Husnul Athiya
Penulis Kolom

Husnul Athiya adalah alumni UIN Antasari Banjarmasin. Kini sedang mendalami Kajian Media dan Pop Islam

Merayu Tuhan

Sewaktu kecil, saya bercita-cita ingin ke Spanyol, karena ingin bertemu dengan David Villa, seorang pemain sepak bola terkenal. Ya, di zaman ‘jahiliyah’ dulu, saya sempat menggilainya.

Saya ucapkan keinginan itu berkali-kali ke banyak orang, termasuk mama. Harapanku adalah semakin banyak orang yang mendengarnya, semakin banyak yang akan mengamininya.

Meski tak jarang, pernyataan itu disambut dengan gelak tawa yang cenderung meremehkan. “Mana mungkin kamu bisa pergi ke Spanyol? Memangnya punya uang? Apa usahamu supaya bisa ke sana?”

Sekonyong-konyong saya katakan, “Usaha saya hanya satu, berdoa sekuat tenaga, hingga Allah mengabulkannya.”

‘Doa’ adalah sebuah kebutuhan. Ia tak berbentuk benda, kekuatan sosial, apalagi uang. Ia abstrak, tak bisa diraba dan tak dapat dilihat. Sebagai orang yang beragama, hidup tanpa doa menjadi hampa. Dengan berdoa, egoisme dan arogansi sebagai manusia menjadi runtuh. Kita menyadari bahwa di luar diri ini, ada kekuatan lain yang bermain peran untuk menentukan jalannya hidup, yakni Tuhan.

‘Doa’ membuat esensi kita sebagai seorang ‘hamba’ menjadi kuat. Dalam ‘doa’, tersimpan sari pati ‘harapan’, ‘tawakal’, ‘pasrah’, dan ‘pengakuan’ bahwa diri kita lemah dan tak berdaya, sehingga harus meminta bantuan kepada Tuhan untuk menjalani hidup, dari yang sederhana sampai yang kompleks.

Semakin dewasa, Saya semakin lihai memformulasi doa yang lebih canggih di setiap fase kehidupan, seiring dengan rangkaian ikhtiar yang tak kalah canggihnya. Doanya tidak lagi seputar pergi ke Spanyol atau dilindungi dari teman-teman jahat yang suka membuat saya menangis atau takut, tetapi doa-doa yang lebih memberikan dampak holistik untuk kehidupan saya, terkait dengan mimpi-mimpi besar yang ingin dicapai.

Baca juga:  Saat Sakit, Nabi Musa Berpaling dari Allah

Namun, harus diakui, doa-doa itu tak selalu terkabul, bahkan ada yang terwujud berupa kebalikannya. Hal ini serta-merta membuat saya kecewa, bahkan marah pada Tuhan. Astagfirullah, betapa angkuhnya saya.

Perlahan, saya sering merenung bersama secangkir teh dan gorengan di sore hari. Apa yang salah dengan doa saya? Mengapa ada doa yang tidak dikabulkan? Bukankah Allah menyuruh kita berdoa dan berjanji mengabulkannya? ‘Ud u’nii fastajiblakum’.

Sampai suatu ketika saya melihat sebuah buku dengan judul yang unik ‘Doa Bukan Lampu Aladin’ karangan Jalaluddin Rakhmat. Membaca judulnya saja membuat saya merasa ditampar, apalagi membuka isinya. Rasanya sudah babak belur.

Selama ini, saya (dan mungkin kalian) tidak memosisikan doa sebagai permintaan yang tulus dengan penuh rendah hati, tetapi cenderung sebagai ‘perintah’ di mana jika Tuhan tidak mengabulkannya, kita jadi marah. Ya, benar saja. Doa bukanlah ‘lampu aladin’ yang bisa terus mengabulkan kehendak. Tuhan tidak pernah mengingkari janjinya tentang terkabulkannya doa. Jika doa itu tidak terkabul, itu berarti ada maksud lain. Bisa jadi tidak terkabulkannya doa itu, karena dapat membawa kemudharatan untuk kita. Bisa jadi, ia hanya ditunda dan dikabulkan di waktu yang tepat. Sekali lagi, saya merasa babak belur akan keangkuhan.

Baca juga:  Mengapa Imam Salat di Kampung Suka Baca Surah al-Kafirun?

Dalam buku itu, Kang Jalal menjelaskan bahwa ada beberapa tingkatan doa. Pertama, doa orang-orang awam (dan ini adalah doa yang sering saya untaikan). Doa ini mencakup harapan agar diberi sesuatu dan dilindungi. Inti dari doa ini adalah harapan untuk diri sendiri.

Kedua, doa yang sudah tidak memikirkan lagi pemberian Tuhan, kecuali keridhaan-Nya. Jika ditelisik, doa ini seharusnya menjadi sesuatu yang fundamental bukan? Sebab sejatinya, hidup ini adalah untuk menjadi keridhaan Tuhan, bukan harta, jabatan atau popularitas.

Ketiga, doa yang berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Nah doa tipe ini mungkin agak sulit dilakukan, karena pada umumnya manusia cenderung merasa dirinya hebat, tanpa cela dan kurang. Keegoisan manusia menenggelamkan dirinya dalam buaian kesombongan akan kehebatan diri. Padahal, manusia tempat salah dan khilaf. Dalam konteks ini, persepsi ‘perempuan selalu benar, dan lelaki selalu salah’ tidak berlaku ya pemirsa! Di mata Tuhan, kita semua adalah manusia, kita semua sama.

Keempat, dan ini tingkatan yang paling tinggi adalah doa dengan bisikan cinta. Isinya mengandung rayuan seorang pecinta kepada kekasih yang dicintainya. Untuk mengetahuinya, mari lihat doa-doa yang dilantukan Rabiah al-Adawiyah. Beliau berkata “… berikan surga itu kepada hamba-hambaMu yang lain. Bagiku, Engkau saja sudah cukup.” Doa tahap ini tak lagi mengenal kepentingan pribadi, tetapi sanjungan kepada Tuhan akan kebesaran-Nya yang agung. Orientasi hidupnya bukan lagi kesuksesan di dunia, tetapi untuk mengabdi sebagai hamba, mendekatkan diri kepada sang kekasih- Allah semata.

Baca juga:  Kisah Imam Junaid Al-Baghdadi Bertemu Pendeta Saat Berangkat Haji

Bagaimana? Apa anda juga merasa babak belur? Menyadari bahwa selama ini, kita dengan angkuhnya memosisikan doa sebagai perintah kepada Tuhan, sementara para sufi menjadikan doa sebagai media untuk menjalin kasih sayang bersama Tuhan. Sebenarnya, tidak ada yang salah dalam berdoa, baik di tipe tingkat pertama sekalipun.

Akan tetapi, yang sering terlupa adalah adab dalam berdoa. Maka mari kita perbaiki caranya, berdoalah dengan perasaan rendah diri, mengakui bahwa kita penuh kekurangan, tak memiliki kekuatan apa-apa untuk melakukan sesuatu, dan yakini bahwa Allah mendengarnya dan akan mengabulkannya. Terakhir, pasrahkan, sebab Allah Maha Tahu yang terbaik untuk kita.

Sejatinya, hidup adalah seni berdamai dengan kenyataan. Ada hal-hal yang terjadi di luar kuasa kita, yang tentu sudah ditakdirkan oleh yang punya Semesta. Apa pun hasil akhir dari sebuah doa, yakini bahwa itu yang terbaik. Semua ada tempatnya dan waktunya. Yang penting, jangan pernah menyerah merajut doa, sebab Allah tak pernah menyerah menunggu kita dengan bongkahan-bongkahan harapan yang tersusun rapi dalam setiap untaian doa yang kita panjatkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top