Saban tanggal 28 Oktober, berbagai poster tersebar di mana-mana mengusung tajuk diskusi tentang Sumpah Pemuda. Dalam berbagai acara, ibu-ibu dan bapak-bapak memekik tentang peran anak muda, “Sekarang saatnya anak muda yang maju, generasi milenial. Yang kolonial siap bantu.” Tapi benarkah demikian? Termasuk pada forum dan kegiatan dialog antariman, di mana keberadaan dan peran anak mudanya? Jangan-jangan hanya jadi juru kamera, menenteng proyektor, atau penerima tamu di meja pengisian daftar hadir.
Wajah dialog antariman yang paling populer ialah versi Orde Baru. Kekuatan kuasanya mampu memproduksi “politik kerukunan” bagi umat beragama di Indonesia. Orde Baru membayangkan tentang suatu bangsa yang besar dan bersatu dalam keberagaman yang bernama Indonesia. Namun sayangnya keberagaman tersebut dianggap sebagai ancaman bagi proyek Pembangunan Nasional. Identitas yang berbeda termasuk agama harus diredam, SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)!
Pelaku isu kerukunan antarumat beragama hanya melibatkan orang dewasa, khususnya para pemuka agama. Arah geraknya berputar-putar pada uapaya penaklukan secara halus terhadap umat beragama agar tidak memberontak dan kritis. Dialog antaragama berorientasi pada kerukunan yakni kehidupan yang harmoni, setiap penganut agama hidup masing-masing dan tidak saling mengganggu, meredam konflik, dan menyembunyikan perbedaan.
Orde Baru sudah tumbang, namun sayangnya paradigma tentang dialog antaragama di Indonesia masih banyak yang berwajah demikian. Keragaman seakan-akan sulit untuk dirayakan, stigma dan stereotip tentang penganut agama yang berbeda masih tumbuh subur, serta menjadi berbeda dianggap ancaman.
Begitu juga pandangan terhadap eksistensi dan peran anak muda. Anak muda dirasa masih terlalu dini untuk berkecimpung di ruang lintas iman. Apalagi harus berbicara tentang agama, “Anak muda tahu apa sih!”. Pelaku dialog antariman harusnya orang dewasa, bahkan pemuka agama yang sudah kuat imannya dan hafal banyak dalil.
Padahal umat beragama tidak terdiri dari para pemuka agama saja. Anak muda adalah bagian dari umat beragama yang layak terlibat menjadi pelaku dialog. Pemahaman tentang dialog antariman tidak terbatas pada kegiatan deklarasi dan konsolidasi semata dengan bergandengan tangan atau diskusi tentang dalil-dalil toleransi. Dialog antariman adalah wahana pertumbuhan iman, pelakunya dapat sembari belajar perihal teologinya masing-masing. Akan samapai kapan jika pelaku dialog antariman mesti bersyarat ‘mapan’ berteologi?
Lagi pula anak muda punya gayanya sendiri dalam mengembangkan kegiatan dialog antariman. Anak muda cenderung tidak terjebak pada formalitas dan basa-basi sekedarnya. Justru dialog antariman adalah ruang percakapan dan interaksi yang cair, hangat, dan tulus. Mereka bisa saling bersenda gurau dan memikirkan tentang nasib keragaman di Indonesia. Anak muda menghidupi toleransi dengan merawat kebersamaan sekaligus mempertegas keragaman itu sendiri. Dalam mengusung program dan kampanye toleransi, anak muda juga sangat handal memadukan kreativitas dan daya kritis. Bagi anak muda perjumpaan lintas iman tidak melulu membicarakan agama.
Dialog antariman harusnya menjadi keseharian kita yang mendarah-daging, terlebih bagi anak muda di Indonesia yang hidup di tengah keragaman. Bahkan sebenarnya anak muda sudah terbiasa melakukan dialog antariman sebagai dialog kehidupan. Anak muda mengikuti pemengaruh (influencer) yang berbeda agama, mereka saling bersahut-sahutan di kolom komentar. Anak muda juga mempunyai teman satu kelas yang berbeda agama, mereka duduk bersampingan dan bisa kerja kelompok. Anak muda berkolega dengan rekannya yang berbeda agama, mereka saling curhat dan nongkrong bareng. Bahkan ada juga kan yang jatuh cinta dengan orang yang berbeda agama?
Kita harus yakin bahwa anak muda di Indonesia cenderung lebih terbuka dan toleran. Di internet, wajah dialog antariman anak muda sudah menunjukkan tren tersebut. Di banyak kanal YouTube ada banyak konten yang menyajikan dialog antariman yang lucu, reflektif, sekaligus mengkritik. Pemengaruh bersama warganet saling membalas humor, dan uniknya sambil belajar agama juga. Apalagi di jagat Twitter, admin-admin Garis Lucu sudah memulainya terlebih dahulu. Kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) direspons dengan tajam dan menggelitik.
Yuk saatnya kita “mentertawakan” keberagaman kita. Dialog antariman adalah kegiatan yang asyik dan menyenangkan, apalagi pelaku dan penggeraknya ialah anak-anak muda. Lagian jangan takut, Gus Dur yang senior saja sudah curi start sejak dahulu.