Derajat Liqa’
Persatuan rasa cinta yang halus, renyah, lagi manis itu menimbulkan dalam hatinya kelegaan sehingga ia bergembira ria seolah-olah tengah memeluk seorang sahabat karib yang telah lama tak dijumpai. Kalam Allah yang cemerlang, sedap, berberkah, menggembirakan, fasih, wangi, dan membawa kabar suka mulai turun kepadanya, baik ketika ia berdiri, duduk, tidur, maupun sadar.
Magnet Tuhan menariknya ke arah-Nya dengan sangat kuat di luar pengetahuannya sendiri sehingga ia dapat melihat setiap saat bahwa Dia turun dan bersemayam dalam hatinya. Demikianlah karakteristik martabat liqa’. Dalam istilah sufistik, keadaan tersebut dinamakan syatahat yang secara harfiah bermakna ‘jauh’. As-Siraj at-Tusi (w. 378) mendefinisikan syatahat sebagai berikut:
عِبَارَةٌ مُسْتَغْرَبَةٌ فِيْ وَصْفِ وَجْدِ فَاضَ بِقُوَّتِهِ وَهَاجَ بِشِدَّةِ غَلَيَانِهِ وَغَلَبَتِهِ.
“Ungkapan ganjil dalam mendeskripsikan keasyikan asmara yang tengah memancar dengan kuat serta berkecamuk dengan kedigdayaan dan hegemoni yang dahsyat.”
Salah satu contoh syatahat sufi yang paling masyhur adalah perkataan Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H), yakni: سُبْحَانِيْ سُبْحَانِيْ. “Mahasuci Aku, Mahasuci Aku!” Berikutnya, terdapat syatahat al-Hallaj (w. 309 H) yang mungkin adalah epitom dari genre ekspresi sufi ini. Ia pernah mengatakan: أَنَا الْحَقُّ. “Akulah Yang Mahabenar.”
‘Abd al-Wahhab asy-Sya‘rani (w. 973 H) menjelaskan, dengan menyadur beberapa sumber terdahulu, bahwa ungkapan atau ekspresi semacam itu pada dasarnya muncul dari lisan para sufi sebagai pemberitahuan (hikayah) bahwa kemabukan akan cinta ilahi yang mereka alami tengah memuncak dan membuncah, bukan sebagai pengagungan terhadap diri sendiri. Menurut ‘Umar as-Suhrawardi (w. 632 H), orang yang melontarkan syatahat adalah ia yang telah remuk (mustahlak) seusai menyaksikan Tuhan memuji pribadi mereka (syuhud al-ijlal). Lihat di antaranya asy-Sya‘rani, Lawaqihul Anwar al-Qudsiyyah.
Warna ilahi (as-Sibghah al-ilahiyyah) kini mengambil alih warna kemanusiannya (as-sibghah al-basyariyyah) layaknya api yang menutupi besi kala ia membakarnya. Terkadang, api tersebut begitu berkobar-kobar hingga sang pemiliknya merasa bahwa apa yang ia lihat (syuhud) benar-benar nyata dan teraba (wujud). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abu Mahmud Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani.
Malahan, sewaktu ombak warna ilahi tadi tengah bergelombang dengan sejadi-jadinya (tamawwuj), ia dapat memanifestasikan secara langsung kekuasaan Tuhan (tajalliyyah) hanya dengan mengatakan, tak ubahnya bagai diri-Nya, “Kun,” dan sesuatu yang dimaksudkannya itu pun terlaksana tanpa perantaraan doa.
Karena perhubungan yang tercipta antara dirinya dan Tuhannya bersifat dawam, Allah Yang Maha Berberkat lantas meletakkan pula keberkatan-Nya dalam perkataan, perbuatan, pergerakan, diam, makanan, pakaian, minuman, tempat, waktu, dan segala hal lain yang dimiliki oleh orang yang telah sampai pada derajat liqa’.
Akibatnya, setiap benda yang disentuhnya pun dengan sendirinya akan dipenuhi berkat. Ia melihat dan mencium keberkatan itu sehari-hari, dalam situasi mukimkah ataupun taktala sedang bersafar. Singkatnya, ia telah menjadi benar-benar ganjil (gharib) yang hakikat perkaranya tak diketahui siapa pun, kecuali Tuhan dan Pembimbingnya seorang. Ia sekarang menikmati harkat nan adiluhung bak putra-putra-Nya yang amat dikasihi.
“Putra-putra Allah” di sini tidaklah dimaksudkan bahwa para rohaniawan yang telah tiba di makam liqa’ sungguh-sungguh diperanak oleh Tuhan secara jasmani. Sebab, Allah Swt amat sangat luhur untuk mempunyai istri, keturunan, dan keluarga. Terminologi itu sebetulnya merujuk pada Surah al-Baqarah ayat 200 di mana Allah berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ
“Lantas, apabila kalian telah selesai menunaikan manasik-manasik kalian, ingatlah Allah sebagaimana kalian mengingat ayah-ayah kalian atau dengan pengingatan yang lebih dahsyat!”
Sejumlah ahli tafsir dari kalangan tabi’in, semisal ‘Ata’ b. Abu Rabaḥ (w. 114 H), Ad-Dahhak (w. 100 H), dan ar-Rabi‘ (w. 140 H), bahkan Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) selaku seorang sahabi menafsirkan bahwa maksud dari ayat di atas adalah bahwa seorang Muslim hendaknya mengingat dan mengagungkan Tuhan seperti halnya anak menghormati bapaknya. Ia harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagaimana seorang putra yang berbakti menuruti orang tuanya. Ibnu Jarir pun mengambil pandangan ini sebagai penafsirannya.
Jadi, peraih martabat liqa’ dijuluki putra Allah hanya dalam pemaknaan bahwa ia mencintai Allah dengan kecintaan yang menggebu-gebu dan cinta tersebut mendapat sambutan dari cinta ilahi. Percumbuan itu pun membuahkan ruh al-quds yang selalu menemaninya setiap saat dalam segala situasi dan kondisi. Malahan, dapat dikatakan bahwa ia tak lain adalah personifikasi dari ruh al-quds itu sendiri.
Dalam tradisi Yudeo-Kristiani, pemaknaan demikian kerap dijumpai. Contohnya, berkaitan dengan Nabi Dawud As , ada termaktub dalam Mazmur 2:7:
אֲסַפְּרָה אֶל חֹק יְהוָה אָמַר אֵלַי בְּנִי אַתָּ אֲנִי הַיּוֹם יְלִדְתִּי.
Asapperah el-khoq Adonai amar elai benī ātta anī hayom yeliditikha.
“Aku akan memberitahukan keputusan Tuhan. Dia berfirman kepadaku: Engkaulah putra-Ku. Pada hari ini, Aku telah memperanakkan engkau.”
Selanjutnya, tentang Nabi Sulaiman As, ada tercantum dalam 1 Tawarikh 17:13: אֲנִי אֶהְיֶה לּוֹ לְאָב וְהוּא יִהְיֶה לִּי לְבֵן. Anī ehyeh lo le’av vehu yihyeh li leven. “Aku akan menjadi ayah bagi-Nya dan ia akan menjadi putra bagi-Ku.”
Menurut seorang alim Yahudi asal Prancis pada abad pertengahan, Rabbi Sylomo Yitzhaki (w. 1105 M)–yang belakangan dikenal dengan akronim Rasyī, julukan “anak Allah” yang disematkan kepada Dawud As dan Sulaiman As menunjukkan bahwa mereka adalah raja-raja Israel yang saleh dan dicintai oleh Tuhan.
Kemudian, perihal para pembawa damai, Nabi ‘Isa As pernah bertutur dalam beautitude ketujuh, Matius 5:9: μακάριοι οἱ εἰρηνοποιοί ὅτι αὐτοὶ υἱοὶ θεοῦ κληθήσονται. Makarioi hoi eirēnopoioi hoti autoi huioi theou klētsēsontai.
“Berbahagialah para penganjur perdamaian sebab mereka akan dipanggil sebagai anak-anak Tuhan.”
Merujuk pada Hans Dieter Betz, cendekiawan Perjanjian Baru dari University of Chicago, para penegak perdamaian digelari sebagai anak-anak Allah karena penebaran damai merupakan fungsi dan konsekuensi langsung dari kesalehan (dikaiosynes) kepada Tuhan. Jika ditarik lebih jauh lagi, akan tampak bahwa Tuhanlah sejatinya pelaku utama dalam penegakkan kedamaian. Atas dasar ini, apa yang dilakukan oleh para penganjur damai pada pokoknya hanyalah imitasi terhadap karya dan pekerjaan ilahi. Baca di antaranya At-Tabari, Jami‘ al-Bayan, Hebrew-English Tanakh: The Jewish Bible Novum Testamentum Graece, Hans Dieter Betz, The Sermon on the Mount: A Commentary on the Sermon on the Mount, including the Sermon on the Plain.
Keyakinan dan iman yang sempurna telah mengisi dengan padat seluruh relung hatinya hingga tak ada lagi tempat yang tersisa bagi kesedihan, ketakutan, keragu-raguan, atau kegelisahan dalam menanti Sang Kekasih Hakiki.
Martabat liqa’ yang luar biasa mulia ini, dalam perbendaharaan lain, disebut sebagai syadidul quwa karena peraihnya merasakan dalam padanya pengalaman wahyu dengan level yang paling agung. Ia juga diistilahkan dengan dzul ufuqil a‘la sebab pengejawantahan ilham dan mukjizat yang terbit darinya berada di atas tingkatan yang tertinggi. Ia pun dikenakan dengan sebutan ra’a ma ra’a mengingat bahwa pemahaman mengenainya tak kuasa dijangkau oleh daya khayal manusia.
Demikianlah tiga tingkat kelezatan dan kebahagian yang dapat dicapai oleh manusia di dunia. Dengan menapaki ketiga anak tangga tersebut, ia kini naik (dunuww) ke hadapan singgasana ilahi dan menjadi orang yang dekat (muqarrab) di sisi-Nya. Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa aktivitasnya sudah selesai.
Suatu kegetiran justru muncul dalam hatinya melihat rekan-rekannya tengah menyantap kenestapaan spiritual. Ia pun turun (tadallī) kepada mereka untuk membagi-bagikan cercahan-cercahan kesuka-citaan ilahi. Ia mulai menampilkan di tengah-tengah mereka nur dan kecemerlangan samawi sepulangnya dari perjamuan kudus bersama Tuhan.
Lantas, jadilah ia khalifah Allah atau manusia sempurna (insan kamil) yang memediasi hubungan Khalik dengan makhluk-Nya (jami‘ at-ta‘alluqain) ibarat sebuah tali yang menengahi dua busur dalam satu panah (qāb qausain). Baca Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, al-Barahin al-Aḥmadiyya dalam Rūḥānī Khazā’in.
Inilah puncak segala puncak, zenit segala zenit, serta tujuan final eksistensi manusia di muka bumi.
وَفِيْ ذٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ