Sedang Membaca
Desa Kutorojo Pekalongan: Kampung Moderasi, Miniatur Indonesia
Khairul Anwar
Penulis Kolom

Dosen STAIKAP & UIN Gus Dur, Sekretaris LTNNU Kab. Pekalongan, serta penulis buku.

Desa Kutorojo Pekalongan: Kampung Moderasi, Miniatur Indonesia

Desa Kutorojo Pekalongan: Kampung Moderasi, Miniatur Indonesia

Universitas Islam Negeri (UIN) KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah, sebagai kampus yang menyandang nama besar Gus Dur (tokoh yang menjunjung tinggi keharmonisan antar umat beragama), terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya dengan menggencarkan program-program berbasis moderasi beragama. Kebetulan di UIN Gus Dur ada lembaga bernama Pusat Moderasi Beragama.

Kampus yang berlandaskan Islam rahmatan lil ‘alamin ini telah melakukan berbagai program moderasi beragama, salah satunya yaitu pembentukan kampung moderasi beragama di Desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Di sini UIN Gus Dur berperan sebagai fasilitator.

Bisa dikatakan, Desa Kutorojo adalah miniatur Indonesia. Karena di Desa Kutorojo terdapat dua agama yakni Islam dan Hindu, serta satu penghayat kepercayaan. Praktik moderasi beragama di Desa Kutorojo telah berlangsung selama puluhan tahun, akan tetapi baru mulai diadministrasikan sejak 2023.

“Kalau prosesnya dari tahun kemarin, tapi SK-nya dari Kemenag Kabupatennya baru tahun ini,” ujar Nanang Hasan Susanto, Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN Gus Dur.

Whatsapp Image 2024 10 18 At 21.46.24 (1)

Desa Kutorojo ditetapkan sebagai kampung moderasi beragama sesuai dengan SK Kemenag Kabupaten Pekalongan No. 96 Tahun 2024 tentang penetapan Desa Kutorojo sebagai Kampung Moderasi Beragama.

Kegiatan launching kampun moderasi beragama digelar pada Rabu (17/7/2024) bertempat di altar Candi Kutomoyo Desa Kutorojo bersamaan dengan ritual rutin adat masyarakat Kutorojo, yakni Nyadran.

Penetapan Desa Kutorojo sebagai kampung moderasi beragama menandai komitmen UIN Gus Dur untuk terus memberikan manfaat terkait pendidikan moderasi beragama bagi warga sekitar, khususnya di Kecamatan Kajen. UIN Gus Dur tidak hanya melaksanakan program moderasi beragama untuk kalangan internal kampus saja, melainkan juga menyasar kepada masyarakat Desa Kutorojo, sebuah desa yang berjarak sekitar 5km ke arah selatan dari UIN Gus Dur.

Sebagai fasilitator pembentukan kampung moderasi beragama di Kutorojo, UIN Gus Dur melangsungkan berbagai macam program yang bekerjasama dengan masyarakat lintas agama di desa tersebut. Dialog lintas agama, kontrak sosial, dan pengelolaan bank sampah, adalah diantara program-program yang diperantarai UIN Gus Dur di kampung moderasi beragama. Dari dialog lintas agama itu, yang diikuti tokoh adat salah satunya, kemudian menghasilkan pengurus moderasi beragama yang itu arahnya untuk menjadi forum komunikasi dalam mengatasi persoalan persoalan perbedaan agama.

Baca juga:  Wawancara Khusus dengan Gus Dur 29 Tahun Silam: Kapan Parpol Dewasa? (2)

Nanang menyampaikan bahwa pengurus moderasi beragama dibentuk dengan tujuan yaitu mentradisikan lembaga adat yang sudah ada, penghormatan terhadap budaya lokal meskipun berbeda agama, tetap menjunjung tinggi budaya itu agar terus menerus ada.

“Sebetulnya itu sudah dilakukan warga kampung, tetapi kalau dilembagakan begitu itu harapannya akan berkelanjutan. Lebih istiqomah, dan sebagainya,”kata Nanang.

Pembentukan pengurus moderasi beragama menjadi poin penting dalam merawat keharmonisan antar masyarakat adat yang ada di Desa Kutorojo. Bagi masyarakat Desa Kutorojo, hal ini bisa menjadi semacam pilot projet, menjadi semacam percontohan bahwa sebetulnya perbedaan itu tidak menjadi masalah untuk melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

“Sebetulnya yang jadi masalah itu, ya, ketika ada pihak yang membesar besarkan itu, bahkan dalam satu keluarga kemudian berbeda agama itu hal yang biasa, ketika itu sudah  memang terjadi seperti itu. Dan mereka meskipun pendidikannya tidak tinggi tetapi yang menganggap perbedaannya sebagai sesuatu yang biasa karena memang itu dirasakan dan ditradisikan gitu ya,”lanjut Nanang.

Dialog Lintas Agama sebagai Upaya Merawat Keberagaman

Kegiatan dialog lintas agama itu ada banyak unsur yang terlibat, antara lain perwakilan tokoh agama, pihak UIN Gus Dur, dosen, mahasiswa yang KKN, FKUB, tokoh agama dari Linggoasri, dinas terakit serta masyarakat setempat.

Lalu apa yang menjadi topik dalam diskusi lintas agama tersebut? Dalam dialog lintas agama tersebut pokok bahasan adalah terkait pentingnya keberagaman dan merawat toleransi antar umat beragama. Pihak UIN Gus Dur berperan membawakan pengantar di awal acara.

Mengutip pernyataan Nanang, bahwa ada sebuah statemen dari seorang sarjana bernama Mas Tommy yang mengatakan bahwa “tidak mungkin ada perdamaian dalam sebuah negara apabila tidak ada perdamaian antar agama di negara itu, kemudian tidak mungkin ada perdamaian antar agama di sebuah negara jika tidak ada dialog antar agama.”

Maka,  setiap umat beragama harus memiliki pola pikir bahwasanya “perbedaan ialah sebuah keniscayaan, maka menghargai keberagaman tanpa pandang bulu adalah sesuatu yang wajib dilakukan”. Kegiatan dialog lintas agama salah satunya bertujuan untuk saling memahami agar tidak terjadi salah paham, agar tidak terjadi salah prasangka dalam memahami perbedaan. Karena berbagai konflik agama yang terjadi, seringkali disebabkan karena munculnya berbagai prasangka.

Baca juga:  Konflik Afghanistan, Kebobrokan Peradaban, dan Kebangkrutan Islam

“Nah, diawali dari situ kemudian kita mempersilahkan kepada masing masing perwakilan agama untuk menyampaikan pandangannya. Pandangannya terhadap dialog itu dan semuanya mengatakan bahwa itu memang perlu untuk dilakukan gitu ya,”sambung Nanang.

Selain kegiatan dialog lintas agama yang bakal diagendakan rutin setiap bulan, UIN Gus Dur juga memfasilitasi adanya kontrak sosial. Kontrak sosial itu semacam pernyataan dari tokoh agama masing-masing untuk saling menghormati. Bentuknya berupa sebuah klausul tertulis yang ditandatangani oleh para tokoh agama, kemudian dipercantik dengan figura dan dipasang di kantor kepala desa. Hal ini menjadi kesepakatan bersama antar agama untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan di daerah yang plural. Merawat keharmonisan antar umat beragama juga sejalan dengan pemikiran Gus Dur. Pluralisme yang dibawakan oleh Gus Dur lebih menekankan kepada sikap toleransi dan menerima perbedaan latar belakang masyarakat Indonesia.

Kerjasama Lintas Agama di Bidang Lingkungan

Whatsapp Image 2024 10 18 At 21.46.24

Di Desa Kutorojo juga dilaksanakan program pengelolaan sampah (red: bank sampah) yang dilakukan oleh para warga, baik pemeluk agama Islam atau Hindu. Tujuan mereka satu: ingin menjaga kebersihan lingkungan desa. Dengan lingkungan yang bersih dan terawat, harapannya bisa membuat suasana dan ekosistem lingkungan menjadi lebih baik. Kehidupan adem ayem, salah satunya juga jika lingkungan tempat tinggal manusia dalam keadaan bersih.

Kerjasama mereka (Islam dan Hindu) di bidang lingkungan juga berangkat dari persoalan sampah yang meresahkan. Karena desa Kutorojo terletak di dataran tinggi, desa di bawahnya mengeluh dengan persoalan sampah tersebut. Nah, lalu berangkat dari persoalan itu, mereka bergerak untuk menyelesaikan dengan program bank sampah. Pihak UIN Gus Dur memfasilitasi dengan menghadirkan dinas LH dan Perkim untuk memastikan keberlanjutan lingkungan. Kehadiran dinas LH dan Perkim diharapkan bisa membantu dan memberi arahan terkait bagaimana manajemen bank sampah nanti serta pengelolaannya seperti apa?

Baca juga:  KH Zawawi Imron Jelaskan Alasan Cinta Tanah Air

Waluyo, tokoh Hindu yang bekerja di instansi Pemerintah Desa Kutorojo menyebut bahwa program bank sampah itu hanya satu dari sekian banyak program kolaborasi yang dilakukan antar warga lintas agama. Ia mengatakan bahwa praktik moderasi beragama di Desa Kutorojo berlangsung sejak puluhan tahun. Kerja sama lintas agama di berbagai bidang kerap dilakukan.

“Moderasi beragama menurut saya baik, karena untuk menjalin kerjasama dan gotong royong serta untuk mewujudkan tali silaturahmi antar pemeluk agama lain dan meningkatkan sifat tenggang rasa antar warga lintas agama di Desa Kutorojo,”ucap Waluyo.

Praktik moderasi beragama yang ada di Desa Kutorojo intinya adalah saling hormat menghormati dan menanamkan sikap gotong royong antar umat beragama. Masyarakat Desa Kutorojo memahami terhadap nilai-nilai moderasi beragama, yakni sebagai sarana menuju kehidupan masyarakat yang rukun damai dan hidup saling berdampingan tanpa membeda-bedakan antar pemeluk agama dan kepercayaan lain.

Saat saya tanya mengapa nilai-nilai moderasi beragama perlu ditanamkan di Desa Kutorojo?

“Karena nilai-nilai moderasi beragama adalah sangat penting, melihat fakta pula bahwa di Desa Kutorojo ada beberapa pemeluk agama dan kepercayaan, untuk menumbuhkembangkan kegotongroyongan, kerukunan, antar pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain,”jawabnya.

Dengan adanya kampung moderasi beragama ini, Waluyo dan warga desa pada khususnya, sangat berharap Desa Kutorojo dapat semakin dikenal sebagai simbol kerukunan dan toleransi di Kabupaten Pekalongan pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Bagi UIN Gus Dur sendiri, pembentukan kampung moderasi beragama hanyalah satu dari beberapa program yang telah berjalan. Beberapa program moderasi beragama yang pernah dilakukan yaitu penyusunan modul ajar Mata Kuliah Moderasi Beragama untuk dosen, mendiseminasikan wacana Islam moderat melalui media online yang dikelola LP2M yakni Hijratunaa, pemilihan duta moderasi beragama, dan yang akan dilakukan dalam waktu dekat yaitu diseminasi riset berbasis moderasi beragama.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top