Sedang Membaca
Perbandingan Agama, Bukan Pertandingan Agama
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Perbandingan Agama, Bukan Pertandingan Agama

Judulnya terinspirasi dari kata-kata Pdt. Eka Damaputera bahwa agama boleh saja diperbandingkan, namun bukan untuk dipertandingkan. Tiap-tiap agama bersifat partikular dan memiliki kekhasan, namun juga tidak singular dan ekslusif.

Kalau kita berselancar di dunia maya, kemudian mencari video di Youtube dengan kata kunci ‘Perbandingan Agama’ maka akan banyak bermunculan video debat Islam dan Kristen tentang ketuhanan Isa Almasih atau perdebatan seputar Injil dan Alquran dengan teori sains modern. Fenomena tersebut mampu menarik banyak warganet untuk turut menonton dan memberi komentar.

Apakah perbincangan tersebut berbahaya? Oh tentu saja iya, sebab para muslim hanya melihat kebenaran dalam terangnya sendiri, begitupun tak ada bedanya jika orang-orang kristiani melakukan hal yang sama. Pertemuan yang demikian tidak akan pernah memberikan solusi bagi kehidupan beragama yang beragam, malah hanya memperuncing ujung perbedaan demi klaim kebenaran.

Dalam sudut pandang internal umat beragama saja, argumen beragama yang dibangun dalam debat agama-agama sangatlah rapuh. Coba saja perhatikan, sang teolog bisanya cuma menyerang kepercayaan orang lain. Ajaran agama yang diagung-agungkannya terlihat baik, jika harus menjelek-jelekkan agama orang lain terlebih dahulu. Padahal teologi yang mapan dan sehat semestinya bisa memunculkan kebaikan suatu ajaran agama dari dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan apalagi mempertandingkan dengan ajaran agama lain. Cukup katakan, Alquran dan Alkitab itu berbeda atau dalam paradigma pluralisme tertentu bisa dibilang “Intinya sama saja kok.”

Baca juga:  Kasyf al-Tabarih (1): Fiqhul Hadis Kiai Fadhol Senori terhadap Hadis-hadis Tarawih

Apalagi jika dilihat dari sudut pandang lintas agama, pertandingan agama malah membuat kekacauan dalam relasi antaragama. Keunikan setiap agama menjadi terusik malah terancam, banyak posisi yang dipindah-pindahkan secara sembarang. Misalnya Sang Buddha dianggap sebagai Tuhan atau salat menghadap Kabah dinilai pemujaan pada batu. Logika setiap agama menjadi hancur, karena diintervensi oleh pihak luar yang sok tahu melebihi penganutnya.

Akan tetapi, hal di atas bukan berarti alasan yang mendukung pelarangan keras untuk membandingkan agama. Justru membandingkan agama merupakan salah satu disiplin atau setidaknya metode yang bisa menjadi ruang perjumpaan bagi agama-agama. Saking vitalnya metodologi ini hingga menjadi salah satu nama bagi kajian akademik yang lahir pada abad ke-20 di Jerman dengan nama Religionswinchaft, nama lainnya Comparative Religion yang dipelopori oleh Max Muller. Sedangkan di Indonesia, Perbandingan Agama dibawa oleh Mukti Ali dengan dibukanya program studi Perbandingan Agama di IAIN Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960.

Perbandingan agama sebagai ikhtiar ilmiah sebenarnya saduran dari perbandingan bahasa yang telah berkembang sebelumnya. Disiplin tersebut hendak mencari bentuk fundamental dari semua agama, melacak kebermulaan agama, dan mencari hal-hal yang serupa demi kesimpulan yang komprehensif tentang agama.

Orang-orang mulai menyadari bahwa agama perlu dikaji secara sistematik dan akademik, sebagaimana biologi terhadap makhluk hidup. Agama bukan sekedar pedoman hidup fundamental yang berharga bagi penganutnya. Agama juga telah berpartisipasi aktif dalam menyokong sejarah manusia.

Baca juga:  Ihwal Sarung: dari Mulai untuk Berdoa, Bergaya, hingga Bercinta

Kini dimulailah era baru untuk bisa membedakan secara jeli antara agama sebagai pengetahuan intelektual dengan agama sebagai tata susila atau jalan hidup. Perbandingan agama menjadi ilmu yang sangat berbeda dengan teologi. Dirinya tak mempunyai keinginan untuk membela suatu keyakinan tertentu, ia hanya ingin mengutarakan tentang agama apa adanya secara jujur, empiris, dan terbuka.

Dengan demikian para umat beragama harus pintar-pintar membedakan mana orang yang mengkaji agama untuk dihayati dan mana orang yang mepelajari agama untuk kepentingan saintifik. Meskipun di Indonesia, seorang teolog bisa saja merangkap jadi seorang pakar perbandingan agama, tapi perlu ditegaskan bahwa sarjana perbandingan agama berbeda dengan sarjana teologi.

Dan benar saja, ketika agama terus ditelisik dalam mimbar akademik berbagai ketegangan antaragama kian melonggar. Rupanya ditemukan banyak bentuk-bentuk yang serupa dalam ekspresi agama yang berbeda-beda. Agama memiliki sesuatu yang sangat dihormati yakni kesakralan. Ternyata agama apapun itu pasti memiliki setidak-tidaknya memiliki dimensi yang menata keimanan dan mengatur peribadatan.

Sekian lama agama-agama saling bersitegang, hubungan antaragama dipenuhi dengan kebencian dan permusuhan. Seketika perbandingan agama membawa angin segar yang mendudukan agama-agama dalam posisi yang setara.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top