikh, bukankah Panjenengan ini Imam Ahmad, orang yang paling alim di zaman ini?” tanya Abu Haitsam.
“Iya. Orang-orang memercayaiku demikian.”
“Agaknya Panjenengan ragu dengan hukuman ini. Menurutku ini aneh, Syaikh.”
“Mengapa aneh?” tanya Imam Ahmad.
“Begini, Syaikh. Mohon maaf. Saya saja yang telah divonis hukuman cambuk delapan belas ribu cambukan saja bisa sabar dengan cambukan itu. Padahal cambukan yang saya terima ini akibat pencurian yang saya lakukan. Tentu saja, pencurian ini termasuk perbuatan batil. Tapi saya bisa tegar dengan hukuman itu. Seharusnya Panjenengan yang dihukum karena kebenaran bisa lebih tegar dari pada saya,” tutur pencuri.
Mendengar ucapan pencuri tersebut, Imam Ahmad berpikir bahwa ucapan si pencuri benar sehingga beliau semakin mantap mempertahankan kebenaran.
Pada 232 H, pemerintahan setelahnya diserahkan kepada Al-Mutawakkil. Dalam masa jabatannya, beliau mengembalikan pemahaman yang benar. Beliau berpegang teguh terhadap Sunnah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau sepemahaman dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Mutawakkil pun mengganti para qadhi terdahulu. Bahkan beliau sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad. Kebutuhan dan harta dunia selalu ditawarkan. Apakah Imam Ahmad menerima tawaran itu?
Ternyata, dalam salah satu munajatnya, Imam Ahmad menganggap bahwa siksaan Khalifah Al-Makmun dan Al-Mu’tasim sama halnya dengan tawaran Al-Mutawakkil. Keduanya adalah ujian duniawi yang bisa membelokkan hatinya dari zuhud ke cinta dunia. Jika ujian berupa kekerasan fisik bisa dihindari, Imam Ahmad pun meneguhkan diri agar ujian berupa manisnya duniawi bisa dihindari.
Penolakan terhadap tawaran Al-Mutawakkil merupakan wujud ketegasan bahwa dirinya benar-benar mencintai ilmu sehingga beliau berhasil menyelesaikan kitab Musnad Ahmad bin Hanbal sambil terus menjadi ulama yang terus mengajari umat.