Pemahaman secara kontekstual dan komprehensif sangat diperlukan untuk menyelami teks-teks ayat Al-Qur’an, termasuk ayat yang sering dijadikan asas untuk praktek poligami.
Lewat buku Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia (2009) yang disusun dari hasil penelitian Nina Nurmila, terbukti bahwa penafsiran tekstual dan parsial terhadap poligami berpotensi menyalahi hak-hak perempuan dan anak.
Pemahaman parsial mengenai poligami terjadi jika ayat Al-Qur’an yang dianggap membolehkan poligami (Q.S. 4:3) tidak dipahami secara lengkap, apalagi hanya dianggap sebagai klaim untuk berpoligami. Lupakah kita bahwa masih ada An-Nisa’: 129 yang mengklaim bahwa “kamu tak akan pernah bisa berlaku adil meski kamu ingin”?
Masalahnya, dalam berbagai dakwah yang memaparkan mengenai poligami, hukuman jika tak dapat berlaku adil tak pernah begitu ditonjolkan. Inilah bahayanya penafsiran sepihak atas teks agama.
Seperti dikutip dari tulisan Nina, poligami didukung oleh orang-orang yang menganggap bahwa, “poligami adalah bagian dari syariat”, “poligami adalah sunnah”, “poligami lebih baik daripada zina”, dan “poligami merupakan solusi untuk prostitusi.”
Dibalik slogan-slogan itu, kelak kita tahu bahwa poligami tidak memberikan ruang keadilan bagi perempuan dan anak.
Untuk memudahkan penjelasannya, Nina mengadopsi teori kategori yang diperkenalkan oleh Abdullah Saeed, seorang cendikiawan Muslim. Ia membagi pendekatan dalam menginterpretasikan konten etiko-legal Al-Qur’an pada konteks modern menjadi tiga kelompok: tekstualis, semi-tekstualis, kontekstualis.
Tiga koneks itu berdasarkan pada (1) mengandalkan kriteria linguistik untuk memahami makna teks; dan (2) pertimbangan konteks sosial-historis Al-Qur’an dan konteks saat ini (hlm. 43). Pengelompokan ini digunakan oleh Nina untuk melihat alasan suami berpoligami dan reaksi istri-istri atas keputusan suaminya tersebut.
Alasan-alasan suami memutuskan untuk berpoligami antara lain karena tak bisa mengontrol hasrat seksual, menginginkan keturunan, atau karena “cinta” dengan perempuan lain. Namun pada level tekstualis yang ekstrim, suami yakin berpoligami adalah haknya sehingga dia dapat menikah lagi tanpa diketahui istri pertamanya.
Di satu kasus disebutkan bahwa laki-laki cenderung berpoligami setelah mendapatkan pemasukan yang lebih besar, namun ada juga laki-laki yang tetap berpoligami meski untuk membiayai satu rumah tangga pun uangnya tak cukup.
Dalam titik ini patut kita pertanyakan, jika poligai diatur oleh negara dengan mengharuskan suami dapat menjamin kehidupan keluarganya, mengapa negara “mengizinkan” si laki-laki untuk poligami?
Saat merespon poligami suaminya, kelompok tekstualis cenderung setuju karena mereka yakin bahwa poligami merupakan bagian dari hukum Islam, sekaligus agar suaminya tak perlu berzina. Kelompok semi-tekstualis cenderung tidak setuju, tapi takut dianggap tidak beriman jika menolak poligami.
Menuntut cerai pun tak berani karena tak mau hidup sendiri, apalagi dalam ketidakpastian finansial. Kelompok kontekstualis cenderung menolak poligami karena menurut mereka ada penafsiran sepihak mengenai poligami.
Dalam penerapannya pun, tak pernah ada laki-laki yang bisa adil terhadap para istrinya. Poligami tak menyisakan apa-apa selain penderitaan bagi perempuan dan anak.
Nyatanya, perempuan dalam kelompok tekstualis, semi-tekstualis, maupun kontekstualis membagi perasaan yang sama: rasa kecewa pada suami, merasa dikhianati, merasa hak-haknya diambil oleh istri yang lain, cemburu, bahkan ada juga yang mengalami kekerasan fisik.
Beberapa dari mereka harus menerima celotehan tetangga seperti, “Mungkin dia dipoligami karena tidak bisa mengurus suami, salah dia sendiri!” atau jika seorang istri menolak poligami, maka akan dituduh, “Kamu tidak beriman pada Islam.”
Perceraian tidak selalu menjadi pilihan mudah. Dalam satu kasus, seorang istri sadar bahwa dia tak bisa bercerai karena mempertimbangkan nasib anak-anak mereka. Sebagai simbol penolakan atas poligami tersebut, dia menolak melakukan hubungan intim dengan suami, meski akhirnya dipaksa.
Istri lain sadar bahwa ia membutuhkan uang agar bisa hidup setelah bercerai, maka ia bertahan hidup dalam lingkaran poligami sambil menabung agar dapat hidup stabil setelah bercerai. Ini artinya perempuan juga tak ambil diam, masih ada yang berusaha menjadi agen bagi dirinya sendiri.
Istri pertama barangkali mengalami luka yang besar saat menghadapi poligami suaminya. Namun, bukan berarti istri kedua tak luput dari perbincangan. Mereka seringnya dilabeli “gila harta” atau “perebut suami orang.” Risiko poligami adalah mungkin bagi semua perempuan.
Barangkali tulisan Nina ini cukup merepresentasikan dinamika kehidupan poligami di Indonesia secara utuh. Terbukti, penafsiran tekstual dan sepotong-potong pada ayat-ayat Al-Qur’an hanya akan membuat kita berlaku tidak adil di muka bumi ini.
Tentu ini membahayakan, karena misalnya, bisa jadi kita berhenti pada bab marah dan terus berlaku semena-mena pada sesama, tanpa melanjutkan proses belajar dan mengenal bab berkasih-sayang. Kita hanya akan memilih mempraktekkan ayat-ayat yang menguntungkan kita semata. Termasuk, pada ayat mengenai “pembolehan” poligami.
Barangkali yang kita sangsikan kini adalah, apakah poligami zaman now masih memiliki spirit poligami ala Nabi; yang bertujuan menghidupi janda dan anak yatim? Lagipula, jika ingin mengikuti Sunnah Nabi, Nabi toh lebih lama bermonogami daripada poligami.
Ditambah lagi, apa cuma itu Sunnah Nabi yang layak diikuti? Mengapa tetangga yang kelaparan atau anak-anak yang butuh pendidikan tidak masuk hitungan? (SI)