Ilmu pengetahuan menempatkan anak-anak didik sebagai subjek penting di dalamnya. Babak demi babak berkait pendidikan mengisahkan cerita, kenangan, dan impian besar. Cita-cita menjadi bahasa penting di dalam sekolah dengan tanya dari seorang guru. Anak-anak menyebutkan sederet nama profesi, baik itu dokter, polisi, tentara, hingga pengusaha. Konon, profesi menjadi seorang petani dan tukang kerapkali tersingkir.
Peserta didik secara sistem mengasingkan dari hal-hal yang sejatinya bagian dari kehidupan sehari-hari. Pergulatan di dalam sekolah berpengaruh. Cara pandang guru, buku pelajaran, dan juga perkembangan zaman dengan akses teknologi informasi. Di luar itu, ternyata ada kesan lain terhadap beberapa nama profesi masih menjadi asing di telinga. Profesi yang dianggap tidak memberi jaminan langsung.
Itulah mengapa Andi Hakim Nasoetion pernah mempersoalkan relevansi antara buku ajar terhadap pengenalan profesi kepada peserta didik. Pengakuan itu dapat disimak lewat tulisannya, Bacaan Paling Berkesan Semasa Kecil, termaktub di buku Pola Induksi Seorang Eksperimentalis (IPB, 2002). Penjelasannya seperti berikut:
“Itulah sebabnya kita perlu mengadakan buku-buku bacaan yang menggambarkan betapa menariknya berbagai profesi tertentu. Terutama profesi yang tidak langsung dapat dilihat apa hasilnya dengan mata. Bukan seperti profesi arsitek dan penerbang, melainkan profesi yang hasil kerjanya tidak tampak segera seperti ahli konservasi hutan, pengawas lalu lintasudara, dan guru!”
Kalimat itu agaknya penting untuk terus diingat dan diperhatikan pada abad ke-XXI. Konon, petuah dari sekolah terus berangsur-angsur menjadikan pemahaman apa yang dilakukan selama balajar harus berdampak pada jaminan kesuksesan. Bahasa klise itu telah merasuk di benak pikiran keluarga-keluarga di Indonesia. Pendidikan kemudian dimaknai sempit, terkait untung dan rugi. Pendidikan semakin jauh dari sikap dan pikiran ilmiah.
Oh, kita malah ingat pada catatan demi catatan peran lembaga penelitian dan keberadaan TVRI pada masa Orde Baru. Keduanya banyak membentuk pikiran ilmiah para remaja yang masih bersekolah. Bukti itu misalkan kita dapat simak di Majalah Akutahu edisi Februari 1988. Di salah satu halaman tersemat hasil pemenang lomba ilmiah dengan dilampirkannya artikel yang diiuksertakan. Pemenang itu bernama Theresia Ratih Sawitridjati.
Di bagian majalah tertera keterangan: Untuk meningkatkan wawasan IPTEK generasi muda Indonesia Majalah AKUTAHU dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mempersembahkan: Pemenang “Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI, TVRI 1987-1988”. Kehadiran majalah ingin memberi kesan bahwa keberadaannya selalu terdepan pada persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga, ingin menegaskan peran lembaga pemerintah untuk mencetak generasi muda melek ilmu pengetahuan.
Lomba bukanlah lomba. Orde Baru mengisahkan potongan sejarah penting bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu juga terkait urusan iman dan takwa. Keberadaan lomba ilmiah semacam itu rupaya juga membawa kesan tersendiri oleh Andi Hakim Nasoetion dalam buku lain karyanya, Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah Bagi Remaja (Grasindo, 1992). Ia memberikan penjelasan berupa:
“Hal itulah sekarang yang kebanyakan terjadi di seluruh wilayah Indonesia setlah Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI-TVRI membangkitkan demam menghasilkan sebanyak-banyaknya karya penelitian sebagai kriterium keberhasilan sekolah, serta pendidikan di tingkat kabupaten dan propinsi”.
Pengisahan penting menyandarkan fungsi dan peran pendidikan secara idealnya. Gairah dibentuk dengan upaya-upaya untuk membangun semangat dalam menempuh ilmu pengetahuan. Duh, kita di zaman ini mungkin begitu terlambat untuk memulainya kembali. Abad XXI harus bertarung dalam menulis karya ilmiah? Mungkin lebih memilih “prei”. Bahkan lebih dari itu, pilih menggunakan waktu untuk aktivitas yang ngetrend pada zamannya.
Oh, kita malah teringat sebuah buku garapan Naning Pranoto. Buku berjudul Penulisan Kreatif untuk Anak: Kiat Dahsyat bagi Orang Tua dan Guru Memandu Anak Menulis (Tiga Serangkai, 2015). Buku memuat petuah bagi guru dan orang tua dalam memberi pantikan, melatih, dan berdialog kepada anak dalam mengasah kemampuan menulis.
Tulisnya: “Anda sebagai orang tua atau guru, tidak ada salahnya memimpikan anak-anak didiknya menjadi penulis besar. Namun, bukanlah hal yang mudah untuk mengarahkan mereka menjadi penulis. Selain memerlukan kerja keras, latihan-latihan menulis dalam waktu yang panjang, serta banyak memberi annak-anak pengetahuan, wawasan, dan pengalaman, juga harus terus-menerus memantapkan kesukaan mereka terhadap menulis”.
Pernyataan agaknya terlampau berat dan sulit. Kita memiliki banyak dugaan untuk membuat kisah anak dan tulisan perlu menempuh berbagai syarat. Keluarga menjadi lingkup mendasar sebelum dibarengi peran pendidikan. Di sana tersirat pertaruhan pustaka. Untuk memulai, keluarga mau tak mau wajib memberi perhatian pada kepustakaan anak. Oh, iya, zaman digital, kan terus mengisahkan budaya kita sulit kepada literasi. Ia mungkin masih kalah dengan budaya audiovisual. Gawat.[]