Sedang Membaca
Memperindah Alquran, Mempertimbangkan Iluminasi Lokal
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Memperindah Alquran, Mempertimbangkan Iluminasi Lokal

Memperindah Alquran, Mempertimbangkan Iluminasi Lokal 3

Beberapa pekan yang lalu, tepatnya tanggal 2-9 Nopember 2017, berlangsung Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat provinsi Kalimantan Selatan di kota Banjarmasin. Dan malam ini (9 Nopember 2017-red), ketika saya sedang mengetik ini, penutupan kegiatan ini sedang berlangsung di atas sungai Martapura yang membelah kota seribu sungai ini.

Saya tak mengikuti apa yang sedang terjadi dalam perhelatan beberapa hari ini, kecuali ketika secara tak sengaja melihat teman di fesbuk membagikan gambar karya-karya cabang Khaththtul Qur’an di dindingnya.

Yang paling menarik perhatian saya ketika menjadi juri cabang ini setahun yang lalu di provinsi tetangga, Kalimantan Tengah, adalah karya-karya sub-cabang Mushaf dan Dekorasi. Sampai menjelang pulang, salah satu keinginan saya yang tak keturutan adalah mengoleksi salah satu karya Mushaf (penulisan khat dengan dekorasi di atas bidang kertas. Cabang Dekorasi sendiri mirip dalam pelukisan, hanya bedanya medianya di atas tripleks yang ukurannya lebih besar dari ukuran kertas).

Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)
Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)

Yang menarik itu adalah hiasan iluminatif yang membingkai ayat (khat). Iluminasi sendiri adalah hiasan atau ilustrasi pada suatu halaman naskah kuno, seperti pada Alkitab, Alquran serta naskah-naskah lama. Kata ini berasal dari bahasa Latin illuminatio, yang berarti “penerangan dengan lampu”, juga berarti “pencahayaan” atau “penyinaran”. Dalam konteks seni rupa hiasan ini sering dibuat menggunakan prada atau tinta emas murni, perak atau desain berwarna yang memantulkan sinar (Susanto, 2011: Tambayong, 2012).

Dalam sejarah penulisan kitab suci Alquran, karya-karya iluminasi terbaik yang hingga kini dijadikan referensi, baik dalam penulisan Alquran maupun dekorasi ayat ini, adalah karya-karya yang dihasilkan pada masa Dinasti Mamluk, Utsmani (Ottoman), dan Safawi.

Dalam perkembangannya kemudian karya iluminasi tidak hanya digunakan untuk menghiasi kitab suci, namun juga digunakan dalam persuratan para raja dan sultan kerajaan-kerajaan Islam hingga ke Nusantara, dan menjadi studi tersendiri dalam melihat teks pada ilmu pernaskahan (kodikologi). Dalam buku Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, kita akan melihat ragam persuratan raja-raja di nusantara dan iluminasi yang menghiasinya.

Baca juga:  Tafsir Sosial dalam Kisah Nabi Isa

Jika kita tarik perbincangan ini lebih meluas ke lingkup perkembangan estetika (filsafat) Barat dan dinamika pemikiran tasawuf abad pertengahan, kita akan mendapati pada abad ke-9 (di Eropa) dan ke-12 (di dunia Islam) pemikiran atau gagasan tentang pancaran cahaya ilahi. Dalam seni lukis Barat bentuk perwujudannya melalui “halo” atau “aureole” yang “menghiasi” kepala malaikat atau orang suci, dan juga nantinya pada temuan karya-karya glass-painting abad pertengahan, sedangkan dalam dunia Islam (selain pada paham tasawuf isyraqi, juga) ada pada karya-karya iluminasi kitab suci Alquran.

Iluminasi II

Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)
Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)

Saya merasa perlu menyebutkan latar pemikiran filsafat dan teosofi yang mendasari paham “cahaya ilahi”, agar bisa dibayangkan hubungan antara sikap artistik maupun estetik karya iluminasi dan dekorasi mushaf kontemporer dalam MTQ dengan gagasan besar filosofis maupun sufistik yang mendasarinya pada mulanya.

Dikatakan oleh Johannes Scotus Eriugena di abad ke-9, “Indah berarti menyinari atau menunjukkan sesuatu, yaitu hikmah kuasa Allah yang menciptakan ketertiban” (Hauskeller, 2015).

Pernyataan Neoplatonis Irlandia ini tidak hanya berpengaruh di Barat, namun juga bagi para ahli hikmah (kebijaksanaan) di dunia Islam, seperti di antaranya Syihabuddin Yahya Suhrawardi yang juga bergelar al-Maqtul (yang terbunuh). Suhrawardi inilah, yang lahir pada 549 H/ 1153 M di kampung Suhraward, pengarang kitab terkenal Hikmatul Isyraq yang berbicara tentang doktrin-doktrin isyraqi (pancaran cahaya atau emanasi).

Baca juga:  Mengapa Imam Salat di Kampung Suka Baca Surah al-Kafirun?

Pengaruh filsafat neoplatonis yang niscaya ke dalam dunia Islam pasca al-Ghazali, membuat sebagian orang percaya bahwa konsep Nur-Muhammad (cahaya Muhammad) sesudahnya merupakan pengaruh ajaran Kristen abad ke-9, dan membuat mereka yang alergi terhadap filsafat makin menegaskan bahwa tasawuf Islam telah keluar dari manhaj yang benar dan sesat. Tapi perdebatan ini tidak akan saya teruskan, karena sudah dibahas selama berabad-abad oleh para pemikir Islam yang masyhur di kalangan ahlussunnah wal jama’ah.

Dalam tulisan beberapa waktu yang lalu saya juga sudah membicarakan tentang bagaimana sejarah konsep Nur-Muhammad ini awalnya diambil dari Hasan bin Tsabit, yang diteruskan oleh Muqatil kemudian oleh Sahal al-Tustari, al-Hallaj, dan dipungkasi oleh Ibnu ‘Arabi. (Baca juga Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Tuhan: Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, terbitan Mizan 2012, hal. 180-207)

Konsep tentang cahaya yang menyinari (memancar) itu diteruskan dalam seni rupa Barat dengan bentuk “halo” dan teknik glass-painting di gereja-gereja abad pertengahan yang indah. Di dunia Islam, ya, melalui karya iluminasi yang menghiasi kitab suci Alquran dan persuratan para raja dan sultan, yang kini diteruskan melalui bidang Dekorasi dan Mushaf dalam perhelatan MTQ.

Nah, melintas ke perhelatan MTQ melalui cabang Khaththil Qur’an, saya melihat kemandegan dalam karya-karya para peserta lomba yang sekadar mengulang-ulang pola lama, dan sekadar “menghias” tanpa kesadaran konseptual dan konsep visualisasi.

Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)
Hasil karya Musabaqah Khattil Quran MTQ Propinsi Kalimantan Tengah 2016 (Foto: Hajriansyah)

Melalui gambar karya-karya dekorasi yang dibagikan teman Facebook, yang saya sebut sebelumnya, yang saya lihat orang-orang hanya tahu menghias (membuat dekorasi iluminasi) dengan motif-motif arabeska dan sulur-suluran tanpa pemahaman, bahwa konsep cahaya itu mestinya dibangun di atas bidang yang tersinari lemah dan yang kuat pancaran cahayanya.

Baca juga:  Gerakan Islam dalam Politik Indonesia

Sehingga mestinya, bidang gambar itu tidak sekadar dihias secara penuh dengan tabrakan warna yang sama kuat atau komplemen, namun diatur mana yang mesti diredupkan warnanya mana yang lebih terang dan kuat. Dan mana yang perlu diisi bidangnya dengan motif tetumbuhan, semacam bentuk daun dan suluran, serta mana yang harus dikosongi namun tak terkesan kosong agar perimbangan komposisi bidangnya lebih harmonis.

Belum lagi tentang potongan ayat yang dijejalkan pada bidang utama secara penuh, tentu saja ini tidak proporsional—belum lagi jika bicara aspek keterbacaan yang kurang memadai karena tumpukan ayat panjang disusun seperti benang kusut di bidang tengah/utama. Mestinya dikutipkan potongan (ayat) pendek saja sebagai point of interest, dan sisanya dibagi secara proporsional ke dalam bidang-bidang yang juga harmonis. Bukannya disusun secara acak vertikal-horisontal atau membujur-lintang yang mengganggu secara komposisi.

Jadi, dalam pembagian ruang dekorasi, baik pada bidang Dekorasi maupun Mushaf, baiknya dipertimbangkan komposisi ruang dan pola motif yang diisikan. Lebih baik lagi, dan ini sudah saya lihat sebagian ada pada karya-karya peserta, pola atau desain pembingkaian mestinya mengambil pola-pola yang tersedia dalam kultur budaya setempat. Sehingga dapat menguatkan unsur lokalitasnya, seperti bentuk Talabang (perisai Dayak), bentuk gapura Banjar atau Jukung Tambangan.

Okelah, aspek kaidah penulisan merupakan hal yang penting, tapi jangan dilupakan bahwa dekorasi mushaf itu sendiri keindahannya ada pada keseluruhan desain (pola) yang dibangun oleh qawaidul khathth dan pola iluminasi (warna dan hiasan) yang membingkai keseluruhan ayat. Saya kira itu masukan saya untuk para peserta lomba—entah terbaca oleh pihak yang terkait, ataupun tidak. Iluminasi sebagai konsep keindahan saya kira persoalan dasar dan menentukan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top