Sedang Membaca
Dua Fatwa Legendaris dalam Sejarah Islam
Nanda Winar Sagita
Penulis Kolom

Pengajar sejarah dan penulis lepas, tinggal di Takengon, Aceh Tengah.

Dua Fatwa Legendaris dalam Sejarah Islam

Dalam kaidah fikih, fatwa memang bukan sumber hukum utama yang mesti dipegang teguh oleh seluruh umat Muslim. Salah satu sebabnya karena kedudukan fatwa tidak terlepas dari subjektifitas, baik itu bersifat personal yang berasal dari ijtihad seorang mufti atau bersifat kolektif yang berasal dari hasil muktamar organisasi ulama tertentu.

Akan tetapi dalam beberapa kasus, fatwa kerap menjadi sumber hukum yang mengikat dan memiliki pengaruh besar dalam tatanan kehidupan di suatu wilayah. Sebagai contoh adalah Fatwa Oran, yang mewakili sejarah Islam di Dunia Barat, dan Fatwa Alamgiri, yang mewakili sejarah Islam di Dunia Timur.

 

Fatwa Oran

Sejak Kesultanan Granada dikalahkan pada 1492 oleh aliansi dari Aragon dan Kastilia dengan berlandaskan semangat Reconquista, terjadi gelombang pemurtadan massal atas umat Islam di Andalusia. Mereka dipaksa untuk memilih alternatif dilematis: antara enyah dari Semenanjung Iberia, dibunuh, atau tetap tinggal dan hidup tapi diwajibkan untuk memeluk agama Katolik. Bagi sebagian kecil masyarakat yang berada di sisi selatan memang lebih memilih untuk menyeberang ke Maroko, akan tetapi sebagian besar terpaksa harus tinggal dan dicap sebagai Kaum Morisco.

Meskipun demikian, mayoritas dari kaum Morisco tersebut sebenarnya masih berstatus sebagai kripto-Islam dan hanya berpura-pura menjadi penganut Katolik dengan tetap menjalankan ritual islami secara diam-diam. Hal ini tidak terlepas dari serangkaian fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti bermazhab Maliki dari Fez, yakni Ahmad bin Abi Jumah, dan sering disebut dengan istilah Fatwa Oran.

Baca juga:  Sumur Aris (2): Isyarat Suksesi al-Khulafa ar-Rasyidun

Fatwa Oran ditulis dalam aksara Almajiado (huruf Arab gundul yang dipakai untuk membaca tulisan Spanyol—semacam huruf Jawi) dan dikeluarkan pada 1504. Tujuan dari fatwa ini adalah untuk mengatasi krisis akidah yang menerpa Kaum Morisco, yang mana isinya menyangkut tentang dua hal pokok, yakni anjuran agar tetap mempertahankan iman dan adanya kelonggaran untuk melakukan penyimpangan agama demi mempertahankan nyawa.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fatwa ini menjadi semacam tuntunan bagi Kaum Morisco agar tetap melakukan praktik ibadah secara diam-diam meskipun dengan cara yang tidak lazim: seperti mengganti salat lima waktu dengan berdoa di dalam hati, membayar zakat dengan bersedekah kepada pengemis, atau berwudu meskipun harus menceburkan seluruh badan ke dalam laut.

Beberapa contoh lain misalnya secara lahiriah Kaum Morisco diperbolehkan untuk makan daging babi dan minum khamar; menginjak-injak Alquran dan menghujat Nabi Muhammad; mengakui Trinitas; atau mengikuti peribadatan ala Katolik di gereja, akan tetapi niat dalam hati mereka harus menyangkal semua itu. Dengan kata lain, fatwa ini memperbolehkan praktik ritual ibadah Katolik sebagai pengganti ibadah Islam asalkan niatnya tetap menyembah kepada Allah.

Meskipun salinan naskah dari fatwa ini disebarkan dan dibaca dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi pengaruhnya sangat luas. Fatwa ini juga menjadi dasar dari keimanan bagi umat Muslim yang masih bertahan di Semenanjung Iberia selama satu abad lebih hingga Raja Philip II memerintahkan agar seluruh Kaum Morisco diusir dari Spanyol sekira pada 1609-1614. Hingga saat ini, satu-satunya salinan asli dari naskah Fatwa Oran yang masih tersisa dapat ditemukan di Perpustakaan Vatikan.

Baca juga:  Bagaimana Respon Masyarakat Madinah Terhadap Dakwah Rasulullah Saw?

 

Fatwa Alamgiri

Tidak dapat dimungkiri: masa kejayaan Imperium Mughal di India memang berada di bawah kepemimpinan Sultan Akbar yang berkuasa pada 1556 hingga 1605. Pada masa pemerintahannya, hampir seluruh anak benua India dan sebagian Asia Selatan berhasil ditaklukkan. Kesuksesan itu tidak terlepas dari beberapa faktor penting, yang mana salah satunya adalah sikap toleransi dan pandangannya yang terbuka menyangkut dengan agama. Dia tidak pernah memaksakan agar seluruh warga menganut Islam serta berupaya untuk menghapus beberapa hukum syariat yang terlalu membelenggu non-Muslim.

Bahkan, demi menjunjung tinggi persatuan, dia malah membuat agama baru dengan menggabungkan Islam dan Hindu yang disebut dengan Din-Ilahi. Ajaran Din-Ilahi memang secara perlahan mulai menghilang seiring dengan mangkatnya Sultan Akbar. Akan tetapi pengaruh liberalnya masih terasa hingga Muhiddin Muhammad Aurangzeb alias Alamgiri naik takhta pada 1659.

Berbeda dengan para pendahulunya, Sultan Aurangzeb adalah seorang Muslim Sunni ortodoks yang sangat anti pada pluralisme serta berusaha untuk menekan perkembangan Hindu dan Syiah. Sikap intoleransinya mulai tampak ketika memperlakukan kembali pajak jizyah, menghancurkan kuil-kuil Hindu dan Jain, serta mengeksekusi beberapa pemuka agama lain seperti Guru Sikh kesembilan Tegh Bahadur.

Adapun kebijakannya yang paling terkenal adalah melakukan revitalisasi ajaran Islam dengan memaksakan diberlakukannya hukum syariat kepada seluruh warga melalui serangkaian fatwa yang disebut dengan Fatwa Alamgiri.

Fatwa Alamgiri merupakan kompilasi hukum yang didasarkan pada mazhab Hanafi. Untuk menyusun fatwa tersebut, Sultan Aurangzeb mengumpulkan 500 fukaha; yang mana 300 orang berasal dari seluruh dataran Asia Selatan, 100 orang berasal dari Iraq, dan 100 orang lagi berasal dari Hijaz. Penyusunan itu berlangsung selama bertahun-tahun hingga menghasilkan 30 jilid lengkap yang mengatur segala segi kehidupan yang terkesan diskriminatif karena adanya perlakuan yang berbeda bagi setiap orang berdasarkan agama, kelas sosial, dan status ekonomi.

Baca juga:  Hubungan NU dan al-Azhar Mesir Sudah Terjalin Jauh Sebelum Indonesia Merdeka

Akibat dari diberlakukannya fatwa tersebut adalah terjadi banyak pemberontakan, baik bersifat subversif maupun separatis. Memang pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, akan tetapi situasi itu menjadi awal mula melemahnya pengaruh Imperium Mughal di India.

Meskipun kontroversial, akan tetapi Fatwa Alamgiri telah menjadi referensi sumber hukum di wilayah India hingga awal abad ke-20. Bahkan ketika Pemerintah Kolonial Inggris mulai memerintah di India, mereka memilih untuk mempertahankan fatwa ini sebagai sumber hukum lokal bagi masyarakat Muslim, ketimbang memperkenalkan sistem hukum Eropa yang sekuler.

Akan tetapi, hal itu menyulut protes baru dari Kaum Syiah, Ahmadiyah (yang merupakan ajaran baru) dan mazhab Sunni lain karena fatwa tersebut lebih cenderung pada mazhab Hanafi semata. Walaupun demikian, di beberapa tempat seperti Pakistan dan Bangladesh, hingga saat ini Fatwa Alamgiri masih diterapkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top