Salah satu pelajaran penting dalam persaudaraan haji itu tidak mengenal sekat apapun. Ia, ibadah haji, sudah lepas dari kemelekatan simbolik karena kekuatan cinta yang ditebar dengan ketulusan menjadi energi yang menggerakkan.
Cinta bukan hanya kepada pasangan yang diikat oleh perkawinan, tetapi cinta yang menyeluruh, cinta yang menyebar, cinta yang mensemesta.
Dalam cinta yang mensemesta tak lagi ada cemburu yang mengganggu, ia tulus melayani, seperti Muhammad, Sang Nabi Agung, bukan hanya kepada sesama manusia tetapi menembus alam semesta. Itu mengapa beliau digelari sayyidul kaunain wats tsaqalain; pemimpin dua dunia, pemimpin dua kelompok, jin dan manusia.
Kita ini pengikutnya, bertugas meneladani beliau, tapi syari’at membatasi kita di satu dunia saja, ndak perlu ngurusi makhluq dari dunia halus, karena mereka memiliki dunia sendiri. Tetapi interaksi kita dengan mereka toh diajarkan penuh etika oleh sang nabi. Mulai dari sekedar membacakan do’a bagi rumah tak berpenghuni sampai larangan buang air di kediaman jon, eh jin.
Maka, sebagai agen Rahmatan lil ‘Alamin, spirit cinta harus disebarkan ke penjuru dunia, kita ini khalifah di atas bumi, bukan hanya di Nusantara. Ini bukan khilafah ala HTI. Ini kekhalifahan fungsional, di mana sebagai agen penyalur berkat, fungsi kita tidak dibatasi teritori negara, apalagi saat ini dunia sudah tanpa tapal batas. Engkau terlalu kecil bila hanya mengurusi keluarga kecilmu, maka berjalanlah ke seluruh bumi, fasiru fil ardhi fanzhuru kaifa kana ‘aqibatul mukadzibin; berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.
Engkau bisa berjalan sendiri dengan segenap potensi dan kemampuanmu, Tuhan akan menguatkan dan menjamin kehidupanmu, engkau punya modal besar, itulah cinta yang menggerakkan. Jadi kamu bisa diterima dan bebas berselancar di lautan kehidupan tanpa harus takut ditenggelamkan oleh Bu Susi.
Kesejatian cinta itu hanya mengenal satu. Dialah Tuhan. Dia yang menganugerahkannya dan bila engkau mengerti pola kerja para utusannya, maka engkau akan menyadari bahwa dirimu adalah sang utusan, meski Dia menyebut kita sebagai khalifah.
Prinsip kerja sang khalifah adalah memakmurkan bumi dengan cinta dan kasih sayang, tanpa sekat organisasi bahkan kemanusiaan. Ia seperti Rabi’atul Adawiyah yang tak bisa membenci setan, karena hatinya telah dipenuhi cinta. Tak ada ruang, di hati Rabi’ah, untuk benci.
Melihat musuh, bukan lagi dengan pandangan kebencian, karena hatinya sudah tak mengenal benci, yang ada energi cinta yang menggerakkan. Tetapi sanggupkah kita menjalani bagian penting sebagai agen penyalur berkat ini?
Allah memperkenalkan Nabi Isa yang diberkati, sebagai hamba-Nya yang menebar spirit kasih ke semesta bumi. Dia siap menjadi martir bagi penderitaan umatnya, dan begitu pula Muhammad, Sang Nabi Agung, yang rela menanggung perih sakaratul maut demi umat yang dikasihinya tak merasakan seperti apa yang ia rasakan.
Ini spirit cinta terdahsyat, implikasi paling langsung tampak dalam kisah sang nabi, bagaimana ia melayani si miskin bernama Tsa’labah. Setelah diberikan do’a dan modal usaha lalu berkembang pesat, Tsa’labah menjadi kaya lalu tak lagi mendukung dakwahnya bahkan berpaling dari sang Nabi.
Agen penyalur berkat itu menuntut syarat, yaitu spirit cinta yang mensemesta. Lalu di level ini apa masih membicarakan egoisme organisasi atau juga soalan poligami?
Kalimah-kalimah di atas saya sampaikan tadi malam malam ini di hadapan Jama’ah Haji Madinah Iman Wisata. Entah namanya apa, pengantar acara bilang taushiyah. Ternyata ada Ustadz Wijayanto setia menyimak lalu mengabadikan beberapa foto. Mas Didik Ariyanto memintaku membawakan topik ini, sepulang dari Arafah Mina, aku siap berbagi cinta, lalu cinta rabi’ah menginspirasiku berbagi cerita, semoga manfaat adanya.