Saya dan “piaraanku” sering ngekek melihat tingkah-polah sebagian umat Islam di Indonesia, khususnya jamaah kadruniyun, yang lugu-lugu, lucu-lucu, konyol-konyol, fekok-fekok tapi fanatik “tingkat demit”. Mereka doyan banget “nguntal” hoaks. Orang yang suka “nguntal” hoaks biasanya adalah orang-orang fanatik tapi minim wawasan.
Dulu misalnya pernah beredar luas kalau “si bebeb” mendapat “Unlimited Visa” oleh Pemerintah Saudi qiqiqi. Mana ada “Unlimited Visa” disini. Kini, beredar lagi hoaks baru kalau Pemerintah Saudi telah menetapkan “si bebeb” sebagai “keturunan nabi ke-38” qiqiqi. Ya Tuhan, apa gerangan isi kepala mereka? Jelas sekali disini kalau mereka nggak paham dengan seluk-beluk, sejarah, peta demografi, sistem tribalisme, dan struktur sosial masyarakat Arab Saudi.
Adakah nama dan “gelar habib” di Saudi atau Timur Tengah pada umumnya? Ada dan banyak. Tapi ya biasa saja tidak seperti di Indonesia, geger-nduer. Mungkin hanya di Hadramaut / Tarim, Yaman, mereka dielu-elukan oleh sebagian masyarakat Muslim. Selebihnya tidak. Murid-muridku yang “habib” juga banyak, baik dari Yaman maupun Saudi. Hal ini dapat diketahui dari nama belakang mereka.
Mengenai anak-cucu Nabi Muhammad ini, ada yang disebut “sayid” (jamak: “sadah”) bagi laki-laki dan “sayidah” bagi perempuan”. Di Saudi khususnya dan kawasan Arab Teluk lain pada umumnya, mereka disebut atau dikenal dengan sebutan “syarif” (jamak: asyraf) untuk laki-laki dan “syarifah” untuk perempuan.
Perlu diingat, mereka bukan hanya pengikut Sunni tapi juga Syiah. Mereka adalah keturunan Ali dari jalur Hasan maupun Husein (yang populer dengan sebutan “Alawiyin”), keduanya putra Ali yang menikahi putri Nabi Muhammad bernama Fatimah (az-Zahra). Kelak, setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi dengan sejumlah perempuan, antara lain bernama Fatimah (Umm al-Banin) yang juga beranak-pinak.
***
Tapi perlu diingat: sebagaimana “mendung tak berarti hujan”, Arab juga tak berarti habib, dan habib tak berarti anak-cucu Nabi Muhammad dan keturunan Ali karena ada banyak Muslim yang bernama “Habib” meskipun tidak ada “hubungan genealogis” dengan Ali, menantu Nabi Muhammad.
Ada juga orang yang mengaku-aku atau mengklaim sebagai “habib” meskipun bukan habib (atau, sebut saja “habib KW”), ada pula “habib beneran” yang tidak mau disebut “habib” atau menyembunyikan identitas kehabibannya karena kerendahan hati mereka. Dalam Bahasa Arab, kata “habib” berarti “yang tercinta” atau “yang dicintai” (beloved). Jamak kata ini adalah “habayib” yang sering diucapkan “habaaib”.
Di kalangan umat Islam, nama “habib” ini bermacam-macam: ada yang digunakan sebagai “nama depan” atau “nama pertama”, ada yang “nama keluarga” (family name), ada pula yang digunakan sebagai “gelar kehormatan” untuk para alim-ulama keturunan Ali.
Nama habib yang digunakan sebagai “nama depan”, misalnya, yang populer, Habib Beye (pemain sepak bola dari Sinegal; nama belakang “Beye” mengingatkan saya pada seorang penyanyi legendaris di Indonesia🤓), Habib Bourguiba (politisi Tunisia), Habib Koite (musisi dari Mali), Habib Nurmagomedov (atlit seni bela diri dari Rusia), dlsb. Di Iran, juga banyak nama-nama tokoh beken yang menggunakan nama depan habib seperti Habib Dehghani (pemain bola), Habib Kashani (pebisnis), Habib Mohebian (penyanyi), dlsb. Di Indonesia juga begitu ada banyak nama depan yang pakai nama habib (untuk laki-laki) atau habibah (untuk perempuan).
Adapun yang digunakan sebagai nama keluarga contohnya Phillip Habib (almarhum), seorang mantan diplomat Amerika legendaris. Di Amerika atau Barat pada umumnya, ada banyak Muslim yang menggunakan “nama Kristen” untuk “menyamarkan” identitas keislamannya karena berada di kawasan yang mayoritas non-Muslim. Kemudian Irfan Habib, seorang sejarawan India. Lalu, Ralph Habib (almarhum), seorang mantan sutradara top Perancis keturunan Libanon.
***
Nama habib yang dipakai sebagai sebuah “gelar kehormatan” untuk seorang alim-ulama keturunan Ali (dan anak-cucu Nabi Muhammad dari Fatimah) hanya populer di Yaman dan sejumah negara di Asia Tenggara seperti Habib Alwi al-Haddad (mufti Johor), Habib Ali Kwitang, Habib Luthfi bin Yahya, dan masih banyak lagi. Dalam konteks ini maka perlu diingat, tidak semua anak-cucu Nabi Muhammad itu adalah “habib” jika mereka tidak memiliki kualifikasi keulamaan dan kualitas keilmuan tertentu yang memadai.
Saya pernah menulis sejarah asal-usul habaib di Indonesia hingga 19 seri jadi tak perlu saya ulang disini. Kebanyakan mereka dari keluarga Ba Alawi, salah satu cucu dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir (w. 956), yang lahir di Basrah, Irak, kemudian bermigrasi dan wafat di Hadramaut, Yaman selatan, untuk menghindari kekerasan sektarian di Irak kala itu. Demikian Kuliah Virtual singkat hari ini, semoga bermanfaat. Salam Nusantara! (SAQ).
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia