Sejarah dinasti-dinasti Maghrib (Maroko modern) telah membentang sejak perintisan pemerintahan wilayah Maghrib oleh raja pertama Dinasti Idrisiyah, Moulay Idris bin Abdullah (Idris I) pada tahun 788 M. Lalu berlanjut silih berganti dinasti dan model pemerintahan: Daulah Murabbithun & Daulah Muwahidun (abad 11—13 M), Dinasti Mariniyah (pertengahan abad 13-14 M), Dinasti Sa’diyah (abad 14—17 M), hingga terakhir Dinasti Alawi (abad 14—sekarang)
Raja Alawi terbesar adalah Moulay Ismail bin Syarif. Raja kedua Dinasti Alawi pasca keruntuhan Dinasti Sa’diyah. Carut marut politik pada wilayah Maghrib membentuk Moulay Ismail menjadi raja yang memiliki kesadaran politik tinggi.
Hal ini pula yang membawanya memperistri putri-putri ketua suku untuk mengikat kesetiaan. Bukan hanya sekedar memperistri, Moulay Ismail dengan cara yang tidak biasa, berhasil mengorbitkan istrinya untuk turut serta berperan dalam upaya politik Dinasti Alawi, terutama menghadapi pasang surut hubungan bilateral dengan negeri-negeri lain.
Khunatsah binti Bakkar
Salah satu ratu terbesar Moulay Ismail, yang sanggup memangku jabatan de facto sebagai wazir agung kerajaan, adalah Khunatsah binti Bakkar putri Syekh Bakkar bangsawan Suku Magharif di Gurun Sahara. Pernikahan ini merupakan upaya diplomatis penting bagi Moulay Ismail untuk mendapatkan kesetiaan di wilayah berkonflik, Dinasti Alawi berkonfrontasi dengan bekas Dinasti Sa’diyah yang berpusat di Marakesh.
Maka diperistrilah putri bangsawan suku, seorang gadis yang dikenal sebagai putri yang cerdas dan berakal tajam. Syekh Abu al-Abbas Ahmad bin Kholid an-Nashiri dalam Alistiqsho li Akhbari Duwal al-Maghrib al-Aqsho meriwayatkan: “Pada tahun 1089 H, Raja Moulay Ismail berperang di wilayah gurun Sous, perjalanan perang itu mencapai Akkatata, Tisyit, Syinkith, dan pemukiman suku berkulit hitam. Maka ia bertemu dengan delegasi suku lokal dan mengikat kesetiaan mereka. Di antara delegasi-delegasi tersebut adalah Syekh Bakkar bangsawan Suku Maghafir yang kelak putrinya, khunatsah seorang gadis cerdas dan jelita, diperistri oleh Moulay Ismail.”
Terlahir dalam keluarga bangsawan juga mendidiknya dengan kesopanan dan kesadaran diri, menuntunnya menjadi ratu yang dikenal amat menjaga marwah dan etika moral bangsawan. Perpaduan sempurna antara keanggunan, kealiman, dan kekuatan menuntunnya diangkat sebagai wazir agung (semacam jabatan perdana menteri pada sistem monarki modern) dan penasehat suaminya Moulay Ismail
Salah satu kontribusi besarnya terhadap hubungan bilateral kerajaan adalah menjadi penghubung perdamaian dan diplomasi Dinasti Alawi dan Kerajaan Britania Raya. Pada musim dingin 1721 M kerajaan Britania Raya bermaksud untuk mengadakan pertemuan dengan Dinasti Alawi di Kota Meknes, duta besar Britania Raya saat itu Charles Stewart menyurati Khunatsah untuk merencanakan pertemuan besar itu. Khunatsah berhasil mengupayakan pertemuan antara dua kerajaan besar itu, merundingkan kesepakatan perdamaian dan perdagangan antar negara.
Kepeduliannya pada rakyat juga amat tinggi. Khunatsah tercatat beberapa kali menyurati warga Oujda yang terletak di perbatasan kerajaan Maghrib dan kekhalifahan Turki Utsmani di Maghrib Awsath (Aljazair modern), sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap tensi politik yang kian memanas.
Pasca wafat Moulay Ismail bin Syarif
Moulay Ismail bin Syarif wafat pada tahun 1727 M. Kepemimpinannya selama 55 tahun merupakan yang terpanjang di antara raja-raja Maroko yang lain. Selama masa panjang itu ia berhasil menumpas pemberontakan dan menyatukan Kerajaan Maghrib di bawah satu bendera.
Pada akhir masa hidupnya, untuk mencegah perpecahan ia membagi wilayah Maghrib pada anak-anaknya. Sayangnya, ketakutannya tetap terwujud. Perpecahan dan perang saudara terjadi pasca wafat Moulay Ismail. Tercatat beberapa tokoh besar putra Moulay Ismail berperang satu sama lain untuk memperebutkan wilayah.
Dalam masa-masa tegang tersebut Khunatsah binti Bakkar dan putranya Moulay Abdullah sempat dipenjara oleh raja pengganti Moulay Ismail, yaitu Moulay Ahmad Adzahabi putra dari istri pertama Aisyah Mubarakah. Namun alih-alih meratapi nasib, Khunatsah mengajarkan ilmu fikih lebih dalam pada putranya Moulay Abdullah. Kondisi prihatin ini mereka jalani sampai dibebaskan dan berpindah mengungsi ke Sijilmasa. Dimana dari sini Moulay Abdullah atas bimbingan Khunatsah menyusun rencana untuk merebut tahta kerajaan di Fes.
Di era ini lah kepiawaian Khunatsah sebagai mantan wazir Moulay Ismail memainkan peran penting. Ia menyatukan Jaisy Wudaya (korps prajurit kerajaan semasa Moulay Ismail) dan suku-suku lokal termasuk suku asalnya, Suku Maghafir di Sahara. Melalui proses yang dramatis Moulay Abdullah akhirnya naik tahta menggantikan Moulay Ahmad Adzahabi bin Ismail pada tahun 1729 M. Pada masanya, Moulay Abdullah terus berada dalam bimbingan ibunya, Khunatsah binti Bakkar, terutama dalam menghadapi gejolak politik dan perpecahan kerajaan di masa pemerintahannya.
Keilmuan Khunatsah binti Bakkar
Kealiman Khunatsah binti Bakkar tidak perlu dipertentangkan, ia mendidik anaknya sendiri dan menjadi penasehat Raja Moulay Ismail lalu anaknya Moulay Abdullah bin Ismail. Ia telah menyelesaikan hafalan Alquran di usia gadis dan menyempurnakan dengan qiraat sab’ah. Sejarawan Abdullah Akansus melaporkan bahwa, ia menemukan kitab karya Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani, al-Ishobah fi Tamyiz al-Sahabah yang telah dikomentari oleh Khunatsah binti Bakkar. Maka tidak lain di tengah kesibukannya sebagai wazir kerajaan ia juga tetap menuntut ilmu pada ulama kerajaan. Naskah kitab tersebut kini disimpan dalam penjagaan Kerajaan Maroko di Rabat.
Akhir hayat
Kehidupan duniawi yang telah dijalaninya, mulai dari kemewahan istana hingga dinginnya penjara, telah mencapai puncaknya. Sehingga Khunatsah tua berniat untuk menyempurnakan rukun Islam, menunaikan ibadah haji. Dengan izin dari kerajaan ia bersama rombongan berangkat ke tanah suci Mekah pada tahun 1730 M. Dalam rombongan itu pula Khunatsah membawa serta cucunya putra mahkota Moulay Muhammad bin Abdullah. Sepulang dari ibadah haji, Ia menghabiskan sisa usia dengan mendidik putra mahkota di lingkungan istana hingga wafatnya pada 1754 M.
Sumber bacaan:
An-Nashiri, Syekh Syekh Abu al-Abbas Ahmad bin Kholid, Alistiqsho li Akhbari Duwal al-Maghrib al-Aqsho v. 4, Casablanca, Dar el-Kitab 1997
Al-Qadiri, Muhammad bin Thayyib, Nasyrul Matsani li Ahli al-Qarn al-Hadi ‘Asyar wa al-Tsani, juz 3, Rabat, Maktabah At-Thalib 1986