Sedang Membaca
Sahur dan Kembara Malam
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Sahur dan Kembara Malam

Img 20210423 Wa0010

Aja turu sore kaki
Ana Dewa nganglang jagat
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Ya iku bageyanipun
Wong sabar lan nrima
—Asmarandana

Bagaimana mula ayahanda Sunan Kalijaga, dinamai Tumenggung Sahur Wilwatikta. Bisa jadi Tumenggung Sahur adalah seseorang yang suka “begadang” atau sahrul lail sehingga kata “sahur” kemudian disematkan.

Apa yang terjadi di sepertiga malam terakhir Ramadan diyakini adalah saat “terbukanya” pintu-pintu langit. Ada yang mengaitkannya dengan saat lebih banyak terkabulnya pengharapan, dan ada pula yang mengaitkannya dengan isyarat akan terwujudnya sesuatu di kenyataan.

Hal ini, dalam kebudayaan Jawa, sering diasosiasikan sebagai sebentuk mimpi yang tersingkap di saat sepertiga malam yang akhir yang diistilahkan sebagai “puspa tajem.”

Tak heran para pujangga Jawa mengkhususkan sepotong waktu itu dan mengabadikannya dalam sebait tembang bermetrum asmarandana.

Dalam tembang ini dikisahkan bahwa para Dewa tengah mengangkasa sembari membawa sebuah wadah yang berisi doa tolak bala serta berbagai rizki bagi orang yang sabar dan berpuas diri (rida).

Tak aneh kiranya para pujangga Jawa memakai metrum asmarandana yang lekat dengan citra olah asmara. Sebab, secara kebahasaan, asmara identik dengan berahi, yang dalam istilah sansekerta disebut dengan istilah “birawa.”

Dari istilah birawa inilah kemudian istilah Jawa “brai” yang mengacu pada seorang yang tengah jadzb menemukan konteksnya.

Baca juga:  Sepatu: Modernitas dan Ramadan

Pertanyaannya, di sepenggal waktu ketika banyak orang terlelap, berahi kepada siapakah orang-orang yang suka melakoni ibadah malam itu?

Dalam konteks jadzb jelas berahi di sini erat kaitannya dengan sesuatu yang samar, laiknya Semar yang konon menyimpan kekasihnya, Nyai Kanastren, di ubun-ubunnya. Karena hal inilah Semar dikenal pula dengan nama lain Janggan Asmarasanta.

Barangkali, sampai di sini kita menjadi tahu kaitan antara Majnun dan Laila dalam salah satu kisah sufi yang melegenda. Laila ternyata bukanlah sesosok perempuan molek sebagaimana yang kita bayangkan. Ia adalah sepenggal malam (al-lail) bagi para pelaku sahrul lail.

Sebagai seorang yang kebetulan terlahir dari suku bangsa Jawa yang suka othak-athik gathuk, terkadang saya geli ketika mendengar nama lain Semar sebagai Janggan Asmarasanta. Ada kaitan apakah antara Semar dan Syekh Asmaraqandi, seorang yang disebut-sebut sebagai punjer para wali Jawa, yang sama-sama menggunakan gelar “asmara”?

Apakah kemudian, ketika kita mengacu pada para anggota dewan walisanga, hanya Kalijaga—karena anak Tumenggung Sahur—yang merupakan muara dari persinggungan kapitayan yang khas Jawa dan tasawuf sehingga karenanya diberi gelar “Guru Suci Wong Tanah Jawi”?

Ketika menengok perilaku dan perdebatan-perdebatan yang melibatkan Kalijaga dengan para anggota dewan walisanga lainnya tak aneh rasanya seandainya otah-athik gathuk saya menemukan pembuktiannya.

Baca juga:  Mi: Keluarga dan Agama

Banyak kisah yang menyajikan pembelaan dan pengakomodasian kearifan-kearifan Jawa oleh mantan Brandal Lokajaya ini.

Mulai dari kisah saka tatal di Masjid Demak, atap bersusun pada banyak masjid-masjid tua, wayang kulit, kemenyan, tata ruang kota, hingga kapitayan yang sejak lama hidup dan dihidupi oleh orang-orang Jawa.

Sehingga terkenallah Kalijaga sebagai salah satu al-ghauts yang dianugerahi kemampuan untuk hidup di ruang ambang antara tasawuf dan kapitayan.

Dari persinggungan ini lantas dikenallah pula Kalijaga sebagai salah satu anggota sayap “abangan” di dewan walisanga, bersanding dengan Sunan Giri yang merupakan pemuka sayap “putihan.”

Secara neurologis, pada dasarnya waktu sepertiga malam yang akhir yang di bulan puasa ini identik dengan ibadah sahur adalah sepenggal momen yang dekat dengan keheningan.

Apalagi ketika kesadaran manusia, karena sehabis tidur atau sebaliknya menjelang tidur sehabis berjaga malam, sedang berada pada gelombang alpha yang memungkinkan bawah-sadarnya terbuka.

Barangkali, di saat-saat inilah tajalli Tuhan—dan bukannya Tuhan itu sendiri—sebagai “mysterium tremendum et fascinosum” menemukan momennya.

Semar eka den prayitna
Semu riris ika balik
Titiyoni gandayoni
Trisonya purnama sasi
Gilar-gilar
Semadi tengahing latar
Milang lintang Bimasekti
—Lagon Sulendro Pt. 9 Wetah.

Dengan demikian, dari salah satu tajalli Tuhan sebagai “mysterium tremendum et fascinosum” inilah sebenarnya istilah “sahur” diturunkan dimana selain bermakna sahar (akhir malam), juga memiliki asosiasi dengan “pesona” laiknya “bulan.”

Baca juga:  "Dhewek" dan Teologi Ketakmanjaan Jawa

Di saat-saat itulah Semar, yang sudah nyawiji dan waspada, bercumbu dengan Nyai Kanastren yang digambarkan sebagai trisonya purnama sasi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top