Nama Ebiet G. Ade tentu menjadi deretan nama-nama legendaris di negeri ini. Musisi bernama asli Haji Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far itu menjadi primadona semua kalangan, tak lekang oleh zaman. Saya mungkin tidak lahir ketika album pertama Camelia I rilis. Namun nyatanya sampai kini petikan gitar sang maestro dengan suaranya yang mendayun indah itu masih nyaman untuk didengar.
Pertama kalinya saya mengenal nama Pak Ebiet sejak lagu “Berita Kepada Kawan” diputar sebagai backsound oleh channel-channel televisi negeri pada tsunami Aceh 2004. Satu peristiwa bersejarah yang meluluhlantakkan Aceh dengan menewaskan setidaknya lebih dari 200.000 jiwa. Nyanyian Ebiet seakan-akan menyampaikan latar suasana mencekam yang mampu sampai pada telinga pendengar.
Satu yang saya ingat ketika lirik bagian reff diteriakkan “Barangkali di sana ada jawabnya, Mengapa di tanahku terjadi bencana”. Suara-suara tangis, jerit sakit, lolongan ketakutan bak menyatu dalam lirik-lirik yang menyentuh itu. Padahal, jika kita telusuri sebetulnya lagu “Berita Kepada Kawan” sudah rilis sejak tahun 1996 pada album “Aku Ingin Pulang”. Namun nyatanya, lirik-lirik tentang bentuk ratapan kepada Tuhan atas bencana itu menjadi satu penghantar atas muhasabah bencana-bencana di tahun-tahun setelahnya.
Menyelami makna lagu-lagu Pak Ebiet membawa kita pada nuansa sufistik. Bahkan pernyataan ini tidak berlebihan saya rasa jika kita memahami setiap makna lagu-lagu yang diciptakan. Baik lagu-lagu yang secara eksplisit menunjukkan tema cinta maupun tentang refleksi kehidupan, Pak Ebiet benar-benar menyisipkan sisi sufistik di dalamnya.
Anggapan saya pun itu didukung dengan perjumpaan saya pada buku Heru Mugiarso. Seorang pegiat sastra asal Grobogan itu menerbitkan satu buku dengan judul “Lirik-lirik Purnama Sang Maestro” terbitan Bintang Pustaka Madani. Dalam bukunya, Heru Mugiarso menulis 20 segmentasi dari beberapa lagu-lagu Ebiet G. Ade.
Seperti pada lagu “Nyanyian Kasmaran”, Heru menuturkan jika inti maknawi lagu itu adalah hubungan antara cinta dan relijiusitas. Dikisahkan seorang wanita sedang jatuh cinta pada seorang pria dalam satu pertemuan. Dari momentum pertemuan itu memberikan satu dampak berupa obsesi dan lamunan yang terpatri dalam hati serta angannya. Sekilas cerita lagu itu memang hanya persoalan cinta biasa pada umumnya. Namun Ebiet menyisipkan lirik “Barangkali takdir tengah bicara/ Ia diperuntukkan buatmu? Dan pandangan matanya memang buatmu”. Gambaran kata takdir menunjukkan jika peran Tuhan sedang bekerja, yakni bagaimana Dia hendak menunjukkan caraNya menghadirkan cinta.
Segmentasi lainnya Heru menunjukkan nafas-nafas lagu Ebiet yang berorientasi pada hakikat syukur dan ikhlas. Lagu-lagu segmen ini mungkin sudah menjadi martil ciri khas tersendiri bagi Ebiet. Seperti judul “Nyayian Suara Hati”, “Bila Kita Ikhlas”, “Masih Ada Waktu”, dan masih banyak lagi. Dalam lagu “Bila Kita Ikhlas”, kita akan menjumpai lirik-lirik yang sangat sufistik. Seperti “Bila kita ikhlas Tuhan bakal memberi, Dia-lah yang paling, mengerti apa yang kita perlukan, Jangan terlalu banyak menuntut rizki telah dibagi, Pasrahkanlah saja semua kepada-nya.” Terpatri jelas bagaimana pesan terkandung bahwa hakikat manusia adalah menghamba. Banyak permasalahan dalam hidup bermunculan hanya karena manusia menuntut hak-nya berlebihan. Padahal sejatinya hanyalah Allah Swt yang tahu kadar dan kapasitas manusia sebagai penerima rezeki, agar manusia itu tidak rakus dan sombong.
Selanjutnya segmentasi penghambaan. Hal itu terdapat dalam lagu Ebiet “Izinkan Aku Reguk CintaMu”. Secara gamblang Heru menyebutkan jika bagian lagu ini paling sufistik dari lagu-lagu lainnya. Ebiet membuka lagunya dengan lirik “Aku bertakbir bukan hanya karena takut akan api nerakaMu/ aku bertahmid bukan hanya karena ingin merebut nikmat surgaMu/ aku bertakbir seluruh jiwa dan raga/ karena sungguh mendambakanMu, merindukanMu, mencintaiMu, kekasihku.” Lirik ratapan itu membawa ingatan saya pada ratapan-ratapan Rabiah al-Adawiyah yang menginginkan surga dan neraka dihapuskan karena menghalangi kedekatannya pada sang kekasih.
Tiga segmen itu yang mungkin menjadi validasi akan makna sufistik yang tertuang dalam setiap lagu sang maestro ini. Dalam segmen lain Ebiet kiranya menyentuh banyak ranah dan berhasil mengupas setiap liriknya menjadi semacam kritik tajam pada ketidakadilan sosial dan juga sarat makna pesan kehidupan. Seperti segmen pesan-pesan taat kepada orang tua tertuang dalam lagu “Titip Rindu Buat Ayah”, segmen berguru pada alam dan muhasabah bencana tertuang dalam lagu “Berita Kepada Kawan” dan “Untuk Kita Renungkan”, segmen makna mati dalam hidup tertuang pada lagu “Kalian Dengarkah Keluhanku?” dan “Orang-orang Terkucil.”
Keengganan untuk Dikenal
Pendakwah harus sesuai dengan apa yang didakwahkan. Penyataan itu mungkin selaras dengan kehidupan Ebiet G. Ade. Saya membaca menyelam dalam kisah-kisah hidupnya pada sebuah buku terbitan Koran Tempo tahun 2019. Buku berjudul Ebiet G. Ade – Sebuah Nama Dari Banyumas itu memberikan kisah hidup seorang seniman yang mati-matian idealis pada karyanya. Tak heran jika Ebiet digandrungi banyak penikmat musik dari semua kalangan sampai dewasa ini.
Bahkan Ebiet menunjukkan satu pernyataan mengejutkan pada wartawan Tempo. Ia mengaku jika musiknya dirasa selalu menggambarkan bencana alam dan gempa, alangkah baiknya lagunya dilupakan, agar orang-orang lupa akan momen mengerikan itu. Namun dari pernyataan itu kta beajar jika idealisme atas dasar kepekaan realitas akan melahirkan satu karya fenomenal. Ebiet menunjukkan dirinya sebagai ketidaksengajaan dan menepis adanya pengagungan yang tinggi. Ia lebih senang jika lagu-lagunya membawa penyadaran sarat makna kehidupan pada pendengarnya, daripada ia dielu-elukan atas sebab karya masterpiecenya.
Tentang Musik yang Minim Pewaris
Musik Balada kiranya selalu menyajikan lirik-lirik yang dekat dengan kehidupan kita. Atau bahkan musik-musik demikian memberi satu tarikan nafas penenang atas segala gundah gulana permasalahan hidup yang menimpa. Hal itu yang kiranya sulit kita dapatkan hari ini. Kita mengakhiri zaman maestro-maestro musisi balada sekelas Ebiet, atau bahkan seperti musisi-musisi sezamannya seperti : Leo Kristi, Bimbo, Franky Sahilatua. Atau di barat kita juga kehilangan gaya-gaya music semacam Bob Dylan dan Art Garfunkel.
Musik Balada akan terus bertengger di hati pendengar. Dari buku terbitan Tempo itu juga memberikan penegasan pada kita bahwa Indonesia keranjingan band remaja. Music balada adalah peninggalan masa lalu yang mungkin berakhir pada generasi terdahulu. Seperti musisi Balada berpijak : sensitiflah terhadap penderitaan orang lain.