Sedang Membaca
Naguib Mahfouz dan Realisme Cinta: Warisan Terbesar Sastra Arab Modern

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Naguib Mahfouz dan Realisme Cinta: Warisan Terbesar Sastra Arab Modern

Naguib Mahfouz dan Realisme Cinta

Naguib Mahfouz adalah salah satu penulis paling berpengaruh dalam sastra Arab kontemporer, dia memainkan peran penting dalam menghadirkan realisme dalam karyanya yang menggambarkan kehidupan sehari-hari dunia Arab, terkhusus di Mesir. Dan salah satu tema yang sering ia tampilkan dalam karya-karyanya adalah mengenai cinta.

Mahfouz menyandang gelar “The Nobel Laureate” atau penerima Penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1988. Gelar ini menjadikannya sebagai penulis Mesir pertama yang memenangkan Nobel Sastra. Tentunya penghargaan ini diberikan atas kontribusinya yang sangat besar terhadap sastra Arab dan juga dunia. “Cairo Trilogy” adalah salah satu karya Mahfouz yang paling terkenal, suatu kronik yang memadukan cerita keluarga dengan perubahan sosial dan politik Mesir pada abad ke-20.

Bahkan Gamal Abdel Nasser, salah satu Presiden Mesir sangat menghormati Naguib Mahfouz. Ia menyatakan bahwa Mahfouz adalah “salah satu intelektual terbesar yang pernah ada di Mesir.”

Mahfouz sendiri menggambarkan cinta sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Ia mendapati realisme hubungan manusia dalam konteks budaya dan sosial yang beragam. Cinta dalam karyanya seringkali rumit dan menggambarkan perjuangan karakter-karakternya dari berbagai aspek.

Edward Said, seorang intelektual terkenal dan penulis buku “Orientalism,” memuji karya Najib Mahfouz karena kemampuannya untuk menggambarkan kompleksitas budaya Timur Tengah dengan sangat realistis dan erat dengan kearifan lokal namun tetap dibalut dengan keindahan yang autentik. Dia menganggap Mahfouz sebagai salah satu penulis yang dapat mengubah stereotip orang-orang terhadap dunia Arab melalui perantara sastra.

Baca juga:  Farag Fouda: Intelektual Muslim yang Ditembak Mati

Di dalam novel “Midaq Alley” karya Naguib Mahfouz, perjalanan cinta antara Hamida dan Abbas mengalami perjalanan tragis yang menyayat hati. Yang kelak, kisah ini menjadi salah satu simbol kesenjangan antara si borjuis dan si proletar di dunia  Arab.

Hamida, wanita muda yang memiliki ambisi besar, terus mengejar impian-impiannya untuk mengubah nasibnya. Ia telah menjalani hidupnya dalam keadaan serba terbatas dan sering kali membawa kepada keputusasaan.

Perasaan cinta yang tulus dan tanpa syarat dari Abbas terhadap Hamida menjadi salah satu elemen paling kuat dalam novel ini. Meskipun Hamida merasa bersalah karena berbagai tindakannya yang egois, dia juga menyadari bahwa cinta Abbas adalah cinta yang benar-benar tulus.

Berikut salah satu kutipan dari novel ini, yang menggambarkan perasaan Hamida terhadap Abbas:

“Dia bingung karena merasa bersalah kepada Abbas, dan di waktu yang bersamaan juga mencintainya. Karenanya, dia sering menyingkirkan dan menganggap perasaan cintanya itu sebagai suatu hal yang harus ia tinggalkan.”

Dalam bab-bab terakhir novel ini, semua memuncak ketika perasaan bersalah Hamida dan usahanya untuk mencapai ambisinya mengakibatkan kematian Abbas. Abbas meninggal sebagai akibat dari kebohongan Hamida yang telah berusaha untuk mengejar ambisi-ambisinya yang semu dengan mengorbankan seseorang yang benar-benar mencintainya.

Baca juga:  Amr bin Jamuh: Sahabat Sepuh, Veteran Perang Uhud

Kejadian ini mencerminkan konflik yang sering terjadi antara cinta dan realitas sosial. Mahfouz melalui karyanya memperlihatkan bahwa meskipun cinta bisa menjadi kekuatan yang membangkitkan, ia juga bisa menjadi penyebab tragis jika disalahgunakan atau bertentangan dengan realitas kehidupan.

Ambisi, cinta, dan realitas yang terdapat dalam akhir novel “Midaq Alley” bisa dianggap sebagai bentuk awal dari pemicu komentar sosial, dan juga menjadi cermin yang merefleksikan keadaan berbagai elemen masyarakat saat ini.

Melalui novel “Midaq Alley” dan karyanya yang lain, Najib Mahfouz seringkali membawa pembaca dalam perjalanan melihat realitas cinta di kehidupan sehari-hari yang kompleks dan rumit. Dengan penggambaran yang sangat gamblang, ia mengajak kita untuk memahami dan merenungkan aspek-aspek universal cinta dan kehidupan manusia yang relevan, tidak hanya dalam konteks dunia Arab, tetapi juga bagi khalayak di seluruh dunia.

Naguib Mahfouz juga telah menggambarkan untuk kita semua, bahwa cinta bisa datang dalam berbagai warna yang beragam, cinta juga bisa menjadi elemen yang tak terhindarkan dalam konflik keluarga, perjuangan sosial, dan pertumbuhan manusia.

Sebagai penutup, karya-karya Naguib Mahfouz telah menjadi saksi sejarah budaya dan sosial di Mesir. Dan cinta adalah salah satu elemen sentral yang digambarkan olehnya dengan begitu indah dan realistis, di suatu kesempatan ia pernah mengatakan:

Baca juga:  Ulama Banjar (114): Prof. Dr. H. Alfani Daud

أقصى درجات السعادة هو أن نجد من يُحبنا فعلا ، يُحبنا على ما نحن عليه … أو بمعنى أدق يُحبنا برغم ما نحن عليه

“Puncak dari kebahagiaan adalah menemukan seseorang yang benar-benar mencintai kita, mencintai kita apa adanya, atau dengan kata lain, mencintai dengan segala kekurangan yang ada”

Naguib Mahfouz meninggal dunia pada awal 29 Agustus 2006 pada usia 95 tahun setelah berjuang selama dua puluh hari setelah masuk rumah sakit polisi di distrik Al-Agouza, Giza, karena masalah kesehatan paru-paru dan ginjal. Sebelumnya, ia telah masuk rumah sakit pada bulan Juli tahun yang sama karena luka parah di kepala akibat jatuh di jalan. Pemakaman dan perayaan kehidupannya dihadiri oleh ribuan orang yang memandangnya sebagai salah satu penulis terbesar dalam sastra Arab modern. Karyanya terus dihargai dan dibaca di seluruh dunia sebagai warisan penting dalam sastra dunia.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top