Dalam tradisi agraris seperti di Indonesia, hubungan antara manusia, tanah, dan hasil bumi selalu menjadi perbincangan yang menarik. Bagi petani, tanah bukan sekadar ladang untuk mencari nafkah, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual mereka. Ada hubungan yang terjalin antara kerja fisik menanam, merawat, dan menuai hasil, dengan tawakal, rasa syukur, dan kesadaran bahwa segala sesuatu pada akhirnya ada di tangan Tuhan.
Jika dilihat lebih mendalam, Al-Qur’an memberikan banyak pelajaran berharga tentang pertanian yang bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal etika dan spiritualitas.
Al-Qur’an berulang kali menyebut fenomena alam, termasuk hujan, tanah, dan tumbuhan, sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam QS. Al-An’am [6]:99, Allah berfirman tentang bagaimana Dia menurunkan hujan yang menyebabkan tanah menumbuhkan berbagai macam tanaman dan buah-buahan. Gus Baha’, dalam berbagai ceramahnya, sering menyampaikan bahwa ayat-ayat semacam ini mengajarkan kita untuk selalu melihat proses alami pertanian sebagai tanda kekuasaan Allah yang harus disyukuri.
Dalam dunia pertanian, hasil yang baik bukan hanya soal kerja keras manusia. Ada unsur rahmat Allah yang tidak bisa diabaikan. Sebagai petani, kita tidak pernah tahu dengan pasti hasil apa yang akan kita dapatkan. Inilah mengapa petani adalah profesi yang penuh tawakkal. Mereka selalu bekerja dengan harapan dan keikhlasan bahwa hasil akhirnya adalah ketetapan dari Allah. Petani diajarkan untuk sabar, tenang, dan tidak serakah.
Prof. Quraish Shihab, dalam tafsirnya, Al-Mishbah, memperdalam hal ini dengan menjelaskan bahwa proses pertumbuhan tanaman yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan hanya tentang tanaman itu sendiri, tetapi tentang keteraturan dan keterkaitan antar ciptaan Allah. Pertanian adalah cerminan dari harmoni alam semesta, di mana setiap bagian memiliki peran yang saling melengkapi.
Prof. Quraish juga menekankan bahwa ayat-ayat seperti QS. Al-Baqarah [2]:261—yang menggambarkan pahala amal kebaikan sebagai benih yang tumbuh menjadi tujuh bulir—mengajarkan bahwa setiap tindakan kebaikan, seperti halnya bertani, membutuhkan niat yang tulus dan kesabaran, namun hasilnya bisa jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.
Namun, hubungan spiritual antara manusia dan tanah ini tidak hanya berhenti pada keikhlasan dan tawakkal. Ada juga etika dalam bertani yang harus diperhatikan. Dalam QS. Al-A’raf [7]:31, Allah mengingatkan kita untuk tidak berlebihan dalam menggunakan nikmat yang diberikan. Cak Nun, dalam berbagai pengajian dan tulisannya, sering mengaitkan pesan ini dengan pola hidup sederhana, termasuk dalam cara kita memperlakukan alam. Bagi Cak Nun, tanah bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi seenaknya. Petani harus paham bahwa tanah, air, dan semua sumber daya alam adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik.
Cak Nun sering menyuarakan bahwa pertanian adalah sebuah ibadah. Petani yang bekerja dengan hati, yang tidak rakus, dan yang selalu ingat bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, pada dasarnya sedang melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Ada rasa tanggung jawab yang besar dalam bercocok tanam. Bagi Cak Nun, teknologi modern dalam pertanian seharusnya digunakan untuk memperkuat hubungan manusia dengan alam, bukan merusaknya. Petani yang bijak adalah mereka yang memadukan pengetahuan modern dengan nilai-nilai spiritual yang sudah diajarkan dalam Al-Qur’an.
Ini menjadi refleksi yang penting bagi kita, terutama sebagai mahasiswa Agroteknologi. Di satu sisi, kita belajar tentang teknologi terbaru dalam bercocok tanam, mulai dari penggunaan pupuk, pestisida, hingga metode irigasi yang canggih. Namun, di sisi lain, kita harus sadar bahwa teknologi tersebut harus digunakan dengan bijak. Dalam QS. Al-Kahfi [18]:45, Al-Qur’an menggambarkan kehidupan dunia sebagai sesuatu yang sementara, seperti tanaman yang hijau kemudian mengering dan hancur. Ini menjadi pengingat bahwa semua yang ada di dunia ini fana, termasuk hasil pertanian kita. Maka, keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan menjadi sangat penting.
Dalam tradisi Islam, bekerja di ladang adalah bentuk nyata dari syukur kepada Allah. Setiap butir padi yang tumbuh, setiap tetes air yang mengalir, adalah bukti rahmat-Nya yang tak terhingga. Oleh karena itu, petani tidak hanya menjadi penanam pangan, tetapi juga penjaga alam dan penerima amanah Ilahi. Memahami hal ini, kita tidak hanya bertugas menciptakan inovasi di bidang pertanian, tetapi juga menjaga nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an: kesederhanaan, keberlanjutan, dan kesadaran akan keberkahan yang ada di setiap proses pertanian.
Bahan bacaan:
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Ainun Nadjib, Emha. Tuhan Maha Asyik. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015.