Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serta Shindunata atau Romo Sindhu tak akan pernah lekang pada dunia tulis-menulis ihwal sepak bola (footbal writing) di Indonesia. Walaupun mereka berdua dikenal sebagai seorang agamawan, namun nyatanya urusan sepak bola juga jago, baik analisis pertandingan, korelasi antara sepak bola dengan pelbagai lini sektor kehidupan, dan tentu saja, aksi langsung di lapangan hijau. Ya, meskipun tidak sampai menjadi pemain profesional.
Menyelisik pada sejarah, Gus Dur banyak menuliskan peristiwa demi peristiwa akan dunia sepak bola tatkala pada 1982 hingga 2000. Tulisan-tulisannya banyak tersiar di pelbagai media cetak, seperti: Tempo, Kompas, Tabloid Bola hingga Suara Pembaruan—pada 2014 dijadikan buku dengan judul Gus Dur dan Sepakbola diterbitkan oleh Imtiyaz, Surabaya.
Sementara itu, Romo Sindhu dalam urusan sepak bola sering menuliskannya di Kompas. Kepingan demi kepingan tulisan tersebut kemudian menjadi sebuah buku trilogi yang terdiri: Bola di Balik Bulan, Bola-bola Nasib dan Air Mata Bola.
Sepak bola, meskipun banyak yang menganggap hanyalah sebatas sebagai salah satu cabang olahraga, namun di balik riuh maupun hiruk-pikuk para pendukung kesebelasan untuk menyaksikan tim kesayangannya, nyatanya sepak bola menyimpan pelbagai hal akan lini yang ada kehidupan. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, sains, hingga agama.
Banyak orang yang (tak) berkesempatan merasakan bermain sepak bola secara langsung, mereka memilih duduk di hadapan mesin tik, menganalisis setiap kejadian maupun peristiwa yang lahir dari sepak bola.
Kita mungkin terhenyak dengan situasi politik dan agama dalam globalisasi atas pembacaan sepak bola tatkala membaca buku Memahami Dunia Lewat Sepakbola karya Franklin Foer. Kita akan terheren-heran dengan pelbagai wacana ekonomi hingga data statistika yang dilahirkan dari sepakbola tatkkala membaca buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski. Dan masih banyak lagi di luar itu tentunya.
Pun juga apa yang terjadi pada sosok Gus Dur dan Romo Shindu. Mereka menjadi sosok yang acapkali trend setter dalam urusan persepakbolaannya. Bahkan, ada masa di mana mereka berdua saling berbalas tulisan tentang sepak bola yang dikait maupun disangkutpautkan dengan realitas yang terjadi pada negara Indonesia. Entah sosial, budaya, politk maupun sistem pemerintahan.
Bermula Terpilih Jadi Presiden
Gus Dur menjadi Presiden Indonesia pada 20 Oktober 1999. Tiga hari berselang, Romo Shindu menulis kolom di Harian Kompas dengan berjudulkan Kesebelasan Gus Dur. Romo Sindhu banyak mengetengahkan situasi perpolitikan hingga krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia. Apalagi tulisan tersebut ditujukan kepada Gus Dur saat momentum di mana presiden RI yang keempat tersebut sedang mempersiapkan kabinetnya.
Ibarat perseteruan dalam ide-ide maupun menjalin dalam persahabatan, seolah—Gus Dur maupun Romo Sindhu—menemukan resep yang manjur untuk merincikan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan berbangsa. Mulai dari politik, kebangsaan, struktur pemerintahan, strategi dalam menghadapi persoalan negara, sektor kebudayaan atau bahkan berkaitan mengenai ideologi.
Tak ayal, banyak esai-esai yang ditulis di antara keduanya bermunculan di media cetek. Sebut saja ketika Romo Sindhu menuliskan esai berjudul “Catenaccio” Politik Gus Dur (Harian Kompas, 16 Desember 2000)—yang pada saat itu Romo Sindhu menceritakan bagaimana Gus Dur menghadapi Panitia Khusus (pansus) DPR terkait mengenai kasus bulog.
Gus Dur menerapkan strategi catenaccio. Strategi tersebut merupakan gaya sepak bola khas Italia—dikenalkan pertama kali oleh Enzo Bearzot.
Ciri khas strategi tersebut adalah bertahan dan menggerendel lawan, kemudian mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk gawang lawan. Yang mana melalui tulisan tersebut Romo Sindhu melakukan kritik atas apa yang diterapkan oleh Gus Dur. Bagi Romo Sindhu, sistem pertahanan tersebut sulit jikalau dikembangkan di Indonesia. Ia kemudian mengemukakan bahwa pemerintah haruslah menegakkan demokrasi secara menyeluruh.
Yang kemudian menarik, ketika dalam beberapa waktu berselang, tepatnya pada 18 Desember 2000, Gus Dur menulis esai berjudul “Catenaccio” Hanyalah Alat Belaka. Gus Dur menceritakan bagaimana proses kehidupan demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia dengan kemungkinan-kemungkinan strategi sebagaimana yang ada di dalam dunia persepakbolaan. Ia menungkapkan bahwa catenaccio digunakan dalam satu hal. Dalam hal lain menggunakan hit and run dan bahkan juga menerapkan total football.
Sepakbola dan Demokrasi
Kita kemudian salah ketika hanya memaknai bahwa sepak bola adalah permainan yang hanya bergantung pada aturan waktu, berebut bola di lapangan hijau atau hanya sebatas sorak-sorai dari para penonton tatkala tim kesayangannya memenangkan pertandingan.
Lebih dari itu, sepakbola adalah sebuah kenyataan yang sangat multitafsir bagi setiap orang. Ia juga mengajarkan akan falsafah kehidupan dalam segala konteks yang ada.
Gus Dur dan Romo Sindhu tentu saja adalah dua sosok yang pernah melakukan itu. Dalam konteks inti yang dibahas tentu saja adalah demokrasi. Tidak mengherankan ketika pada 2015, tatkala Lakpesdam NU dalam menyambut Muktamar ke-33 di Jombang, melakukan release buku berjudul Nasionalisme dan Islam Nusantara (Kompas, 2015), Romo Sindhu termasuk salah satu orang yang memberikan gagasan.
Tulisan Romo Sindhu yang termaktub dalam buku tersebut berujudul Catatan Tentang Gus Dur: Bola Demokrasi. Dalam tulisan tersebut Romo Sindhu menegaskan bahwa sosok Gus Dur adalah sosok pribadi yang menghormati sistem. Dalam konteks sistem demokrasi, Gus Dur telah menganalogikan bahwa demokrasi itu bagaikan bola.
“Bola tidak harus langsung ditembak ke gawang lawan, tetapi juga harus dikejar, direbut, di-dribble, dijadikan passing pendek, diolah dalam kombinasi dan kerja sama tim dimainkan dalam tempo yang tidak selalu sama.” (h. 135-136).
Di tengah perkembangan sepak bola Indonesia yang pasang-surut dengan pelbagai problematika maupun permasalahan yang hadir, semoga saja banyak perhatian pada pelajaran-pelajaran yang ada dalam sepak bola kemudian dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga juga para pemangku kebijakakan di negara demokrasi ini terus mau belajar dalam menjalankan amanah maupun tanggung jawabnya. Begitu.[]