Sedang Membaca
Menelisik, Berisik Berawal Bisik-Bisik
Halimi Zuhdy
Penulis Kolom

Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun dan Guru BSA di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Menelisik, Berisik Berawal Bisik-Bisik

83172644 10215857827667803 3845283240856256512 N

Beberapa bulan lalu saya dan beberapa teman menghadiri acara Walimah Ursy seorang guru yang juga teman dekat, teman perempuan yang menjadi manten ini sudah cukup berumur, ia umur empat puluh tahun baru mendapatkan pasangan cintanya.

Ketika kita masuki ruang resepsi dan berdesak-desakan dengan para undangan yang lain, teman di samping saya ini menatap tajam Koadi Penganten dalam-dalam, “Tua banget suaminya!” Ia sambil melenggoh dan mencibir.

Saya heran juga mendengar perkataan teman di samping saya ini, kemarin ia juga membicarakan perempuan yang ada di pelaminan itu, katanya, “Sudah tua kok belum punya suami, pendidikan sudah tinggi, pekerjaannya sudah mapan, kok cuek sama laki-laki, milih-milih suami lagi, apa yang ia cari?”, katanya, sambil menghembuskan rokok kretek herbalnya yang tidak pernah lepas dari tangannya. Kini, setelah ia menemukan pasangan hidupnya, juga tidak terlepas dari ocehannya dan telisiknya, ditambah bisik-bisiknya.

Manusia itu memang unik plus gemesi dan plus lainnya. Bila melihat orang lain belum mendapatkan suami, dirasani. Katanya perawan tua. Sudah mendapatkan suami, dirasani, sudah tua kok menikah. Kadang merasaninya belum cukup, sudah menikah, dirasani, suaminya kok tua banget. Kadang belum cukup. Wajahnya kurang ganteng lah, pekerjaan suamnya kurang mapan lah. Dan kalimat-kalimat yang memekakkan telinga. Waduh.

Baca juga:  Ulama, Seks, dan Milkul Yamin

Ia terus menelisik orang lain, dalam pandangannya orang tidak pernah baik, dan selalu kurang, dan ia tidak pernah melihat kekurangan dirinya. Atau mungkin lupa.

Melihat orang lain belum bekerja, dirasani. Sudah bekerja, dirasani, pekerjaannya kok gajinya kecil. Sudah bergaji, belum punya istri. Sudah punya istri, kok belum punya anak. Sudah beranak pinak, masih dirasani, belum punya rumah. Sudah punya rumah, masih saja dirasani, pasangan tidak romantis. Dan hal lain-lainnya ditelisik lebih dalam. Tidak cukup ditelisik, dikanjutkan dengan berbisik-bisik pada orang lain. Mencari teman seprofesi, “ngibah”.

Kadang heran mengapa suka sekali mencari kesalahan dan kekurangan orang, seakan-akan dirinya tidak pernah punya kekurangan. Wong dirinya, bisa saja lebih menumpuk dan bergembel.

Untuk menaiki rating dirinya, untuk menaiki tangga dirinya, untuk menjadi terhormat di mata orang, tidak harus menjatuhkan orang. Bukankah, orang yang menjatuhkan orang lain, ia suatu saat akan jatuh. Bukankah mengorbankan orang lain, dan bermaksud menguburkan, ia akan terkubur sendiri.

Mengapa banyak orang yang suka melihat aktifitas orang lain? Karena ia lupa akan dirinya, lupa akan aib dirinya, lupa bahwa dirinya punya lubang, yang mengeluarkan kotoran. Maka, Nabiyuna memberi tips agar tidak terlalu sibuk melihat aib orang lain adalah dengan selalu melihat aib dirinya.

Baca juga:  Kisah Kiai Bisri Mustofa: Makan Dulu Sebelum Bertamu

مَنْ نَظَرَ في عَيْبِ نَفْسِه اِشْتَغل عَن عيْبِ غيْرِه

“Barang siapa yang melihat aib sendiri, maka ia akan terpalingkan dari aib orang lain.”

وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di Dunia dan Akhiratnya.”

Menelisik diri kadang sering lupa, karena merasa sudah sempurna. Menelisik orang lain berupa-rupa, karena menganggap dirinya tak berdosa. Mudah-mudahan dijauhi dari berbisik, menelisik aib orang lain. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top