Sedang Membaca
Mazhab Fikih: Perebutan Wacana Antara Teks dan Konteks

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mazhab Fikih: Perebutan Wacana Antara Teks dan Konteks

Diakui atau tidak, kecenderungan dan perbedaan pemikiran jika ditilik secara serius, benihnya ada sejak zaman nabi. Satu contoh yang bisa ditampilkan untuk menguatkan tesis ini adalah peristiwa “salat asar di Bani Quraizah”. Dalam momen yang terjadi ketika perang Ahzab, nabi pernah bersabda:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah sekali-kali kalian melakukan salat asar kecuali di Bani Quraizhah”

Menyikapi sabda nabi tersebut, komunitas sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang menyebut bahwa salat asar harus dikerjakan di Bani Quraizha. Tanpa memandang apakah waktu salat asar akan habis atau tidak? Yang penting, sabda nabi, ujar mereka, salat asar haruslah dilaksanakan di Bani Quraizah. Ini kemudian yang disebut-sebut sebagai kelompok tekstualis (nassiyun).

Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa salat asar harus tetap dilaksanakan di waktu asar, di manapun saja. Adapun sabda nabi, maksudnya sahabat hendaknya cepat-cepat agar salat asar masih bisa dilaksanakan di perkampungan Bani Quraizha. Ini kemudian yang disebut-sebut dengan kelompok substantif (maqasiduyun).

Kasus di atas ketika dikonfirmasi ulang kepada nabi, sikap nabi justru tetap tenang; beliau tidak mencerca salah satu dari keduanya. Karena nabi paham betul; dalam memahami sabdanya, para sahabat sudah melalui proses yang benar, yaitu berdiskusi, melakukan kajian, menyodorkan argumentasi dan lain sebagainya. Meskipun secara produk, salah satu dari dua ijtihad itu ada salah. Tesis yang beredar selama ini, siapa melakukan ijithad secara proses benar dan secara produk salah maka ia tetap mendapatkan satu pahala.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pasca meninggalnya nabi, polarisasi pemikiran fikih dalam kalangan sahabat terus bermunculan. Dalam hal ini, ada contoh masyhur yang bisa ditayangkan misalnya usaha pengumpulan al-Qur’an menjadi satu mushaf. Kasus ini benar-benar “baru” dalam lingkungan umat Islam. Sebab, nabi selama hidupnya memang tak pernah melakukan. Karuan saja, Abu Bakar, seorang sahabat dekat nabi yang menjadi khilafah pertama pengganti nabi, berdiri di barisan paling depan untuk menolak. Argumennya jelas dan tegas; nabi tak pernah melakukan!

Sementara di pihak lain, Umar Ibn Khattab berdiri di seberang, berbeda dengan apa yang menjadi sikap Abu Bakar. Umar mengatakan, al-Qur’an harus segera dikumpulkan menjadi satu mushaf. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan habis sebab para penghafal banyak yang wafat dalam momentum peperangan.

Baca juga:  Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?

Perdebatan itu tak pernah selesai di antara keduanya, sampai menjelang akhir masa kepemimpinan Abu Bakar, ide pengumpulan al-Qur’an tak pernah terlaksana. Karena Ayah Aisyah itu tetap pada argumen yang dipijaknya bahwa mengumpulkan al-Qur’an adalah hal baru yang tak pernah ditemukan presedennya pada masa nabi. Benih-benih usaha pengumpulan al-Qur’an baru muncul (dan baru terlaksana) di era Umar Ibn Khattab dan kemudian puncaknya pada masa Usman ibn Affan.

Catatan selingan; memang dalam banyak momen, ijtihad Umar Ibn Khattab ini selalu tampak “beda” dengan yang lainnya bahkan semenjak masa nabi. Banyak ide-ide Umar yang kadang-kadang progres dan punya daya kejut yang luar biasa. Misal, polemik soal tahanan perang di era nabi, ide pembukuan al-Qur’an, tidak memberikan bagian zakat pada muallaf, “memarkir” hukuman tangan bagi pencuri dan contoh lainnya. [lain kali kita bahas soal “ijtihad Umar ibn Khattab” ini]

Polarisasi pemikiran fikih terus berlanjut hingga masa Tabi’in. Di era ini, ada dua kutub pemikiran yang selalu berseberangan. Pertama kutub fikih Madinah dengan tekstualisme pemikirannya dan kedua kutub fikih Baghdad dengan progresifime-substantifnya. Dari Madinah, Said ibn Musayyib (Musayyab) berdiri mengomando gagasan berfikir tekstual sementara Bahghad diwakili oleh al-Nakhai sebagai tokohnya.

Di masa imam mazhab, polarisasi macam ini tetap eksis dan bahkan makin menemukan momentumnya tersendiri. Fikih Baghdad yang dulunya dipelopori al-Nakhai dilanjutkan oleh Imam Abu Hanifah sementara fikih Madinah yang dulunya di bawah komando Said ibn Musayyib dilanjutkan oleh Imam Malik.

Yang perlu diingat, kecenderungan polarisasi teks dan konteks ini tidak dimaknai kecenderungan secara total. Artinya, mazhab tekstualis-formalistik tidak serta-merta mengabaikan konteks, begitupula mazhab kontek-substantif tidak bermakna ia mengabaikan teks secara total. Segmen yang membedakan antara keduanya adalah aspek dominasi dan segmentasi dalam mengapresiasi salah satu dari keduanya. Sekiranya mazhab pertama, tekstualis-formalistik, lebih bergumul dengan peradaban teks maka mazhab kedua, kontekstual-substantif lebih menekankan aspek realitas kehidupan.

Baca juga:  Muqaddimah Hadhramiyah, Kitab Fikih Karya Ulama Hadhramaut yang Populer di Dunia Islam

Bagaimana Menyikapi?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa antara teks dan konteks memiliki peran dan fungsi masing-masing yang tak bisa dipandang remeh. Ia memiliki domain dan porsi masing-masing dalam proses pembentukan hukum Islam.

Misal, dalam soal esoteris-ketuhanan dominasi peradaban teks sangat mencolok dalam tiap derap putusannya. Hampir semua teks yang berkelindan dengan soal-soal ketuhanan ini nampak tegas dan jelas hingga ruang untuk melakukan sebuah tafsir praktis terkunci.

Sementara terkait urusan eksoteris-kemanusiaan, dominasi konteks lebih dominan daripada pemahaman mazhab teks-formal. Ini karena ruang tafsir yang dihasilkan agar lebih hidup dan terus kompatibel dengan peradaban manusia. Maka, teks dan konteks bisa menjadi dua entitas yang kedudukannya berfungsi sebagai titik komplementer dalam tiap konklusi hukum yang dilahirkan.

Pertanyaannya: Bagaimana menyikapi model pemikiran fikih seperti di atas tersebut? Jawabannya; usul fikih sebagai win-win solution dalam upaya mediasi dua kutub itu. Kehadiran usul fikih sejujurnya adalah untuk memediasi dominasi kedua kutub yang bersitegang cukup lama itu.

Secara kerangka berfikir, usul fikih menyediakan ruang yang proporsional bagi dua kutub di atas. Misal untuk mengapresiasi peradaban teks, usul fikih menyediakan segmen yang disebut dengan kaidah kebahasaan (al-Qawaid al-Usuliyah al-Lughawiyah) yang fokus utamanya adalah membedah “bunyi” aturan Tuhan dan nabi (nusus al-Syariah).

Di posisi lain, usul fikih  juga menyediakan perangkat yang mewadahi gerak-gerik konteks dalam perumusan hukum Islam. Misal, keberadaan teori, al-Ibrah bi khusus al-Lafdzi la bi khusus al-Sabab & kaidah al-Ibrah bi khusus al-Sabab la bi khusus al-Lafdzi, teori tahqiq al-Manath (proses penerapan antara bunyi teks dengan kasus hukum), teori kaidah pensyariatan (al-Qawaid al-Usuliyah al-Tasyri’iyah) adalah contoh bagaimana pemaknaan konteks-substantif juga diwadahi dalam usul fikih.

Secara lebih lanjut, Guru saya di Ma’had Aly Situbondo, Prof. Dr. Abu Yasid, MA., L. LM, menambahkan bahwa sekurang-kurangnya, ada tiga hal penting dalam urusan normalisasi hubungan teks dan konteks ini. Pertama, penguasaan makna dan arah tujuan diproduksi. Poin ini penting agar reproduksi yang dilahirkan tidak bergeser dari kehendak syara’ yang muara utamanya adalah kemaslahatan manusia.

Baca juga:  Menghampiri Kematian (2): Pengalaman Mati Suri Seorang Muslim dan Ahli Syaraf Harvard

Kedua, pengamatan yang mendalam terhadap realitas sosial dimana para audien dari pesan Tuhan (mukallaf) itu hidup. Penghayatan ini fungsinya agar produk hukum yang akan titerapkan tidak mereduksi kepentingan kemaslahatan manusia. Ketiga, penempatan makna teks terhadap realitas.

Dengan unsur ketiga ini, seorang mujtahid tidak semata bertugas memproduk hukum-hukum operasional sesuai mekanisme istidlal yang diperlukan, tetapi lebih dari itu bagaimana sebuah produk ijtihad dapat diterapkan sesuai konteks sosiologis yang tepat guna. Karena itu Imam Ibnu al-Qayyim menandaskan bahwa penerapan hukum yang tidak dilandaskan pada prinsip keadilan, kemaslahatan, rahmat dan hikmah maka sesungguhnya telah terjadi pemerkosaan takwil. Apa yang diterapkannya bukanlah substansi syariah tapi dipaksakan diterapkan karena kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Mereka dengan demikian terjerembab ke dalam lembah kesempitan karena kekeliruan yang dialami.

Penyekatan antara teks dan konteks, antara nusus dan maqasid di samping kesalahan berfikir juga cacat secara metodologis. Sebab, teori maqasid al-Syariah itu lahir dari teori nusus al-Syariah. Pemahaman terhadap teks agama (nusus al-Syariah) akan melahirkan pemahaman terhadap spirit syariat dalam beragama (maqasid syariah). Konsep hifzu al-Nafs (menjaga agama) misalnya yang menjadi prinsip universal (al-Qawaid al-Kulliyah) adalah lahir dari ayat-ayat partikular (nusus al-Juz’iyah), seperti ayat:

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain”. (al-Maidah [5]: 32)

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 179)

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (al-Baqarah [2]: 195)

Upaya Menghindar dari penyekatan dan lebih memilih penyatuan dua kutub itu bisa disebut sebagai langkah awal untuk membagun kembali konsep fikih moderat, fikih yang bukan hanya kuat secara basik teks agama akan tetapi juga fikih yang tak abai pada konteks sosial kehidupan manusia.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top