Sebelum melangkah lebih jauh ke pembahasan syukur, saya mengutip definisi syukur menurut Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari dalam kitab Ghayah al-Wushul. Beliau mendefinisikan syukur adalah:
صرف العبد جميع ما أنعم الله به عليه من السمع وغيره إلى ما خلق له
“Aktivitas hamba terhadap segala sesuatu yang telah Allah beri nikmat, baik dari pendengaran dan lainnya untuk penghambaan.”
Dari pengertian tersebut bisa dipahami bahwa syukur tidak hanya berupa ucapan ‘terima kasih’ pada Tuhan sebagaimana yang umum dipahami masyarakat. Dalam bahasa keseharian kita, kata ‘syukur’ dipanjatkan pada Tuhan, sementara kata ‘terima kasih’ digunakan pada sesama manusia.
Berbeda halnya dengan definisi syukur menurut Zakariya al-Anshari yang menjelaskan syukur sebagai perbuatan hamba atas segala nikmat yang diberikan dengan melakukan ketaatan sebagai bentuk penghambaan.
Senada dengan Zakariya al-Anshari, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Mau‘idhah al-Mu’minin menjelaskan syukur adalah:
القيام بما هو المقصود المنعم و محبوبه
“Menegakkan sesuatu yang dikehendaki dan dicintai oleh pemberi nikmat”
Penjelasan mudahnya seperti ini, ketika kita diberi uang saku oleh orang tua, baik ketika kuliah atau mondok, bentuk syukur atas nikmat uang saku adalah membelanjakan uang tersebut sesuai dengan kebutuhan kita dan tidak menggunakannya pada perkara yang tidak berguna, alih-alih yang dilarang orang tua, seperti modal bucin, pacaran.
Kembali ke konteks ketaatan, Allah memberi kita nikmat yang luar biasa, baik nikmat iman, islam, dan kesehatan. Maka bentuk syukur kita adalah mengolah nikmat tersebut menjadi suatu bentuk perbuatan dan aktivitas yang diridhai Allah sebagai bentuk ‘ngawula dumateng Gusti’ atau penghambaan berupa melaksanakan perintahnya, baik fardhu dan sunnah, dan menjauhi larangannya segala larangannya yang meliputi perkara haram dan makruh.
Oleh karena itu, Zakariya al-Anshari menyatakan, “anna syukr al-mun’im wajibun bi al-syar‘i” (bahwa menurut syariat, syukur pada Dzat yang memberi nikmat adalah suatu keharusan). Setelah kita sukses mengolah nikmat kita dengan ketaatan, Allah masih memberi pahala atas syukur kita dengan pahala. Kita bisa melihat rahmat Allah di sini, ketika syukur merupakan keharusan, Allah tetap memberi cashback ganjaran pada kita. Nah, puasa termasuk bentuk syukur atas kenikmatan kita dengan bentuk ketaatan menjalankan perintah-Nya.
Perihal puasa, Hujjah al-Islam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din mengutip hadis Nabi yang berbunyi:
للصائم فرحتان, فرحة عند إفطاره و فرحة عند لقاء ربه
“Terdapat dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, kebahagiaan ketia berbuka, dan kebahagiaan ketika berjumpa Tuhannya”
Selain kenikmatan pahala yang didapat orang yang berpuasa, terdapat dua kenikmatan tambahan baginya yaitu kebahagiaan atas kebolehan makan yang tidak ditemukan selain bagi orang yang berpuasa, dan keridhaan Allah padanya.
Saya teringat ketika Gus Lukman, guru saya di Ma’had Aly Krapyak yang masih kerabat Gus Baha’ yang beliau panggil dengan ‘Lik Lukman’, menerangkan arti di balik doa berbuka puasa yang biasa dipanjatkan orang Indonesia yang berbunyi, “Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa ‘ala rizqika afthartu…”, yang memiliki makna khusus di dalamnya.
Diawali dengan kata “Allahumma laka shumtu”, beliau menjelaskan bahwa orang puasa ketika melaksanakan puasanya, tujuannya adalah bukan karena takut mendapat siksa, bukan karena mengharap pahala dan keutamaan-keutamaan yang sering diposting teman-teman kita di status WA, bukan karena menjaga kesehatan tubuh, bukan juga karena malu sama tetangga, melainkan hanya karena Allah memerintahkan puasa dan mengharap ridha-Nya.
Kemudian pada kata “wa bika amantu” yang memiliki makna tauhid terhadap tujuan puasa. Karena dengan adanya tujuan lain selain mengharap ridha Allah, berarti ada tujuan utama selain karena Allah, bisa berupa menghindari siksaan, mendapatkan surga, menambah rezeki, menjaga kesehatan, atau mendapatkan kehormatan masyarakat, yang menjadikan Allah bukan sebagai tujuan utamanya yang bisa menjerumuskan pada menyekutukan-Nya.
Lanjut pada kata terakhir “wa ‘ala rizqika afthartu” menunjukkan pada kelemahan manusia yang bermakna hanya karena segala nikmat Allah lah, seseorang bisa berbuka. Karena nikmat dari-Nya, manusia bisa makan, merasakan kenikmatan kenyang. Orang yang fisiknya tidak sehat, ia tidak bisa menikmati makanan. Jadi kenikmatan makan dan kenyang ini bergantung pada kenikmatan-kenikmatan yang lain, seperti kesehatan, dan lain-lain.
Keponakan Gus Lukman, yaitu Gus Baha’ juga menerangkan keistimewaan dari puasa yang menyadarkan kelemahan dan kebutuhan pokok manusia, yaitu makanan. Menurut beliau, seseorang akan lebih mudah berbahagia dan merasakan kenikmatan makanan ketika ia berpuasa.
Dalam konteks puasa, Gus Baha’ mengkampanyekan suatu hadis Nabi yang berbunyi:
إن الله ليرضى عن العبد أن يأكل الأكلة فيحمده عليها أو يشرب الشربة فيحمده عليها
“Sesungguhnya Allah sangat ridla pada hamba-Nya yang memuji-Nya sesudah ia makan dan minum atas makanan dan minumannya”
Menurut Gus Baha’, redaksi “layardla” bermakna besarnya ridha Allah. Ketika Allah sudah ridha seperti ini, maka seseorang tersebut telah menjadi wali dan kekasih-Nya. Bagi Gus Baha’, inilah salah satu kiat menjadi wali melalui jalur makan, dan dengan berpuasa seseorang akan lebih mudah memuji Tuhan atas makanan dan minumannya.
Al-Ghazali dalam kitab Ihya’‘Ulum al-Din menambahkan bahwa syukur selalu beriringan dengan sabar. Dalam artian bahwa ketika seseorang bersyukur (tetap dengan definisi di atas), maka ia bersabar dengan menahan diri dari perbuatan yang dilarang Allah yang berlawanan dengan keinginan nafsunya dengan tujuan ketaatan dan penghambaan.
Puasa sebagai bentuk syukur adalah mengoptimalkan nikmat yang Allah berikan dengan menjalankan perintahnya berupa menahan makan, minum, dan seks yang dihalalkan di luar puasa. Sementara sabar dalam puasa adalah menahan keinginan makan, minum, dan seks yang bertentangan dengan keinginan nafsu sampai batas waktu yang ditentukan sebagai bentuk ketaatan, penghambaan, dan mencari ridha-Nya.
Terakhir, saya kembali teringat Gus Baha’ yang pernah berkata bahwa lauk terenak ketika makan adalah lapar, dan saya menambahkan untuk menyempurnakan kenikmatannya adalah dengan ‘ngudud Surya’ setelahnya. Wallahu a‘lam.