Pada dekade 80-an dulu, ada sebuah teori yang memukau anak-anak muda, para aktivis, kaum intelektual dan para peminat gagasan pada umumnya — teori dependencia. Teori ini dikembangkan oleh para intelektual kiri seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank dan Paul Sweezy. Ia mula-mula amat populer di Amerika Latin pada 60an dan 70an, dan kemudian “menyihir” banyak aktivis di seluruh negeri-negeri berkembang.
Teori dependencia, secara ringkas, hendak menganalisa ketertinggalan dunia ketiga dalam pelbagai aspek, terutama ekonomi. Kenapa dunia ketiga dan negara-negara berkembang tertinggal dari negeri maju? Jawabannya adalah: dependencia, atau ketergantungan dunia ketiga pada dunia pertama dalam banyak hal: ekonomi, politik, teknologi, budaya, dll.
Hubungan dan kerjasama antara dunia maju dan dunia berkembang berlangsung dalam cara yang tak seimbang. Dalam relasi ini, yang untung selalu dunia maju, sementara dunia berkembang hanya kian memperkuat dominasi dunia pertama melalui kerjasama itu. Hubungan ini hanya melahirkan ketergantungan — dependencia.
Apa solusinya? Teori dependencia mengajukan sebuah solusi yang radikal: “de-linking,” yaitu memutus hubungan secara total dengan dunia maju. Makin terikat dalam kerjasama dan hubungan dengan dunia pertama, negeri-negeri berkembang makin terperosok jauh dalam lingkaran setan “ketergantungan”. Tak ada cara lain mengakhiri ketergantungan ini selain memutus hubungan sama sekali. Solusi teori ini sangat masuk akal, dan mudah dipahami oleh orang-orang awam.
Bagi anak-anak muda yang sedang mengalami “fase rapsodik”, masa-masa indah petualangan, solusi ini amat menarik, memukau. Tetapi, semakin bertambah umur, semakin nyata bagi mereka bahwa dunia tak bisa dipaksa untuk berubah melalui “jalan romantik” yang radikal.
Mimpi romantik yang indah seringkali hancur berkeping-keping berhadapan dengan kenyataan dunia yang kompleks. Setelah menua, anak-anak muda itu makin bersikap “realistis”, dan makin melihat solusi ala teori dependencia sebagai “mimpi romantik” yang hanya indah bagi remaja yang sedang gundah dan mencari.
Inilah yang menjelaskan kenapa, sekarang, teori dependencia kehilangan daya pikat, bahkan ditinggalkan sama sekali. Ia, mungkin, hanya dibaca oleh segelintir orang yang sedang mempelajari sejarah perkembangan ide-ide ekonomi, hubungan internasional, atau pasca-kolonialisme. Selebihnya, dia hanya satu noktah kecil saja dalam kanvas sejarah modern yang maha luas.
Tetapi, saya berpikiran lain.
Jika yang beredar luas di kalangan kaum intelektual, aktivis, sarjana, dan para penikmat gagasan hanyalah ide-ide yang mengkonfirmasi, menyetujui, mendukung, dan memuji-muji saja apa yang ada (kecenderungan ini boleh kita sebut sebagai “realisme”, cara pandang yang hanya membenarkan realitas yang ada), betapa tak menariknya kehidupan ini. Membosankan!
Meskipun teori dependencia sebagai bentuk solusi sudah kehilangan relevansi, tetapi semangat romantik perlawanan dan kritik di dalamnya, menurut saya, penting dirawat, dikembangkan, dan diterjemahkan dalam konteks baru.
Spirit yang amat penting dalam teori ini, di mata saya, adalah kehendak untuk mencari alternatif, mencari kemungkinan lain dari “status quo”, dari sistem yang menang dan dominan. Mendukung yang menang, secara praktis, sangat mudah, karena banyak insentif yang bisa diperoleh dari sana, baik politis, ekonomis, sosial, maupun kultural.
Yang penuh resiko adalah manakala seseorang menempuh jalan alternatif: tidak mendukung sistem yang menang, melainkan mencoba memikirkan alternatif lain, mengeksplorasi kemungkinan yang berbeda. Menempuh jalan seperti ini mengandung resiko besar: dimusuhi publik, dan rentan bertabrakan dengan sistem yang sedang menang.
Tetapi tenaga kultural yang menggerakkan “mesin” sejarah biasanya justru dipasok oleh orang-orang “resah” dan galau semacam ini. Mereka adalah mirip para pelaut yang mencoba mencari “dunia baru”.
Semangat mencari kemungkinan lain tidak kita jumpai dalam corak berpikir yang “realistis”. Semangat ini justru kita jumpai dalam gagasan-gagasan “kritis” seperti teori dependencia. Pikiran-pikiran yang berwatak “realistis” tidak akan pernah menawarkan semangat alternatif. Yang ia tawarkan hanyalah konformisme, meneguhkan “yang sudah ada”.
Semangat ini kita jumpai, dalam varian yang bersifat “mistikal” dan sufistik, pada tindakan “radikal” yang diambil oleh Imam Ghazali ketika ia memutuskan dengan “nekat” untuk keluar selamanya dari kota Baghdad, meninggalkan seluruh privilese sosial-kultural yang ia nikmati di sana, dan kemudian menjalani hidup “reklusif”, ‘uzlah, mengisolasi diri dari keramaian dunia.
Dalam perspektif teori dependencia, apa yang dilakukan al-Ghazali adalah sejenis usaha “de-linking”, memutus diri dari relasi dengan dunia sekitar yang sudah tak lagi memberinya kepuasan batin. Keberadaan al-Ghazali dalam “sistem yang ada” justru hanya memberikan legitimasi intelektual dan teologis kepada sistem itu. Dia sendiri hanya menjadi “alat” untuk memperkuat sistem, bukan lagi seorang pemikir dan ulama yang independen.
Dengan caranya sendiri, al-Ghazali telah mempraktekkan teori dependencia, dangan resiko besar: dia kehilangan segala-galanya secara material. Tetapi, kehilangan material ini digantikan oleh “keuntungan” yang amat besar: dia memperoleh kemerdekaannya kembali, dan dari sanalah lahir karya agungnya, Ihya’ Ulum al-Din.
Apa yang dilakukan oleh al-Ghazali adalah salah satu bentuk terjemahan saja dari spirit teori dependencia. Semangat teori itu bisa diterjemahkan dalam pelbagai bentuk, dan dalam banyak bidang kehidupan, terutama dalam lapangan ekonomi dan politik.