Sedang Membaca
Hikayat Walisongo (1): Sunan Gresik, Kakek Bantal dan Spirit Moderasi

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang.

Hikayat Walisongo (1): Sunan Gresik, Kakek Bantal dan Spirit Moderasi

Hikayat Walisongo (1): Sunan Gresik, Kakek Bantal dan Spirit Moderasi

Dalam historiografi Islam Nusantara, dikatakan bahwa syiar Islam di tanah Jawa telah ada sejak abad ke 7 M. di era kekuasaan Rani Simha di Kerajaan Kalingga. Syiar Islam tersebut dibawa oleh para saudagar Arab-Persia ke Nusantara yang tidak hanya menjalankan aspek perniagaan tetapi juga berikhtiar memperkenalkan ajaran Islam kepada pribumi. Selain itu, pada abad ke 10 masehi terjadi migrasi besar-besaran para keluarga Arab-Persia yang beragama Islam ke Nusantara. Orang Jawa Pribumi saat itu mengenal mereka dengan sebutan keluarga Lor. Disebut Lor karena mereka datang dari arah pesisir utara pulau Jawa. Sejak saat itulah mereka tinggal dan mendiami di kawasan pesisir utara pantai Jawa.

Salah satu bukti adanya komunitas Arab-Persia di tlatah Jawa adalah adanya bukti arkeologis yakni sebuah makam kuno di Kab. Gresik Jawa Timur. Makam tersebut adalah makam Maulana Malik Ibrahim atau yang akrab dikenal dengan Sunan Gresik. Menariknya lagi, bahwa tokoh ini dapat menjadi bukti bahwa Islamisasi tanah Jawa telah ada sejak sebelum datangnya dakwah Walisongo. Berikut adalah catatan historis mengenai Sunan Gresik, tokoh wali penyiar Islam pra Walisongo.

Sunan Gresik yang Berjuluk Mbah Bantal

Raffles (1965) dalam The History of Java, mencatat cerita tutur masyarakat setempat yang berkisah bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik adalah seorang pandita atau wali yang berasal dari Arabia, keturunan Zaenal Abidin dan sepupu Raja Chermen yang menetap bersama orang-orang Islam di Desa Leran Jenggala. Sementara itu berdasarkan inskripsi makamnya disebutkan bahwa beliau berasal dari Kashan (bi Kashan), sebuah tempat di Persia (Iran), dan wafat pada 882 H. / 1419 M. (Agus Sunyoto, 2011: 50). Catatan sejarah awal Islam di Nusantara menyatakan bahwa awal dakwah Sunan Gresik adalah di daerah sekitar Leran, dan tidak jauh dari komplek makam Fatimah binti Maimun. Kemudian Sunan Gresik melanjutkan dakwahnya ke Desa Gapuro Sukolilo Gresik hingga beliau wafat.

Baca juga:  Tiga Hamba Perdamaian dari Maluku

Dakwah Sunan Gresik di tlatah Majapahit saat itu diterima dengan baik oleh Brawijaya V meski Raja Majapahit itu belum berkenan memeluk Islam. Kemudian, Sunan Gresik diperbolehkan menyiarkan ajaran Islam kepada orang-orang pribumi di wilayah pesisir utara Jawa, terkhusus di wilayah Gerwarasi atau Gresik. Aktivitas dakwah Sunan Gresik mula-mula dilakukan dengan cara berniaga dan mengajarkan cara bercocok tanam di daerah yang disebut Desa Rumo, yang menurut cerita tutur masyarakat setempat nama desa itu terkait dengan kata Rum (Persia) yang menjadi tempat pemukiman orang-orang Rum. Dengan berniaga dan bercocok tanam, Sunan Gresik hendak merangkul dan membantu masyarakat pada waktu itu, yang pada saat itu hiudp dalam kelaparan dan serba kekurangan dampak dari perang saudara di Kerajaan Majapahit.

Dalam catatan Agus Sunyoto, desa Rumo berada dekat dengan komplek makam Fatimah binti Maimun di Leran yang dalam inskripsi batu nisannya tertulis wafat pada tahun 475 H/1082 M. ini menunjukkan bahwa Sunan Gresik bisa jadi adalah penerus dakwah di wilayah pesisir utara Jawa, terutama di Gresik dan sekitarnya sepeninggal Fatimah binti Maimun. Terlebih lagi ditemukannya makam-makam yang berdiameter panjang yang dikenal dengan sebutan Makam Panjang di komplek makam Fatimah binti Maimun. Setidaknya ada 6 (enam) makam panjang di komplek tersebut, yang menurut catatan arkeologis, makam tersebut berasal dari abad 14-15 masehi yang mungkin berkaitan erat dengan para wali penyiar Islam dari komunitas Arab-Persia, terutama dengan dakwah Sunan Gresik saat itu.

Baca juga:  Pemikiran Syekh Al-Banjari Tentang Manusia

Melalui dakwah yang bersahaja dan santun itu, Sunan Gresik menjadi wali yang masyhur dan banyak warga pribumi yang masuk Islam. Sunan Gresik juga dikenal oleh masyarakat saat itu dengan panggilan Kakek Bantal atau Mbah Bantal. Panggilan tersebut erat kaitannya dengan kebiasaan Sunan Gresik ketika mengaji selalu menaruh al-Qur’an di atas bantal. Selain itu, sebutan Mbah Bantal juga bisa diartikan bahwa cara dan laku beliau dalam berdakwah selalu menghadirkan kenyamanan, kelembutan, dan kedamaian. Sehingga warga yang mengikuti ajakan beliau merasa nyaman dan tentram. Kenyataan ini juga diamini oleh masyarakat Gresik hingga saat ini bahwa syiar Islam yang dibawa oleh Sunan Gresik selalu berlandaskan pada akhlak atau budi pekerti yang baik serta akulturatif dengan budaya, tradisi, dan adat masyarakat local tanpa menghilangkan cahaya keislaman itu sendiri.

Akhirnya, spirit keIslaman yang santun dan ramah seperti yang disyiarkan oleh Sunan Gresik serta para wali lainnya sepatutnya kita lestarikan dan terus kita syiarkan terlebih untuk generasi saat ini. Sadarilah bahwa keislaman yang kita anut saat ini bukanlah suatu yang baru datang kemarin, akan tetapi telah lama menyejarah menjadi bagian dari laku keagamaan umat Islam Nusantara yang membawa panji-panji keluhuran akhlak, keramahan budi, serta kerahmatan untuk sesama. Bukankah Rasul kita pernah menyatakan bahwa Aku (Nabi Muhammad saw.) diutus oleh Allah tak lain adalah untuk menata moralitas dan budi pekerti.

Baca juga:  Choirul Anam, Tiga Wajah dalam Satu Figur (2)

wa Allah A’lam bi al-Shawab…………..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top