Ahmad Khoiri
Penulis Kolom

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Rokat Sang-Pasang: Islamisasi Tradisi Hindu di Madura

Rokat

Ketika saya berkunjung ke daerah Bayan, Lombok Utara, ada sesuatu yang sangat unik, yaitu masjid kuno Islam Wetu Telu. Masjid Bayan Beleq, namanya, merupakan masjid tertua di Lombok. Masjid ini dibangun sekitar abad XV oleh Sunan Prapen yang merupakan seorang waliyullah dari Jawa. Properti masjid ini masih sangat sederhana, hanya menggunakan bambu sebagai genting dan juga dindingnya. Di depan pintu masuk terdapat sebuah kendi yang, konon, airnya tidak habis-habis sekalipun dipakai secara terus-menerus.

Sederhananya, Islam Wetu Telu merupakan akulturasi Islam dengan budaya setempat ketika Islam disebarkan. Saat itu masyarakat Bayan menganut animisme, dinamisme dan Hindu secara simultan. Sayang sekali akulturasi tersebut belum sempurna, sedang Sunan Prapen sendiri terlebih dahulu meninggal. Menurut warga setempat, Sang Sunan berpesan agar pengikutnya tidak bertindak sesuatu di luar yang diajarkan. Ketika ia meninggal, ajaran Islam yang didakwahkan secara bertahap itu belum lengkap, dan masyarakat Bayan takut untuk melengkapinya disebabkan instruksi Sang Sunan semasa hidupnya.

Padahal, menurut hemat saya, akulturasi sebenarnya sekadar metode (manhaj) pengajaran Islam, bukan sebagai tujuan (ghâyah) pengajaran itu sendiri. Ketika pengajaran melalui metode tersebut belum sempurna, lalu oleh pengikutnya dipahami sebagai tujuan (ghâyah), maka kemungkinan munculnya tipologi tidak dapat dihindarkan. Pendek kata, Islam Wetu Telu ini sangatlah menarik untuk didiskusikan. Sekarang pertanyaan penting yang mesti kita ajukan ialah: bagaimana bila akulturasi tersebut telah sempurna?

Di Madura, ada tradisi unik. Namanya Rokat Sang-Pasang. Rokat sendiri memiliki arti selamatan atas suatu kejadian. Rokat Tasè’, umpamanya, berarti suatu ritual selamatan laut, agar aktivitas laut aman dari bahaya, seperti kapal tenggelam atau bahkan dari nahasnya hasil usaha para nelayan. Tradisi Rokat memang kentara klenik. Tetapi di Madura, nuansa klenik bukan sesuatu yang tabu, bahkan melibatkan segala hal. Orang sakit tidak akan dibawa ke dokter, kecuali sudah ke dukun dulu. Dalam pendek pengertian, itulah Rokat Sang-Pasang.

Saya menyadari bahwa Madura luas, dan karena itu, generalisasi istilah memerlukan banyak pertimbangan. Seperti Lombok yang memiliki adat dan bahasa lokal relatif berbeda pada setiap kabupaten; Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat, setiap kabupaten di Madura barangkali memiliki term berbeda perihal Rokat Sang-Pasang. Misalnya, istilah Rokat Ro’-Toro’. Secara esensial keduanya sama. Sampai di sini jelas, kekayaan istilah bahasa Madura penting digarisbawahi, meski substansi maknanya sama.

Baca juga:  Maulid Tanpa Qiyam di Rawa Pening

Konotasi istilah Sang-Pasang atau Ro’-Toro’ lebih kepada sebab-akibat. Sang-Pasang merupakan akibat sakit seseorang, sedangkan Ro’-Toro’ adalah penyebabnya. Secara harfiah, Ro’-Toro’ mengisyaratkan seseorang telah diikuti jin hingga menjadi sakit, adapun Sang-Pasang dipahami sebagai penangkal jinnya, agar sakitnya tersembuhkan. Serangkaian ritualnya oleh masyarakat Madura dinamai Rokat, dan bentuk liturgisnya berupa sesajen bubur, rokok, dan sejenisnya, yang dibungkus daun dan ditaruh di tempat-tempat tertentu.

Sang penuntun ritual adalah paranormal. Ketika seseorang sakit dan keluarganya membawa kepadanya, ia lantas mewangsitkan untuk menaruh sesajen tertentu. Sang dukun bilang sakitnya begini, dan akan sembuh dengan cara begini. Seseorang bisa percaya atau tidak. Ini memang irasional. Tetapi kebanyakan memang sembuh. Biasanya, sang dukun meminta keluarganya menaruh sesajen di malam hari, ketika semua sedang terlelap. Tempatnya beragam. Selain di kuburan dan tempat angker, juga di perempatan jalan umum.

Tradisi demikian, sejatinya adalah tradisi Hindu. Menaruh sesajen untuk tujuan apapun, tidak ditemukan padanannya dalam sejarah Nabi maupun dalam nas al-Qur’an. Tradisi kurban dalam Islam, yang diisyaratkan secara historis melalui surah al-Ma>idah [5]: 27, bukan menjadikan hewan kurban, kambing misalnya, sebagai tujuan penghambaan. Surah al-H{ajj [22]: 37 menegaskan, ketakwaan dalam melakukan kurbanlah yang sampai kepada Allah. Kurban tidak bermakna tujuan, melainkan sekadar wasilah mencapai derajat ketakwaan.

Baca juga:  Menilik Tradisi Tahlilan 9 Hari di Madura

Baik Hidhu maupun Budha, keduanya memiliki tradisi yang sudah menyatu dengan Nusantara, bahkan menjelma menjadi identitas, yang dikenal sebagai ‘adat’. Ragam sesajen adalah salah satu di antaranya. Sementara, keberagamaan senantiasa dinamis. Rokat Sang-Pasang menjadi bukti nyata dari tesis Darori Amin (2000: 53) bahwa tanpa kebudayaan, agama berkembang secara individual, tetapi tak memiliki tempat di ranah kolektif. Sebagai praktik animisme, Rokat Sang-Pasang mirip adat memasuki hutan menyuguhkan sesajen.

Islam di Indonesia bukanlah membangun peradaban, tetapi merebut peradaban. Maka maklum ketika warna-cita rasa Islam juga beriklim animisme dan hinduisme (Ummi Sumbulah, 2014: 52). Tak terkecuali dengan Madura, yang Islam datang pada saat Hindu-Budha sudah menjadi agama resmi. Bukan melalui pertumpahan darah, penyebaran Islam di Pulau Garam berjalan melalui, di antaranya, saling tarik-menarik keterpengaruhan. Nilai Islam kemudian disematkan pada budaya, tanpa merombak eksistensi budaya itu sendiri.

Dalam konteks Rokat Sang-Pasang, secara lahiriah unsur animisme masih kentara, tetapi nilai-kepercayaan terhadap adat tersebut sudah diislamisasi. Artinya, secara fisik kelihatan sebagai tradisi Hindu, tetapi nilai Islam tersemat di dalamnya. Hal itu sangat mungkin, sebab sebenarnya setiap praktik keagamaan selalu terikat realitas. Pada saat yang sama, kompleksitas realitas tidak mampu ditaklukkan dengan sikap konfrontatif. Mengajarkan Islam akhirnya ditempuh melalui penanaman nilainya secara inheren.

Bahwa Rokat Sang-Pasang ini bertendensi sinkretisme agama, dalam konteks tertentu, mungkin dapat dibenarkan. Tetapi, masyarakat Madura, dan secara spesifik di daerah saya Pamekasan, tidak memahami secara historis sesajen yang mereka lakukan. Atas hal ini, Wahyana Giri (2010: 13) mensinyalir bahwa para pendahulu mengenalkan tradisi/adat sebatas kulitnya saja. Toh pada hakikatnya, Rokat Sang-Pasang memiliki tujuan “berdoa kepada Allah swt. agar penyakitnya disembuhkan dengan perantara sedekah—sesajen.”

Baca juga:  Puisi al-Ashma’i Membuat Khalifah al-Manshur Menyerah

Seperti umumnya sesajen, Rokat Sang-Pasang merupakan bukti konkret islamisasi tradisi Hindu di Madura. Di sisi lain, ia juga merupakan prasasti besarnya pengaruh animisme sebelum Islam datang menjadi agama mayoritas. Keberhasilan penyebaran Islam itu sendiri, harus kita akui, di antaranya, disebabkan penetrasi damai antara tradisi/adat dengan agama. Aspek lahirnya tetap budaya asal, tetapi nilainya sudah tak lagi mengandung kemusyrikan. Tentu saja ini menjadi kekayaan tradisi kita di satu sisi, dan keagamaan kita di sisi lainnya.

Baik unsur tradisi maupun nilai keislaman yang terkandung dalam Rokat Sang-Pasang oleh masyarakat Madura tak dipahami secara dikotomis. Yang mereka pahami dari ritual tersebut adalah doa meminta kesembuhan, tanpa mengkotakkan pengertian ‘adat’ dan ‘agama’. Keduanya satu padu dalam praktik, menyatu menjadi bagian dari Islam. Seiring modernitas, Rokat Sang-Pasang hanya dijumpai di masyarakat pedalaman Madura, tidak dengan masyarakat urban. Modernitas memang meruntuhkan keyakinan yang bernuansa klenik. Masyarakat urban menyembuhkan sakit mereka, satu-satunya, adalah melalui dokter.

Daftar Rujukan

Kastolani dan Abdullah Yusof. “Relasi Islam dan Budaya Lokal.” Kontemplasi. Volume 4, Nomor 01. 2016.

MC, Wahyana Giri. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. 2010.

Sumbulah, Ummi. “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya; Karakteristik, Variasi, dan Ketaatan Ekspresif.” el Harakah. Volume 14. Nomor 1. 2014.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top