Sedang Membaca
Perempuan, Seni, dan Pesantren
Al-Zastrouw
Penulis Kolom

Budayawan. Founder Ki Ageng Ganjur. Menyelesaikan S3 di UI. Tinggal di Depok, Jawa Barat

Perempuan, Seni, dan Pesantren

Berbicara mengenai perempuan dalam seni, bisa dibagi dalam tiga posisi; sebagai obyek, subyek (kreator) dan pelaku seni. Sebagai obyek, perempuan berposisi sebagai sumber inspirasi, model atau hasil dari suatu karya seni, tidak peduli karya seni tersebut hasil kreasi lelaki atau perempuan. Sedangkan pada perspektif kedua perempuan diposisikan sebagai kreator atau pelaku yang menghasilkan karya seni.

Pada posisi subyek kita bisa melihat berbagai sosok dan karakter perempuan dalam  karya seni. Pada seni sastra kita bisa melihat sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetralogi (Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer, Ronggeng Dukuh Paruk dalam novel karya Ahmad Tohari, Novel Pronocitro karya Romo Mangun Wijaya dan sebagainya.

Dalam dunia tari kita bisa melihat sosok Dewi Shinta dalam sendratari epos Ramayana, dalam dunia lukis kita bisa melihat lukisan perempuan bermata putih karya Jehan, Monalisa karya Leonardo da Vinci. Pada seni pahat, bisa dilihat pada patung Roro Jongrang yang ada di Candi Prambanan. Dalam seni musik kita bisa melihat sosok Camelia dalam lagu Ebiet G. Ade dan Rhoma Irama dan sebagainya.

Pada semua karya seni ini perempuan menjadi obyek atau cermin dari imaginasi kreatif para seniman.  Keberadaan perempuan dalam dunia seni di sini bersifat pasif, karena sifatnya yang pasif, maka posisi perempuan dalam dunia seni menjadi dependen (tidak mandiri). Dalam perspektif ini, keberadaan perempuan dalam seni sangat tergantung pada sang kreator seni. Mau dibuat positif atau negatif, penting atau tidak penting, baik atau buruk, semua tergantung pada sang kreator.

Sebaliknya dalam posisi subyek (kreator), posisi perempuan dalam dunia seni menjadi sangat independen dan kuat. Dia memiliki otoritas penuh untuk mengekspresikan imaginasi kreatifnya dalam berbagai bentuk seni. Beberapa figur perempuan yang berada dalam posisi ini, diantaranya Abidah el-Khaliqi, NH Dini, La Rose, Nawal Sadawi (sastra), Retno Maruti  (tari), Ummi Kulsum (musik). Tracey Emin, Frida Kahlo, Marlene Dumas Kartika Affandi (lukis). Mereka adalah contoh perempuan yang menjadi subyek atau kreator seni yang melahirkan karya-karya monumental sehingga menempati posisi strategis dan terhormat dalam dunia seni.

Baca juga:  Siti Munjiyah, Ulama Perempuan Muhammadiyah

Pada posisi pelaku seni, perempuan menjadi pelaksana dari suatu karya seni, misalnya para perempuan yang menjadi penari yang menampilkan suatu karya seni tari seorang koreografer. Seorang aktris yang mememerankan suatu peran dari seorang kreator seni; sutradara, penulis naskah dan sebagainya atau seorang penyanyi yang menyanyikan karya orang. Dalam posisi ini hubungan perempuan dengan seni berbentuk inter dependensi, yaitu saling membutuhkan antara kreator dengan pelaku untuk melahirkan suatu karya seni terbaik.

Ketiga posisi ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada perempuan, tetapi juga sebaliknya kepada lelaki. Sosok lelaki bisa menjadi obyek, subyek atau kreator dan pelaku seni. Semua ini kembali pada pernyataan di atas bahwa kesenian tidak mengenal jenis kelamin, kesenian hanya mengenal karya kreatif dan estetik. Ini artinya kesempatan perempuan untuk terlibat dalam dunia seni sama besarnya dengan lelaki. Hanya kreatifitas dan karya yang membedakan keduanya.

Bagi kaum perempuan, pesantren memiliki fungsi yang strategis dalam pengembangan seni budaya. Ini terjadi karena nilai-nilai dasar dan kultur pesantren sangat mendukung terhadap perkembangan seni. Nilai-nilai dasar yang menjadi pijakan komunitas pesantren tersebut adalah tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan i’tidal (konsisten/adil). Keempat nilai dasar inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi dasar terbentuk kultur pesantren yang mandiri, terbuka, kreatif dan relijius.

Nilai-nilai menjadi berkembang di pesantren, karena pesantren adalah lembaga keagamaan yang melakukan dahwah dan pendidikan Islam dengan pendekatan kebudayaan. Hampir semua proses pengajaran di pesantren menggunakan pendekatan seni, khususnya sastra dan lagu. Bahkan pengajaran tata bahasa yang rumit itu disampaikan melalui syair dan lagu (nadham imrithi, jurumiyah, alfiyah), termasuk juga pengenalan terhadap sifat-sifat Allah, sebagaimana tercermin dalam kitab ‘aqidatul ‘Awam.

Pendekatan kultural seperti ini tidak hanya dilakukan terhadap santri putra, tetapi juga santri putri. Dengan kondisi seperti ini bisa dipahami kalau potensi seni perempuan pesantren sangat tinggi. Hanya saja potensi yang besar ini kurang teraktualisasi secara maksimal karena minimnya sarana dan momentum untuk menggali dan mengekspresikan potensi seni tersebut. Potensi-potensi ini biasanya menjadi berkembang ketika sudah berada di luar pesantren.

Baca juga:  Kesehatan Ibu dan Anak Era Covid-19 (1): Kehamilan Sehat, Prokes, dan Nutrisi Seimbang

Dengaan demikian tantangan perempuan pesantren di bidang seni adalah membuka ruang  dan kesempatan yang sebesar-besarnya agar potensi yang besar tersebut bisa teraktualisasikan secara maksimal, karena secara kultural, pesantren telah menyediakan iklim dan sistem nilai yang kondusif untuk berkembangnya kreatifitas seni budaya.

Dalam konteks kekinian upaya aktualisasi potensi perempuan pesantren semakin terbuka lebar karena dua hal; pertama terjadinya transformasi kebudayaan di kalangan pesantren. Hal ini ditandai dengan terjadinya tranformasi bermadzhab, dari bermadzhab secara qauli (produk pemikiran) ke manhaji (metodologi) sehingga muncul sikap keterbukaan dalam menerima gagasan dan pemikiran baru di kalangan pesantren.

Perubahan cara bermadzhab pesantren ini telah menimbukan dampak signifikan terhadap pesantren khususnya cara pandang perempuan dan seni. Sampai dengan dekade 80-an awal beberapa pesantren masih memandang tabu seni, khsusnya seni musik dan seni rupa. Juga pandangan pejoratif terhadap perempuan yang berkesenian dan tampil di publik  Tapi pandangan seperti itu sekarang sudah mulai bergeser.

Kedua, adanya teknologi kemunikasi dan informasi yang makin canggih dan beragam. Ini artinya makin banyak sarana yang bisa digunakan untuk mengaktualisasikan potensi seni perempuan pesantren. Masuknya teknologi informasi ke pesantren telah membuka kesempatan dan ruang kreatifitas santri perempuan. Melalui teknologi informasi santri perempuan bisa menggali beragam informasi yang bisa dijadikan sumber kreatifitas berkesenian, sekaligus menjadi sarana mensialisasikan berbagai karyanya di ruang publik.

Teknologi informasi telah melambungkan karya-karya seniman perempuan pesantren, seperti terlihat pada fenomena Khilma Anis, penulis novel “Hati Suhita” yang menjadi tenar karena novelnya best seller. Setelah sukses menulis Hati Suhita, Khilma menulis beberapa novel yang juga mendapat sambutan baik dari publik.

Ada juga penyair perempuan dari pesantren yang karya-karya mampu menembus publik, Nyai Hj. Masriyah Amva, pengasuh pesantren Kebon Jambu Cirebon. Puisi-puisi karya Nyai Hj. Masriyah telah mendapat apresasi publik dan mencadi perbincangan di kalangan penyair. Kretifitas sastra Nyai Hj, Masriyah tertuang dalam 13 buku sastra, 10 diantaranya diterbitkan oleh penerbit Kompas, dan tiga diantaranya adalah antologi puisi.

Baca juga:  Menakar Hadirnya Negara Bagi Kemaslahatan Pahlawan Devisa

Selain seni sastra ada juga perempuan pesantren yang aktif di dunia seni, seperti Mell Shandy, pernah mondok di salah satu pesantren di Bandung, Aura Kasih pernah nyantri di Pesantren di Tasikmalaya, Nikita Morzani penah mondok di Pesantren di Jatim, Dewi Persik mondok di Jember, DJ Female terkenal, yang berpreatasi Internasional, Dinar Candy, yang akrab dengan dengan lingkungan pesantren, meski hanya sempat mondok hanya dalam waktu singkat. Potensi seni para perempuan ini sudah terasah ketika mereka berada di pesantren namun tidak digali, diarahkan dan dibina secara maksimal.

Fenomena ini menunjukkan, ketika hambatan kultural yang membelenggu proses kreatif perempuan pesantren telah tiada, sarana dan prasarana untuk mengaktualisassikan potensi seni tersedia dengan mudah, maka potensi seni perempuan pesantren bisa berkembang dengan baik. Sejalan dengan terjadinya transformasi di dunia pesantren, hambatan-hambatan kultural-normatif semakin berkurang. Hal ini ditandai dengan makin terbukanya kalangan pesantren terhadap seni dan posisi perempuan.  Artinya saat ini hampir tak ada lagi hambatan bagi perempuan pesantren mengaktualisasikan kreasi seninya.

Saat ini hampir tidak ada lagi hambatan eksternal (normatif-kultural) yang memasung kreatifitas seni perempuan pesantren. Hambatan itu sekarang bersifat internal yaitu faktor psikologis dan skill individual. Hambatan inilah yang harus diselesaikan oleh para seniman perempuan pesantren. Karena hambatan internal ini sifatnya sangat personal dan individual, maka hanya dapat diselesaikan secara individual dan personal oleh para seniman perempuan pesantren.  Kini saatnya perempuan pesantren berkarya di bidang seni, agar agama menjadi semakin indah dan menarik. karena karya seni pesantren hakekatnya adalah ekspresi dari spirit religiusitas yang penuh keindahan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top