Awal musim panas, Juni 2019. Matahari pagi itu terasa begitu menyengat, padahal jam di tangan saya baru menunjukkan pukul sembilan. Pada sebuah papan petunjuk tertulis nama kota “Torbat-e Jam”. Sesungguhnya, kota ini tidak pernah ada dalam destinasi kami. Pemilik rumah tradisional di Nashtifan, menyarankan kami untuk singgah ke tempat ini. “Kalian tidak akan menyesal. Di sana ada makam sufi besar, Syekh Ahmad Jam,” katanyaya penuh keyakinan.
Torbat-e Jam, kota kecil yang berada dalam wilayah Khorasan Rezavi ini ternyata berbatasan langsung dengan negara Afganistan. “Wow…Afganistan!” Negara penuh kemelut yang biasanya hanya saya baca di buku-buku dan saya lihat di televisi, kini jaraknya sudah teramat dekat. Sejujurnya, ada rasa khawatir saat melintasi jalan-jalan yang menghubungkan dua negara itu.
Sopir mobil yang kami tumpangi berkali-kali meyakinkan. “Saya bahkan lebih nyaman keluar malam di sini dari pada di Teheran,” ujarnya tanpa beban. Meskipun sulit dipercaya, faktanya kondisi keamanan di kawasan ini, tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Semuanya tampak baik-baik saja. Perjalanan lancar tanpa ada pemeriksaan keamanaan yang berarti.
Tiba di area pemakaman Syekh Ahmad Jam, niatnya kami hanya mampir untuk berziarah dan berfoto sebentar. Tak disangka takdir berkata lain. Saat akan meninggalkan kompleks pemakaman, salah seorang pengelola menyapa dan menanyakan asal kami. Tampaknya, nama Indonesia begitu berkesan baginya sampai ia meminta kami untuk tinggal lebih lama lagi. “Anda jangan dulu pulang. kami akan menunjukkan bagian-bagian penting bangunan ini,” ajaknya penuh semangat. Tentu dengan senang hati saya menerima tawaran berharga ini.
Kami dipertemukan dengan dua sosok penting pengelola kompleks makam Syekh Ahmad. Salah satunya, seorang lelaki tua yang memakai topi putih dan membawa puluhan kunci. Ia menunjukkan pada kami ruangan demi ruangan yang berada dalam kompleks. Termasuk ruangan museum yang menyimpan Alquran tua dan berbagai peninggalan Syekh Ahmad. Sebelumnya, kami hanya sempat melihat-lihat bagian luar bangunan.
Seorang lainnya yang sedikit lebih muda bernama Yusuf Ahmadi. Ia tidak hanya menguasai seluk beluk arsitektur bangunan ini, tapi juga mengetahui banyak informasi tentang kota Torbat-e Jam. Karena, ia sendiri pernah menjadi bupati di kota ini. Baik Pak tua maupun Yusuf, keduanya adalah anak cucu Syekh Ahmad. Dari merekalah saya mendengar langsung cerita tentang perjalanan hidup Syekh Ahmad Jam sampai pembangunan kompleks ini.
Syekh Ahmad Jam, lahir di Kashmar, bagian wilayah Khorasan pada abad kelima Hijriah. Garis keturunannya bersambung kepada Jarir bin Abdullah, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia dijuluki sebagai “Gajah Besar” karena postur tubuhnya yang tinggi besar. Makam yang saya lihat hari itu pun jauh lebih besar dari ukuran makam pada umumnya.
Pada usia muda, Syekh Ahmad sering menghabiskan waktunya untuk berpesta minuman bersama teman-temannya. Titik balik terjadi dalam hidupnya. Sebagian pendapat menyebutkan, saat ia menyaksikan perubahan wine menjadi cuka. Pertolongan Tuhan memang bisa datang melalui jalan apapun. Syekh Ahmad meninggalkan tanah kelahirannya dan berhijrah ke pegunungan Namagh. Selama 18 tahun, Ia melakukan pensucian diri sekaligus mengkaji agama.
Fase gemilang dalam kehidupan Syekh Ahmad terjadi ketika ia menetap di Ma’ad-abad, nama lama Torbat-e Jam. Di kota inilah ia mengabdikan hidupnya untuk masyarakat. Membangun masjid, membimbing umat belajar agama, serta menulis berbagai buku. Sayangnya, saat terjadi penyerangan bangsa Mongolia, beberapa buku itu ikut musnah. Tiga di antaranya yang masih tersisa: Meftah al Najat, Konuz al Hekma, dan Siraj al Saerin.
Di tengah kesibukannya, Syekh Ahmad masih menyempatkan untuk melakukan perjalanan ke kota-kota penting di Khorasan Raya, seperti: Neyshabur, Herat, Bastam, dan berbagai kota lainnya. Sebagian besar para sufi memang gemar melakukan perjalanan ke berbagai tempat sebagai upaya mengurangi rasa ketergantungannya pada kemapanan.
Salah satu karomah yang dimiliki Syekh Ahmad, dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan cara berdoa. Biasanya, pasien meminum air dari bejana yang sudah dibacakan doa. Kami sempat ditunjukkan salah satu bejana yang dulu digunakan untuk pengobatan. Kemahiran dan ketulusan Syekh dalam menolong sesama, melahirkan kecintaan masyarakat setempat. Bahkan, nama Torbat-e Jam sendiri diberikan untuk menghormati sosok Syekh Ahmad.
Torbat-e Jam hari ini, berkat keberadaan makam Syekh Ahmad Jam, menjadi tempat persinggahan para traveler lokal maupun mancanegara. Sungguh di luar dugaan. Kompleks pemakaman ini begitu luas. Ada banyak ruangan yang saling terhubung. Makam Syekh sendiri berada di halaman masjid, tepat di depan Ivan, dinaungi pohon besar yang berusia sekitar 800 tahun. Tempat ini dikelola secara turun temurun oleh keluarga Syekh yang biasanya bernama belakang Ahmadi, termasuk dua orang yang kami temui.
Yusuf Ahmadi, sambil mengajak kami duduk-duduk di ruangan paling tua, menjelaskan banyak hal. Menurutnya, kompleks Syekh Ahmad ini memiliki beberapa kekhususan. Pertama, bangunan ini menonjolkan seluruh elemen penting arsitektur Persia. Mulai dari dekorasi keramik, ornamen kaligrafi dinding, tata letak batu bata, dan gerbang ivannya sendiri termasuk yang tertinggi di antara ivan masjid bersejarah Iran lainnya.
Kedua, Meskipun usia kompleks bangunan ini sudah mencapai 800 tahun, tetapi sampai sekarang masih digunakan sebagai pusat keagamaan, seperti: Shalat Jumat dan shalat Tarawih di bulan Ramadhan. Ketiga, kompleks bangunan ini juga menjadi perhatian para raja yang datang dan pergi. Baik dari kalangan ahli sunah maupun Syiah. “Mulai dari dinasti Saljuk hingga dinasti Safavi, menorehkan sejarah di dalam kompleks ini,” kata Yusuf Ahmadi penuh semangat.
Perbincangan dengan Yusuf Ahmadi sangat menyenangkan sampai tak terasa matahari mulai meninggi. Rasanya tak ingin mengakhiri obrolan menarik ini. Sayangnya, kami harus mengejar pesawat ke Teheran. Di perjalanan pulang, saya kembali mengenang kata-kata terakhir Yusuf Ahmadi:
“Meskipun Syekh Ahmad secara kultural terlahir dari kalangan Ahli Sunnah, tetapi sebagai seorang sufi, ia memiliki pandangan luas melampau batasan mazhab. Hari ini pun, kami masyarakat Torbat-e Jam yang mayoritas Ahli Sunnah, hidup berdampingan dengan kalangan Syiah. Bahkan, besan saya sendiri seorang syiah. Kami sering shalat bersama di masjid ini, ” Jelasnya panjang lebar.
Perjalanan yang tak pernah kami rencanakan ini ternyata berakhir sangat menyenangkan. Catatan saya dalam safar kali ini: Hijrah, seyogyanya tidak hanya melahirkan kesalihan individu semata, tapi juga membuat kita lebih terbuka, toleran, dan menyayangi sesama seperti yang dicontohkan Syekh Ahmad Jam. Wallahu alam. (RM)