Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamanya sendiri.
~ Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Menurut orang-orang desa, standar seseorang dapat dikatakan telah dewasa ialah ia yang sudah mempunyai pendapatan sendiri, tidak lagi bergantung pada orang tua, dan syukur-syukur sudah bisa menghidupi anak orang dalam sebuah mahligai keluarga. Hal itu biasanya belum dapat dipenuhi oleh anak-anak muda desa yang kebetulan dapat kesempatan melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Anak-anak muda ini biasanya dianggap belum mandiri, karena masih “sekolah”, sehingga masih membutuhkan “sangu” dan “biaya sekolah” dari orangtuanya.
Anggapan itu memang tidak sepenuhnya salah. Banyak mahasiswa yang memang masih membutuhkan biaya pendidikan dari orang tuanya, karena memang mahalnya biaya perkuliahan. Apalagi untuk jurusan tertentu yang membutuhkan biaya lebih. Namun, banyak juga mahasiswa-mahasiswi yang sadar akan kemandirian ini, kebanyakan karena memang terbentur oleh masalah ekonomi, yakni belum cukupnya biaya hidup dari “sangu” orang tua, namun tetap menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka.
Kita tahu, tidak semua mahasiswa mempunyai privilege lahir dari keluarga kaya. Banyak dari mereka merantau dari desa, berasal dari keluarga sederhana. Uang saku yang diberikan orang tua mereka kadang hanya cukup untuk membayar UKT kampus, tapi tidak mencukupi untuk biaya hidup di perkotaan. Mereka juga tidak bisa memaksakan orang tua mereka untuk menambahkan uang saku untuk mereka lagi, karena penghasilan orang tua mereka yang mungkin tidak seberapa dan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang lain. Akhirnya, para mahasiswa dari desa ini dipaksakan untuk berhadap-hadapan dengan upaya menuju kemandirian. Paling tidak, mempunyai pendapatan untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri terlebih dahulu.
Quotes yang dikutip di atas, merupakan penggalan kalimat yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam novel masterpiece-nya, Bumi Manusia. Kalimat itu berisi dorongan bagi setiap orang, khususnya anak-anak muda, untuk menjadi mandiri. Pemuda yang tidak perlu sokongan siapapun untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Atau bisa diartikan, seorang mahasiswa yang apabila lulus, tak memerlukan jalur-jalur ‘orang dalam’ untuk bekerja dan memiliki pendapatan yang layak. Namun, sebagaimana ‘kebahagian-kebahagian’ lain, kemandirian sejati itu juga perlu diperjuangkan dan diusahakan sedikit demi sedikit untuk belajar mandiri semampunya dulu. Belajar mandiri itu bisa ditemukan pada sejarah hidup manusia-manusia besar idola kita.
Belajar Mandiri dari Kanjeng Nabi
Sejak belia, anak-anak muslim diceritakan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW. di surau-surau, TPA-TPA, dan pengajian-pengajian di masjid. Mulai dari peristiwa penyerangan Kakbah oleh pasukan gajah-nya Abrahah, sampai hijrah beliau dan wafat beliau, secara sederhana sesuai bahasa anak-anak. Anak-anak diceritakan bagaimana Kanjeng Nabi yang yatim piatu sejak usia 6 tahun, dan ditinggal wafat kakeknya di usia 8 tahun. Setelah itu, Kanjeng Nabi kecil diasuh oleh pamanya, Abu Thalib.
Setelah menginjak remaja, Kanjeng Nabi membantu pamanya dengan menggembala kambing dan saat cukup umur, diajak pamanya untuk berdagang ke Syam. Saat perjalanan ke Syam itulah, Abu Thalib bertemu pendeta Buhaira yang memintanya membawa keponakanya untuk kembali ke Makkah, sebagai perlindungan dari keburukan orang-orang Yahudi. Dalam cerita yang banyak dihafal anak-anak muslim itu, terdapat pelajaran tentang belajar akan kemandirian pada sosok teragung ini.
Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam karyanya, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, menuliskan beberapa ibrah dan pembelajaran bagi umat Islam dari kisah Kanjeng Nabi remaja yang mencari rezeki lewat menggembala dan berdagang ini. Salah satunya, yaitu bagaimana Kanjeng Nabi dianugerahi Allah SWT. memiliki perasaan mulia dan kepekaan yang mendalam.
Abu Thalib tentunya merawat beliau dengan belas kasih dan simpati yang besar, tanpa beliau bekerja pun, pamanya itu pasti tetap akan mencukupi kebutuhan keponakan yang dicintainya itu dengan baik, sampai Kanjeng Nabi memang berusia cukup dewasa untuk bekerja. Namun Kanjeng Nabi tetap bekerja semampunya. Mungkin, penghasilan beliau waktu itu tidak seberapa dalam membantu pamanya, namun itu membuktikan beliau memiliki akhlak mulia, dengan berusaha berterima kasih pada pamanya, mulia dalam tabiat, dan baik dalam bermuamalah.
Dari kisah Kanjeng Nabi remaja yang belajar mandiri itu pula, terdapat hikmah Ilahiyah untuk kita yang dikemukakan oleh Syaikh Ramadhan Al-Buthy:
أَنَّ خَيْرَ مَالِ الْإِنْسَانِ مَا إِكْتَسَبَهُ بِكَدِّ يَمِيْنِهِ وَ لِقَاءُ مَا يُقَدِّمُهُ مِنَ الْخِدْمَةِ لِمُجْتَمَعِهِ وَ بَنِيْ جِنْسِهِ وَ شَرُّ الْمَالِ مَا أَصَابَهُ الْإِنْسَانُ وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى ظَهْرِهِ دُوْنَ أَنْ يَرَى أَيَّ تَعَبٍ فِيْ سَبِيْلِهِ وَ دُوْنَ أَنْ يَبْذَلَ أَيَّ فَائِدَةٍ لِلْمُجْتَمَعِ فِيْ مُقِابَلِهِ.
Artinya : “Sesungguhnya sebaik-baik harta manusia adalah apa yang dikerjakan oleh usaha tanganya sendiri dan dapat mempersembahkan khidmat kepada masyarakat dan sekitarnya. Dan seburuk-buruk harta adalah apa yang diperoleh seseorang, sementara ia bersandar pada punggungnya tanpa melihat adanya kepenatan apapun dalam memperolehnya dan tidak memberikan apapun faidah pada masyarakat dalam praktiknya.”
Beban Pundak Ringkih Pram Remaja
Pramoedya dikenal sebagai sastrawan besar, yang konon berulangkali jadi kandidat untuk mendapat nobel sastra. Novel-novelnya mengangkat tema-tema besar tentang bangsa dan kehidupan, yang sarat akan kalimat-kalimat menyihir pada para pembacanya. Di balik karya-karyanya itu, pelajaran-pelajaran pahit manis kehidupan dilalui perjalanan hidupnya. Terlahir sebagai anak guru sekaligus aktivis berideologi nasionalis dengan lahir secara prematur, masa kecil yang diringi perasaan inferior karena sering dibentak ayahnya sebagai ‘orang bodoh’ sebab tiga kali tidak naik kelas di SD, sampai tiba-tiba harus menjadi tulang punggung saat remaja.
Hal itu terjadi bermula dari kondisi ekonomi keluarga Mastoer, ayah Pramoedya, yang memang riskan. Diceritakan oleh Mukhibbullah dalam Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi Pramoedya Ananta Toer, walau bekerja sebagai guru, namun aktivitas Mastoer sebagai aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia) membuat kondisi ekonominya tertekan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sebagai penganut nasionalis kiri, membuatnya tidak mau bekerjasama sama sekali dengan Pemerintah. Perasaan tertekan itu malah dilimpahkan pada sifatnya yang pemarah pada anak-anaknya dan kesukaanya bermain judi. Itu membuat kondisi ekonomi keluarganya semakin ringkih, ditambah seringkali terlibat cek cok dengan istrinya, ibu Pramoedya.
Kondisi itu yang membuat Saidah, ibu Pramoedya, menjadi tulang punggung keluarga. Ia membanting tulang dengan cara berjualan nasi, beras, dan lainya untuk mendapat uang. Pram remaja sering membantu ibunya berjualan. Suatu hari, ibunya sakit parah. Mau tidak mau, sebagai anak tertua, beban tulang punggung keluarga beralih ke pundak ringkih Pram remaja. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Pram mesti berjualan tenun, rokok, dan tembakau. Setiap harinya, ia harus mengayuh sepeda sepanjang 40 KM dari Blora ke Cepu untuk berjualan. Sepulang dari bekerja, Pram masih harus merawat ibunya yang sakit. Setelah ibunya meninggal, beban tulang punggung keluarganya mesti sepenuhnya harus ia tanggung untuk menghidupi adik-adiknya.
Dari kisah-kisah ini, para pemuda desa yang sedang berjuang menyelesaikan pendidikan tingginya di perantauan tidak perlu terlalu mendengarkan omongan-omongan miring yang menganggap mereka belum mandiri dan belum pantas menjadi orang dewasa. Bahwa kemandirian itu bisa diperoleh dengan belajar sedikit demi sedikit. Dengan berusaha bekerja sambil kuliah sesuai dengan kemampuan, walaupun penghasilanya tidak banyak, itu sudah menjadi bukti yang cukup dengan kepekaan mereka terhadap orang tua mereka. Mereka tidak mau menambah beban orang tua mereka lagi. Mereka juga sedang belajar untuk memperoleh sebaik-baik harta yang dimiliki manusia dan menuju kebahagiaan menikmati hasil keringat sendiri. Wallahu a’lam bish showab.