Ziarah kubur ke makam para wali dan orang-orang saleh yang dikeramatkan memiliki sejarah panjang. “Peradaban kuburan” mengakar dan kuat dalam perkembangan Islam. Dan bahkan, tradisi ini ini lebih panjang dari perdebatan mengenai hukum berziarah.
Namun, jarang sekali para pegiat ziarah membuat catatan khusus tentang perjalanan ziarahnya. Ini ironis, mengingat praktik ziarah bukan saja sudah lama, tapi juga cukup merata di berbagai belahan dunia Islam. Pun demikian dengan buku-buku yang mengulas fenomena ziarah yang dilihat dengan kacamata sosial-politik belum banyak disentuh oleh para peneliti (Henri Chambert Loir, 2007: 8).
Salah satu buku terbaik yang mengulas perjalanan ziarah ke sejumlah makam para Nabi, Wali, dan orang-orang saleh adalah sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Ghani An-Nabulusi. Buku yang diberi judul “Al-Hadhrah al-Unsiyyah Fi Ar-Rihlah Al-Qudsiyyah” ini merupakan catatan anjangsana sang wali asal Damaskus ini ke sejumlah makam di daerah Palestina (Qudsiyyah).
Sebelum mengulas tentang buku tersebut, alangkah lebih baik bila kita mengulas salah seorang ulama besar mazhab Hanafi ini terlebih dahulu.
Siapa Syaikh Abdul Ghani?
Nama lengkapnya adalah Abdul Ghani an-Nabulusi ad-Dimasyqi. Salah satu ulama besar mazhab Hanafi ini lahir pada tahun 1050 H/ 1641 M di Damaskus Suriah. Kepakarannya di berbagai bidang, terutama tasawuf, membuat banyak orang kesusahan dalam mendeskripsikannya (ghaniyyun ‘anitta’rif).
Selain kepada ayahandanya, ia belajar fikih kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Najm al-Ghazi, Syaikh Ali Syibramalisi, Mula Mahmud al-Kurdi, dan lain sebagainya. Sedangkan guru-guru tasawuf dan tarekatnya yang banyak memengaruhi pandangan tasawufnya adalah Syaikh Abdurrazzaq al-Kailani (mursyid tarekat Qadiriyyah di Hamah yang memberikan ijazah kemursyidan kepadanya), kemudian Syaikh Abu Sa’id al-Balkhi An-Naqsyabandi yang juga memberikan estafet mursyid tarekat yang didirikan Syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi ini.
Selain berguru secara langsung (bersua secara fisik) kepada para begawan yang saya sebutkan di atas, Syaikh Abdul Ghani juga banyak berguru secara jauh kepada ulama-ulama besar lain. Dan ini tak kalah berpengaruhnya membentuk cara pandang Syaikh Abdul Ghani, khususnya dalam bidang tasawuf. Di antara yang paling terdepan adalah sufi agung Muhyiddin Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Al-Afif at-Tilmisani, Abdul Karim al-Jili, dan sufi-sufi lain yang mengembangkan teori Wihdatul Wujud.
Murid-murid Syaikh Abdul Ghani cukup banyak. Ia mengajarkan sejumlah kitab di Masjid Jami’ Umayyah, tepatnya di sekitar Makam Nabi Yahya. Di antara kitab-kitab yang dibacakannya di Masjid yang dibangun oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah ini adalah kitab Jami’us Shaghir-nya Imam Suyuthi, Fushush al-Hikam-nya Ibnu Arabi, dan sejumlah kitab lain dari berbagai disiplin ilmu.
Ia, sebagaimana Imam Ahmad, al-Harits al-Muhasibi, dan sejumlah ulama-ulama besar lainnya yang pernah mengalami masa ujian “mihnah”. Dikisahkan saat ia berusia empat puluh tahun ia menyepi di rumahnya. Jarang makan, jarang bicara, bahkan jarang tidur. Rambut, jenggot, dan kukunya dibiarkan memanjang. Mendengar kondisinya yang demikian, sejumlah orang yang tidak menyukainya membicarakan ihwal Syaikh Abdul Ghani ini, hingga beredar luas gosip: ia tidak pernah shalat Jumat.
Hal demikian berlangsung selama tujuh tahun, sampai akhirnya mereka mengetahui fakta yang sebenarnya yang kemudian membalik kebencian terhadapnya menjadi mencintainya.
Karya-Karyanya
Ia dikenal sebagai salah satu ulama yang cukup produktif dalam menulis. Karya tulisnya meliputi berbagai bidang keilmuan. Sekurangnya ia telah menulis sekitar dua ratus karya yang terdiri dari berbagai catatan pendek hingga buku tebal berjilid besar.
Ia menulis tentang catatan kehidupan sosial-intelektualnya, sastra, tasawuf, fikih hingga politik. Sebagian dari karya-karyanya sudah disunting dan diterbitkan menjadi buku dan sebagian besar lainnya masih berbentuk manuskrip.
Kepakarannya dalam menjelaskan teori Wihdatul Wujud-nya Ibnu Arabi bisa dibaca dari karyanya yang secara khusus mengulas teori tersebut. Ia mengulas secara ringkas, padat, dan jelas makna wihdatul wujud dalam kitab yang diberi judul “idhahul maqsud min wihdatil wujud”.
Rihlah Ke Kota Suci Quds
Ulama yang hidup tahun seribu Hijriah menulis fikih sudah biasa. Menulis tasawuf, politik? Banyak sekali. Apa yang istimewa dari karya Syaikh Abdul Ghani? Tak lain adalah ia menulis catatan perjalanan spiritualnya ke berbagai daerah. Tulisan perjalanan ini, cukup membuat karyanya menonjol di antara deretan karya-karya klasik dalam khazanah literatur Islam.
Tercatat ia melakukan lima kali perjalanan ke berbagai daerah untuk menziarahi makam-makam nabi dan para wali. Ia mengunjungi Istanbul tahun 1075 H, kemudian ke Biqa’ tahun 1100 H, tahun berikutnya ke Quds, kemudian Mesir, Hijaz tahun 1105, dan terakhir ke Tharablis.
Sebagaimana dijelaskannya dalam buku rihlah-nya ini, ia bersama para jamaahnya menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima hari untuk berziarah. Ia memulai perjalanan ziarahnya pada hari Senin tanggal 27 Jumadil Akhir 1101 H atau bertepatan dengan Maret 1690 M. Salah satu keunikan dari karya Syaikh Abdul Ghani ini adalah beliau adalah menjelaskan semua daerah yang dikunjunginya dalam bentuk nazam (puisi) dan natsar (prosa).
Dalam prakata buku Ziarah Wali yang disunting oleh Henri Chambert Loir dkk disebutkan bahwa Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi mengunjungi tidak kurang dari 128 makam wali dan atau nabi, yang jarak rata-rata antara satu makamnya sekitar setiap dua kilometer. Ia menjelaskan ziarahnya lumayan rinci mengenai makam-makam yang diziarahinya dan juga ia mengisahkan ihwal sowannya kepada ulama-ulama setempat yang masih hidup. Serta menjelaskan secara detil tempat dan daerah yang dikunjunginya. Misalnya, saat ia menginjakkan kaki di tanah Quds:
Kota Quds memiliki sepuluh pintu masuk. Di antaranya “bab al-‘amud” yang berada di sisi selatan. Dari sisi ini juga ada pintu lain yang dinamakan dengan “bab ad-da’iyah” yang tersambung dengan Harah Bani Zaid. Kemudian pintu yang disebut dengan “bab dayr as-sarb” dan “bab as-sahirah”. Dari arah kiblat ada “bab harah al-mugharabah”, lalu “bab suhyun” yang dikenal dengan “bab Dawud”. Dari arah barat ada “bab shaghir”. Kemudian “bab al-mihrab” yang sekarang dikenal dengan sebutan “bab al-khalil”. Lalu “bab rahbah”. Sedangkan dari Timur ada “bab al-asbath”.
Buku ini cukup padat dan tebal untuk ukuran buku catatan perjalanan ziarah. Padahal ini baru rihlah pendek (ar-sihlah as-sughra), belum rihlah panjangnya (ar-rihlah al-kubra) yang ia lakukan dari Damaskus ke Mesir dan Hijaz. Sistematika penulisan kitab ini semacam catatan harian. Syaikh Abdul Ghani menuliskan laporan perjalanan ziarahnya dari hari pertama keberangkatannya hingga kepulangannya ke daerah asalnya, Damaskus.
Kesan saya pribadi, buku ini adalah buku bagus yang ditulis oleh ulama kesohor mengenai rihlahnya yang mengagumkan ke kota suci. Semoga kita semua mendapatkan kesempatan menziarahi tempat mulia ini dengan panduan dari kitab ini. Aamiin.