Paham ‘aku benar kamu salah’, dan ‘surga milikku’ menggiring lahirnya tunas dan gerakan terorisme. Lihat saja, selang lima hari penyanderaan mematikan di Mako Brimob, terjadi terorisme di Surabaya pada Minggu (13/5/2018). Di hari sama, polisi menangkap dua perempuan belia bercadar karena akan menusuk polisi.
Malamnya, penghuni Rusunawa Wonocolo merakit bom dan meledak. Tiga orang tewas dan tiga luka-luka. Para korban sekeluarga terduga pemilik bom. Lalu, Senin (14/5/2018) ada pengeboman di Polrestabes Surabaya.
Sejarah munculnya terorisme erat kaitannya dengan gerakan pemurnian Islam. Maka ketika ada terorisme selalu dikaitkan dengan Islam. Paham mereka ‘kembali kepada Alquran dan Assunnah’ sebagai rujukan utama dalam hidup.
Akar Ideologi Sempalan
Dalam penelitian Matin (2017:135), gerakan ini terbagi atas as-Salafiyah at-Tarikhiyah, as-Salafiyah al-Wahabiyah, as-Salafiyah al-Ishlihiyah, as-Salafiyah at-Ta’siliyah, as-Salafiyah al-Jihadiyah, dan al-Takfiriyah. Gerakan pemurnian agama berupa pemurnian akidah, memberantas kemusyrikan dan bidah untuk menerapkan hukum Islam secara utuh.
Di Indonesia, kelompok yang getol menyuarakan pemurnian Islam adalah Wahabi, Salafi, dan sejenisnya. Wahabi berawal dari ajaran dan gerakan politik Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791) dari Najd, Arab Saudi. Kelompok ini cenderung gerakan politik daripada keagamaan. Namun praktiknya, gerakan ini sarat akan kepentingan politik.
Sejarah gerakan Wahabi ini menyasar ke Nusantara terutama di Sumatera Barat kurun 1807–1838. Kala itu terjadi Perang Padri akibat pemaksaan beragama. Burhanudin (2012:141) menelaah, Perang Padri dilatarbelakangi kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang dari Mekkah 1803. Mereka ingin melancarkan semangat pembaharuan dan perbaikan syariat Islam. Lantaran memaksa, gerakan itu berujung perang saudara.
Perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol disebabkan kepentingan. Pada masa kepemimpinannya, Nain (2004) menjelaskan Imam Bonjol menyesali tindakan kekerasan Kaum Padri. Meski demikian, akibat fanatisme itu melahirkan sikap patriotisme dan cinta tanah air. Tak heran jika Imam Bonjol dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional pada 1973.
Partai Masyumi sejak 24 Oktober 1943 juga melakukan pola sama. Masyumi yang lahir dari embrio Madjlisul Islamil A’laa Indonesia (MIAI) ini anggotanya kebanyakan ulama dan tokoh politik pribumi. Mereka mengakui nasionalisme dan berusaha menyatukan dengan Islam. Bahkan, jihad yang mereka usung bukan ngebom, namun melawan penjajah.
Gerakan takfiri juga erat dengan Ahmadiyah. Ichwan (2005:45) menjelaskan perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia sesat karena takfiri. Pada 1980 dan 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa tegas Ahmadiyah aliran sesat dan menyesatkan. Masuknya ideologi Islam berpaham Wahabi dan transnasional era 1970-sekarang menutup corong nasionalisme. Mereka mendirikan ormas Islam berpaham konservatif, puritan, dan kaku.
Sejak paham itu berkembang, muncul terorisme pertama kali di Indonesia pada 1981 saat penerbangan Pesawat Garuda pada 28 Maret 1981. Dialektika pemurnian Islam di negeri ini terbukti menggiring masyarakat menuju nasionalisme.
Hanya NU dan Muhammadiyah yang sejak dulu konsisten memegang nasionalisme religius dan melawan terorisme. Belakangan, misi pemurnian Islam dengan berbagai paham, ormas Islam, dan gerakan takfiri sangat kontraproduktif dengan spirit kebangsaan.
Ideologi Mengaveling Surga
Di dalam Islam ada tiga tiket untuk masuk Surga. Pertama, mencari ilmu. Kedua, mengamalkan ilmu. Ketiga, membela agama Allah atau jihad. Landasan ini disalahpahami dengan doktrin ‘saya paling benar dan masuk Surga’, sedangkan lainnya di Neraka.
DalamAlquran, Allah berfirman: “Hai orang iman, maukah aku (Allah) tunjukkan dagangan yang bisa menyelamatkan kamu dari Neraka? Yaitu iman kepada Allah, Rasul dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Demikian itu lebih baik jika kalian mengerti” (QS. 61: 10-11).
Ayat ini harus ditafsir sesuai konteks, ruang dan waktu. Jihad di jalan Allah dalam konteks Nabi Muhammad masih hidup dengan era sekarang jelas beda. Dulu, masih ada perang, sekarang merdeka, dan jihadnya harus di wilayah intelektual, spiritual, dan ekonomi. Bukan ngebom!
Jika dianalisis, ada beberapa kelas ideologi mengaveling Surga dengan menghalalkan segala cara. Pertama, fikrah (pemikiran) dan akidah (kepercayaan) konservatif pada pemurnian Islam. Doktrin jihad menjadi jurusnya. Padahal jihad dan perang beda.
Jihad secara praktik ada dua. Di wilayah intelektual berbentuk ijtihad, dengan meneliti, mengkaji, menguak hal-hal baru sehingga menjadi produk ilmiah. Di wilayah spiritual berbentuk mujahadah dengan kegiatan istigatsah, doa bersama, bukan mengebom. Lalu, jihad yang mereka maksud itu apa?
Kedua, gerakan masif takfiri (mengafirkan), tabdi’ (membidahkan), tasyri’ (menyirikkan). Mereka antitradisi, tak peduli nasionalisme, menganggap NKRI taghut (setan). Hormat bendera merah putih dianggap kafir, menyanyikan Indonesia Raya dinilai bidah. Ideologi ini menjadi awal berkembangnya terorisme brutal.
Ketiga, gerakan radikalisme di dunia nyata maupun maya. Bisa lewat pengajian, masjid, media online, cetak, Youtube, meme, medsos, dan layanan pesan dengan paham mereka. Keempat, gerakan menghakimi sendiri dan puncaknya mengebom. Anasirnya, berkelompok, bom atas nama bunuh diri di tempat ibadah seperti gereja, fasilitas umum, dan lainnya.
Islam yang tampil keras seperti ini justru membuat wajah Islam buruk. Islam agama rahmat, kasih sayang, dan tak ada ajaran Islam menyuruh ngebom. Jelas itu sesat kuadrat!
Berhenti
Menghentikan ideologi “mengaveling Surga” tak semudah minum kopi. Harus ada gerakan riil memutus mata rantainya. Pertama, pemahaman mendasar tentang pemikiran, dan akidah berislam. Bisa dilakukan dengan mencari guru yang sanad keilmuannya jelas. Jangan sampai, belajar Islam pada “Kiai Google” dan “Ustaz Youtube” yang tak jelas sanad keilmuannya.
Kedua, kiai/ulama yang dijadikan guru harus benar-benar ramah, toleran, bukan yang suka mengafirkan apalagi mengaveling Surga. Ketiga, pemahaman Islam harus menyesuaikan realitas sosial. Jangan sampai menerima ajaran Islam mentah-mentah dan tanpa akal sehat.
Keempat, doktrin beragama ini bisa melakukan nasionalisasi ajaran dengan prinsip Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat (Cak Nun, 2016). Artinya, kita sebagai manusia Indonesia harus memegang teguh Jawa kita, Bugis kita, Madura kita, Sunda kita, agar tak tercerabut dari akar dan menjaga kebhinekaan. Ajaran dari Islam dan Arab harus dibedakan.
Cara ini tentu belum final. Pemahaman agama Islam itu rahmat, adem, toleran, tak ekstrem sehingga berpaham jihad adalah teror justru lebih urgen. Perubahan cara berpikir berislam ramah tentu bisa dilakukan dengan cara di atas.
Pemerintah harus segera menuntaskan revisi UU Antiterorisme Nomor 15/2003. Lewat regulasi ini akan menjadi formula memberantas terorisme. Sejak dulu, Indonesia aman, toleran, tanpa gesekan atau bom. Sejak muncul kelompok Islam yang mengimpor ideologi transnasional ini, wajah Islam makin buruk. Buruk sekali. Mereka membawa faham aneh tanpa melihat realitas sosial lantaran kacamatanya adalah kacamata kuda.
Doktrin masuk Surga atau Neraka itu mereka lakukan karena merasa dirinya Tuhan. Padahal, manusia hanya disuruh berusaha. Masuk Surga atau Neraka itu urusan Tuhan, bukan manusia. Masuk Surga atau tidak itu terserah Allah. La kok mereka yang menentukan masuk Surga atau tidak sehingga muncul terorisme. Memangnya, mereka itu Allah?