Pesantren merupakan salah satu pendidikan tertua, unik dan memiliki tradisi yang mengakar dalam sejarah Indonesia. Selaras dengan perkataan Martin van Bruinessen bahwa pesantren adalah sistem pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai tradisi agung, unggul dalam aspek pengajaran agama Islam, baik dalam tradisi keilmuan dan merawat nilai-nilai moral. Sehingga pesantren berada di ruang yang luas dalam transformasi sosial dan pemberdayaan masyakarakat.
Gus Dur, dalam buku Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, mencoba menampilkan wajah pesantren lebih inklusif dan humanis, yang mana hal ini memang berangkat dari tradisi keilmuan pesantren yang dibangun sejak berabad-abad lamanya. Maka tidak keget ketika pesantren dikontruksikan sebagai lembaga tertutup dan kebal terhadap perkembangan zaman atau yang dalam bahasa Gus Dur; pesantren sebagai subkultur.
Buku yang menghimpun enam belas bab masih mempunyai satu nafas, yaitu fenomena yang ada di dunia pesantren. Gus Dur dengan lantang menyuarakan pemikiran “pembaharu” pesantren pada mulanya mendapat ruang sempit, dicurigai, dan sangat asing dalam wacana keislaman, tentu bagi kaum pesantren. Tetapi, ketika kita melihat perkembangan pesantren hari ini, justru terbalik. Pesantren bukan lagi ruang yang tertutup atau sebagai subkultur yang membatasi diri dengan tradisi sekitar.
Tapi, bila kita lebih cermat melihat bahwa tradisi khas di pesantren seperi konsep barokah, hubungan guru-murid, transmisi keilmuan, dan karakteristik lainnya, jelas mengukuhkan pesantren sebagai subkultul (hal. xviii). Kendati demikian, tidak final kita mengatakan bahwa pesantren tidak melakukan perubahan di era globalisasi sekarang. Lebih tepatnya pesantren sudah bergeser, mencari akar tradisi yang sudah mapan.
Tradisi pesantren seperti penghormatan santri kepada kiai, konsep barokah, mandiri, sistem pengajaran yang terpaku pada sorogan dan bandongan, juga kultur yang dibangun di dalamnya seperti pola kekeluargaan masih menjadikan pesantren sebagai ikon dari budaya pedesaan. Apalagi kebersamaan cukup lengket dan dirawat dengan baik di pesantren, lebih-lebih pembelajar yang nyaris berlangsung selama 24 jam di bawah asuhan kiai, sosok yang sangat disegani dan dihormati oleh santri.
Jauh-jauh hari, Gus Dur menawarkan pembaruan kurikulum, peningkatan sarana dan prasarana, manajemen kepemimpinan dan berbagai hal lain yang sejak dulu menjebak pesantren dalam pusaran kemapanan. Di sini, Gus Dur merobek kemapanan tersebut dalam konteks untuk kemajuan sistem pengetahuan pesantren sendiri. Hal ini tidak begitu mengagetkan, karena Gus Dur memang tumbuh dan besar di lingkungan pesantren Tebuireng, yang menjadi kiblat pesantren di Indonesia.
Buku yang dirangkum dari esai-esai yang nongol di berbagai media cetak, jurnal, dan bahan seminar atau pelatihan dalam rentang waktu tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an, di mana berada dalam pusaran program pembangunan era Orde Baru (hal. v), masih mempunyai nafas segar di tengah arus modernisasi yang membelenggu kehidupan masyarakat, tidak terkecuali orang-orang pesantren.
Pola pengajaran yang berorientasi terhadap pengaplikasian secara langsung dalam interaksi santri mampu membentuk karakter dan kepribadian yang khas. Model semacam itu tidak ditemukan di luar pesantren. Ketika kiai atau ustadz mengajari tata cara bersuci misalnya, selesai pembelajaran santri langsung melaksanakan secara mandiri apa yang sudah didapatkan di dalam kelas tersebut. Inilah salah satu keunikan pesantren, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan dan tentu berbeda dengan masyarakat di luar pesantren.
Begitupun penghormatan kepada kiai. Santri merasa mempunyai tanggung jawab untuk menghamba kepada sang kiai yang sudah mendidik sepenuh hati selama di pesantren. Kiai menjadi figur yang setiap perkataan dan perbuatan dijadikan cermin yang dipantulkan dalam kehidupan santri. Lebih-lebih hal semacam ini sebagai upaya untuk mendapatkan pahala sang guru.
Perkembangan di dunia pesantren bukan serta-merta berada di ruang kosong, melainkan berangkat dari ide-ide cemerlang para kiai dan tokoh pesantren, salah satunya yang sejak awal ditawarkan Gus Dur. Maka, untuk konteks hari ini, dibutuhkan pembacaan ulang dan penelitian lebih lanjut mengenai tradisi yang sudah dibangun sejak berabad-abad lalu. Dan, buku ini layak untuk dijadikan satu di antara pustaka yang penting dibaca dan dipelajari.
Buku: Menggerakkan Tradisi
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetaka III, Januari 2010
Ukuran Buku: 12 x 18 cm
Tebal: xxviii + 277 halaman
ISBN: 979-8966-92-9