Sedang Membaca
New Normal dan Pesantren
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

New Normal dan Pesantren

New normal bukan fase transisi kesehatan masyarakat melainkan kesehatan ekonomi. Kalau benar bahwa new normal dalam rangka pemulihan kesehatan masyarakat maka rujukan yang dipakai adalah pendapat ahli pandemik, yang dalam hal ini direpresentasikan BNPB atau Menteri Kesehatan. Tapi nyatanya tidak demikian. Oleh sebab itu tak perlu uforia dengan new normal.

Termasuk dalam hal ini pesantren yang tampak lebih berhasrat membuka kembali lebih awal dibandingkan sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Padahal tingkat resistensi pesantren lebih tinggi dibandingkan lembaga pendidikan lainnya.

Kita sama-sama tahu bahwa selengakap apapun lembaga pesantren tidak ada yang memenuhi standar kapasitas ruang dan santri. Termasuk dalam penerapan physical distancing. Belum lagi unsur “berkerumun” yang melibatkan ratusan bahkan ribuan santri dalam waktu berjam-jam, dari pagi ketemu pagi, 24 jam non-stop.

Atas dasar ini dapat dimaklumi, sebagai contoh kasus, Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 443/Kep.321-Hukham/2020 tentang protocol kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian Covid 19 di lingkungan pondok pesantren. Dalam keputusan itu pesantren-pesantren diminta untuk membuat Surat Pernyataan Kesanggupan” dengan tiga poin utama.

Pertama, pesantren bersedia menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid 19 dalam menjalankan aktivitas pesantren selama masa pandemic. Kedua, bersedia untuk menyeiakan sarana dan prasarana yang wajib diadakan berkaitan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Ketiga, bersedia dikenakan sanksi atas pelanggaran yang terjadi selama masa pandemi.

Baca juga:  Delusi Nalar Literasi Intelektual

Keputusan itu pada dasarnya berlaku sama bagi instansi, kantor, pabrik, pasar swalayan, dan sebagainya selama masa new normal. Hanya saja pesantren pada umumnya kurang sependapat dengan keputusan seperti itu. Khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi.

Pesantren pada dasarnya merupakan lembaga nirlaba. Hal ini berbeda dengan instansi, kantor, pabrik, pasar swalayan yang umumhya merupakan lembaga profit; sehingga jika seandainya terjadi pelanggaran mereka mampu membayar denda.

Sedangkan pesantren yang tergolong memiliki risiko tinggi berdasarkan kapasitas ruang dan waktunya; apabila melanggar dan dikenai denda maka darimana sumber pendanaanya? Inilah alasan keberatan yang disampaikan pengelola pesantren.

Pesantren dan pemerintah tampaknya sama-sama tidak mau menanggung resiko. Apa yang dijanjikan pesantren dengan rencana menggelontorkan bantuan uang duapuluh juta ke tiap-tiap pesantren juga dinilai formalistik belaka. “Untuk membeli APD selama sebulan juga kurang!” demikian dikeluhkan pihak pesantren.

Atas dasar pertimbangan ini, pesantren lebih baik menunda pembukaan kembali sebelum pandemic betul-betul berlalu. Toh, new normal ini tujuan utamanya adalah kepentingan kesehatan ekonomi bukan kesehatan masyarakat.

Terkecuali para wali santri juga berani menjamin keperluan-keperluan yang dibutuhkan anak mereka. Yakni jika seandainya para santri kembali ke pesantren dengan menerapkan protocol kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19 di lingkungan pondok pesantren

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top