“Indonesia semakin mirip bangsa-bangsa bekas jajahan Inggris. Semakin banyak orang Indonesia yang tidak mampu menulis satu halaman atau bicara lima menit dalam bahasa Indonesia yang mulus, tanpa istilah-istilah bahasa Inggris mutakhir yang sedang pop. Mereka juga tidak mampu menulis satu halaman atau bicara lima menit dalam bahasa Inggris yang mulus, tanpa berlepotan logat dan pengaruh tata-bahasa bahasa Indonesia.”
Kutipan panjang di atas saya ambil dari kolom Asal Usul anggitan Ariel Heryanto bertajuk Nadine yang terbit di Harian Kompas, 30 Juli 2006. Naga-naganya, kondisi kita tidak jauh berbeda hari ini. Kebanyakan kita, tak peduli dari kalangan mana, faktanya mengalami kesulitan untuk sakadar satu sampai lima menit berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mulus. Ringkasnya, pada posisi ini, kita semua adalah amatir, termasuk yang mendaku ahli dan pakar bahasa sekalipun.
Kesan itu juga saya tangkap dari tulisan Mas Ulil Abshar Abdalla bertajuk “Kita Masih Berbahasa Indonesia dengan Buruk Sekali Secara Akademis”. Kita bisa dengan mudah mendaftari berapa istilah asing yang menjadi ornamen tulisan yang menyesalkan kondisi betapa buruknya cara berbahasa Indonesia kita secara akademis. Bak meses yang ditaburkan pada donat, tentu saja saya tidak sedang mengatakan bahwa hal itu dilakukan sebagai upaya agar tampak lebih intelek dan ilmiah. Bukan. Sama sekali bukan.
Justru yang sedang ingin saya katakan—juga saya takutkan– adalah jangan-jangan gejala ini menunjukkan bahwa fenomena ini memang lumrah, seolah-olah tidak ada masalah dan tidak disadari bahwa kita semua sedang megalami kesulitan untuk paling tidak mencari padanan. Bahkan, pada level yang lebih dalam kebanyakan kita akan kepayahan dan babak belur karena tidak mengerti cara merumsukan pikiran selain menggunakan bahasa—meminjam Ariel—Engdonesia itu. Singkatnya, kita memang malas.
Apa yang disesalkan dan digelisahkan oleh Mas Ulil Abshar Abdalla adalah salah satu produk yang lahir dari kemalasan kita. Selain tentu faktor bahwa kita adalah bangsa yang—meminjam pembabakan Walter J. Ong dalam Orality and Literacy—lebih dominan menggunakan tradisi lisan dibandingkan tradisi tulisan, kita punya persoalan serius soal pasokan bacaan yang memadai dan bisa kita jadikan bahan untuk mengulak kosakata untuk kemudian belajar menata ulang dan memugarnya menjadi sebuah konstruksi kalimat yang utuh, logis, dan indah.
Ciri utama bangsa bertradisi lisan kuat adalah mengandalkan ingatan sebagai tumpuan untuk mendulang pundi-pundi kosakata. Jika ingatan memudar atau bahkan hilang, maka raiblah sudah kosakata. Sebab tumpuhan utama tradisi lisan adalah ingatan, maka sudah sangat mungkin jumlah kosakata menjadi terbatas. Efeknya, bangsa yang cenderung mengandalkan tradisi lisan akan miskin konsep dan surplus slogan. Jika ini yang terjadi dan bisa menjadi argument dan penjelasan, maka tidak menjadi mengherankan jika hari ini kita berada di posisi ini: rudin konsep, inflasi slogan.
Contoh paling konkret dan baik untuk menjelaskan papa dan rudinnya kita dalam merumuskan sebuah konsep barangkali terekam dalam sebuah judul salah satu artikel Emha Ainun Nadjib dalam buku Markesot Bertutur Lagi “Mbok ya Anumu itu Jangan Dianukan ke Anunya Anu”. Banyaknya “anu” adalah salah satu indikasi miskinnya konsep atau pertanda kesulitan kita merumuskan dalam sesuatu.
Apa yang disebut Mas Ulil sebagai berbahasa Indonesia yang baik, yang hanya diringkus dengan beberapa parameter saja—antara lain dilihat dari cara membuat kalimat yang benar secara gramatika dan teknik menuliskan pungtuasi—sebetulnya sudah menjadi perdebatan yang cukup lama. Ini salah efek kesekian yang lahir dari cara pandang teknokrasi bahasa yang punya kecenderungan “mebaris-berbasikan” praktik berbahasa Indonesia dalam kerangka dogmatis: baik dan benar.
Maka, sebetulnya kita punya PR yang cukup mendasar dengan rutu seperti ini kira-kira: kemalasan menjadikan kita miskin bacaan. Miskin bacaan membuat kita tak punya keterampilan hanya untuk sekadar bisa membedakan mana tulisan baik dan mana tulisan buruk. Ketidakteramnpilan kita untuk sekadar memiliki bacaan yang punya kualitas baik dan buruk menjebloskan kita pada kondisi rudin konsep dan miskin kosakata sebagaimana yang saya singgung di atas. Kemiskinan konsep membuat kita babak belur untuk hanya sekadar menulis dan mengungkapkan gagasan dengan baik dan jernih.
Bahwa ada yang perlu dan harus dibenahi dari pembelajaran bahasa Indonesia, itu sudah pasti. Tapi tentu hanya membebankan persoalan ini pada pihak-pihak yang dianggap punya tanggungjawab dalam hal ini juga bukan perilaku yang arif dan bijaksana. Situasi berbahasa Indonesia kita hari ini barangkali setungku seperloyangan dengan kondisi kemacetan. Pada setiap kemacetan, kita adalah pelaku sekaligus korban.
Dari mana kita harus memperbaiki? Begitu tanyaannya Mas Ulil. Jawabannya ringkas dan purba: dari kita masing-masing. Seperti yang sedang saya lakukan ini: belajar untuk paling tidak tak menaburi tulisan-tulisan dengan istilah asing dan cetak miring yang membuat pembaca keluar mimis dan memiringkan kepala saat membaca.
Begitu, kira-kira.