Husein Muhammad
Penulis Kolom

Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat

Menziarahi Tempat Bersejarah di Tanah Suci

Selama Umroh tujuh hari, aku mengunjungi tempat-tempat bersejarah dalam perjuangan Nabi Muhammad saw mewujudkan pesan-pesan ketuhanan: membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan menyebarkan ilmu pengetahuan menuju cita kasih sayang semesta: Rahmatan lil ‘Alamin.

Beberapa di antaranya: Gua Hira. Ini tempat Nabi menerima wahyu pertama: “Lihatlah semesta, renungkan, pikirkan dan tulislah. Cerahkan umat manusia”.

Lalu Gua Tsaur di atas gunung, tempat Nabi bersembunyi dari kejaran musuh untuk membunuh Nabi dalam perjalannya ke Madinah untuk hijrah. Kepada Abu Bakar, teman satu-satunya yang gentar melihat musuh di hadapannya, Nabi mengatakan:

“Jangan bersedih hati, Allah selalu bersama kita.”

Lalu saya ke Hudaibi, 22 km dari Mekkah, tempat perundingan Nabi dengan kaum kafir Quraisy yang sangat merendahkan Nabi dan merugikan pihak Nabi, tetapi beliau menyetujuinya. Para sahabat marah besar. Nabi tetap dalam sikapnya. Nabi sampai mengatakan: “Aku utusan Allah. Apakah kalian masih percaya?”

Mereka patuh. Dua tahun kemudian Nabi datang lagi dan menang, gemilang.

Daerah Badar tak luput kuziarahi, tempat perang pertama terjadi. Kafir Quraisy menyerang Madinah dengan 1000 tentera. Nabi menghadapinya dengan 314 orang. Nabi menang, gemilang.

Kemudian saya menuju Uhud, sebuah bukit di Madinah, tempat perang kedua. Perang berakhir dengan kekalahan pihak Nabi, karena prajuritnya berebut harta rampasan, setelah menang pada awalnya. Mereka menyesal tak ikuti perintah Nabi untuk tetap di posisinya masing-masing.

Baca juga:  Kenangan di Gereja Marsarkis Iran

Dan untuk kesekian kalinya aku datangi bukit Arafah, tempat Nabi mendeklasikan hak-hak asasi manusia pertama di dunia, di hadapan 90.000 manusia: “Hai manusia, hidupmu, hak milikmu dan kehormatanmu suci.”

Di perbatasan Mekkah, di Mar al-Zahran, tempat pertemuan Nabi beserta 10 ribu pengikutnya dengan musuh-musuh bebuyutannya. Nabi duduk gagah di atas untanya al- Qaswa, di hadapan mereka yang ketakutan menyampaikan amnesti umum:

“Hari ini kalian bebas. Tak ada dendam. Silakan kalian mau ke mana saja. Hari ini, hari menjalin kasih sayang, bukan hari permusuhan dan perang”. Ini dikenal sebagai “Fathu Makkah”, pembukaan/pembebasan Mekkah.

Dan aku berdoa di Baqi’, tempat para sahabat Nabi dikuburkan sebagai martir, pahlawan, Syuhada.

Sepanjang jalan menuju tempat-tempat itu dan dari Mekkah sampai Madinah, aku melihat hamparan pasir kerikil maha luas dan bukit-bukit berbatu cadas, tanpa rumput apalagi pepohonan. Aku juga tak tahu di mana ada air yang memancar atau mengalir di sana.

Aku membayangkan situasi 15 abad lampau saat Nabi ada. Nabi dan para sahabat menempuh perjalanan melalui bukit-bukit dan padang kerikil itu beratus kilo meter dengan naik onta berhari-hari, di bawah sengatan matahari, atau embusan angin dingin yang menggigit sumsum.

Duhai. Betapa berat, payah dan melelahkan perjuangan itu. Demi tegaknya prinsip-prinsip kemanusiaan mereka rela menanggung derita, susah dan lelah itu.

Baca juga:  Bab Fikih Pergundikan: Dikaji tapi Disepelekan Pesantren

Selawat dan Salam untuk Nabi saw dan para sahabatnya.

Jeddah, 27.12.18

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top