Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (17): Tafsir Jalalain, Kitab Hasil Kolaborasi Guru dan Murid
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Mengenal Kitab Pesantren (17): Tafsir Jalalain, Kitab Hasil Kolaborasi Guru dan Murid

التفسير الجلالين

Tafsir Jalalain, sebuah kitab tafsir yang mulanya ditulis oleh ulama besar kota Kairo, Mesir bernama Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli yang lahir pada tahun 791 H. Beliau wafat tahun 864 H di umur 73 tahun dan dikebumikan di dekat gerbang benteng kota Kairo yang dikenal dengan Bab an-Nashr.

Sayangnya, saat ini makam beliau tertutup oleh banyak bangunan penduduk di sekitarnya dan ketika kami berkunjung kesana membutuhkan waktu cukup lama untuk menemukan makam beliau. Uniknya, Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli memulai menulis karya tafsirnya dari awal surat al-Kahfi dan ia terus melanjutkan menulis catatan tafsirnya hingga selesai surat an-Nash dan surat al-Fatihah. Hingga akhir hayatnya, Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan karya monumentalnya ini.

Waktu terus berlalu dan tidak ada satupun ulama di zaman setelah Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli yang mampu menyempurnakan karya monumental tersebut. Tak lama kemudian, salah satu muridnya yang bernama Syeikh Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi memulai menyempurnakan karya sang maha guru pada permulaan bulan Ramadhan tahun 870 H.

Uniknya, Imam Suyuthi menyelesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Tercatat, Imam Suyuthi menyempurnakan penafsiran al-Qur’an dari awal surat al-Baqarah hingga akhir surat al-Isra’ dalam tempo sekitar empat puluh hari, yaitu sejak awal bulan Ramadhan hingga tanggal 10 bulan Syawal tahun 870 H. Lebih uniknya lagi, imam Suyuthi menyelesaikannya tepat di umur beliau yang ke-21 tahun, Imam Suyuthi lahir tahun 849 H. Tentu hal ini adalah sebuah keajaiban dimana Imam Suyuthi mampu menyempurnakan karya tafsir Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dengan corak penafsiran yang hampir sama dengan tempo yang singkat dan di usianya yang masih sangat muda.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (43): Dhau’-al Misbah, Kitab Praktis Pernikahan Ala Mbah Hasyim Asy’ari

Corak penafsiran yang diambil oleh Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syeikh Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi dalam kitab ini adalah mengambil penafsiran paling unggul yang telah digunakan oleh mayoritas ulama ahli tafsir di masanya dengan bahasa yang singkat, ringkas dan mudah difahami oleh masyarakat awam. Oleh karena itu, kitab Tafsir Jalalain adalah salah satu kitab tafsir paling ringkas dimasanya.

Kedua tokoh yang juga guru dan murid ini memiliki gelar yang sama, yaitu Jalaluddin, sebuah gelar yang tentu memiliki makna dan alasan dibaliknya. Menurut Syeikh Ahmad bin ash-Shawi, julukan Jalaluddin bermakna sosok yang diagungkan dalam bidang ilmu agama dan gelar ini hanya diberikan kepada seseorang yang diagungkan sebab kontribusinya yang besar dalam karya-karyanya di bidang ilmu agama. Oleh sebab itulah, karya tafsir ini disebut dengan Tafsir Jalalain yang bermakna tafsir dua orang yang bergelar al-Jalal.

***

Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya dahulu ketika mengaji kitab Tafsir Jalalain di pondok pesantren Lirboyo-Kediri di bawah bimbingan almarhum kyai Ahmad Idris Marzuki. Menurut santri-santri senior, gaya berbicara, cara menjelaskan, serta memaknai kitab Tafsir Jalalain, Kyai Ahmad Idris Marzuki sangat mirip dengan ayah beliau yaitu kyai almarhum Kyai Marzuki Dahlan. Hal ini ditambah dengan cerita dari salah satu guru kami di Ponpes Lirboyo yang mengisahkan dahulu Kyai Idris atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Idris semasa muda tidak terlalu nampak bakat keilmuannya bahkan sempat diragukan akan sukses melanjutkan estafet keilmuan di Ponpes Lirboyo di masa selanjutnya.

Baca juga:  Melihat Engels dari Sudut Pandang Keislaman

Akan tetapi, takdir berkehendak lain tepat sehari setelah wafatnya Kyai Marzuki Dahlan dengan terpaksa Gus Idris Marzuki dituntut untuk menggantikan posisi ayahnya dalam mengajarkan kitab Ihya’ Ulumuddin, kitab Tafsir Jalalain, serta memimpin jama’ah sholat lima waktu di masjid Ponpes Lirboyo.

Tentu, keraguan para santri senior semakin mendekati kenyataan dalam benak mereka terbersit pertanyaan mampukah Gus Idris menggantikan peran mahaberat ayahnya. Waktu sholat shubuh pun dimulai santri berbondong-bondong untuk menuju masjid Ponpes Lirboyo, tetapi mereka terkaget-kaget saat tiba di pelataran masjid, mereka mendengar suara yang sangat mirip dengan suara Kyai Marzuki Dahlan ketika memimpin sholat jama’ah. Tak dinyana, suara itu bersumber dari Gus Idris yang ngimami jama’ah sholat shubuh.

Rasa kaget mereka rupanya belum usai. Tak beberapa lama kemudian, dari rumah almarhum Kyai Marzuki Dahlan terdengar suara pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin dilanjutkan dengan pengajian kitab Tafsir Jalalain yang sangat mirip dengan suara Kyai Marzuki Dahlan. Ternyata, suara itu adalah suara Gus Idris yang sedang mengajarkan dua kitab tersebut sebagaimana ayahnya mengajarkan.

Usai pengajian, seperti biasa Gus Idris singgah sejenak di kamar pamannya yang bernama Gus Khalil Ya’qub. Menurut penuturan para santri senior Gus Khalil Ya’qub adalah seorang putra kyai yang sangat jenius, yang umurnya tidak terpaut terlalu jauh dengan Gus Idris Marzuki, dan saat itu juga menjadi pengajar di ponpes Lirboyo.

Baca juga:  Resensi Buku: Dalil-dalil Gus Muwafiq Merawat Tradisi Nusantara

“Loh sekarang kok beda ngajarnya bagus, cara memaknai dan menjelaskannya juga bagus seperti Kyai Marzuki, gus?” Ujar Gus Khalil Ya’qub

“Injeh, ini tadi ketika saya mengajar kitab, saya melihat ayah saya menyimak tepat dipinggir saya” Jawab Gus Idris Marzuki.

Sontak, seketika itu menjadi terjawab sudah pertanyaan para santri yang terheran-heran kala itu. Mungkin benar kata orang bahwa seorang putra kyai atau putra orang-orang sholih terkadang mendapatkan barokah dari doa-doa leluhurnya. Mungkin di antara putra kyai atau putra orang-orang sholih tersebut memiliki riwayat nakal atau mbeling dimasa mudanya. Akan tetapi, mereka menjadi tokoh yang berpengaruh dan berilmu dimasa tuanya berkat doa dan tirakat leluhur mereka.

Menurut beberapa santri senior, dahulu Kyai Marzuki Dahlan juga pernah memiliki kesulitan dalam mengajarkan kitab Tafsir Jalalain. Kemudian, dalam sebuah kesempatan Kyai Marzuki Dahlan ditemui oleh Nabi Khidir dan ia mengajarkan Kyai Marzuki Dahlan kitab Tafsir Jalalain dari awal hingga akhir. Karena itulah, mengaji kitab Jalalain kepada Kyai Idris Marzuki sangat terasa istimewa. Hal ini dikarenakan makna pegon yang beliau pakai ketika mengajar adalah makna pegon yang diajarkan oleh Kyai Marzuki Dahlan, hasil pengajaran dari nabi Khidir. Wallahu A’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top