Kita ke masa lalu, mengingat sekian toko buku pernah turut meramaikan kota-kota dan membahagiakan kaum pembaca. Kunjungan ke masa lalu setelah mendapat pengumuman Toko Buku Toga Mas di Solo tutup akhir Juni 2022. Toko memberi kenangan buku bagi para pelajar, guru, mahasiswa, pengarang, dan lain-lain. Pada abad XXI, toko buku tutup tak lagi mengejutkan bila mempertimbangkan perubahan sistem produksi dan distribusi buku di zaman bergawai.
Pada 2021, terbit buku berjudul Dari Toko Buku ke Toko Buku garapan Muthia Esfand. Ia menulis sekian toko buku di luar negeri, bukan di Indonesia. Kunjungan-kunjungan sejenak dilakukan untuk mengetahui sejarah, dagangan buku, pemilik, tanggapan publik, dan lain-lain. Di negara-negara sana, ada sekian toko buku bersejarah menandai perkembangan kota, geliat sastra, pemajuan pendidikan-pengajaran, perang, dan lain-lain.
Perjalanan jauh dan lama dilakukan Muthia Esfand demi (toko) buku. Ia menjelaskan: “Buku ini memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencintai buku sama seperti mereka mencintai diri mereka sendiri. Aku tidak peduli walaupun secara kalkulasi hitungan jumlah homo sapiens dari jenis ini jumlahnya sangat terbatas. Namun, aku akan sangat bahagia jika ada yang mau mencoba membaca meskipun bukan bagian dari ordo buku…”
Kita mungkin bisa meniru usaha dan cara mengekalkan ingatan-ingatan tentang puluhan toko buku seperti dibukukan Muthia Esfand. Ia sadar dengan pilihan alamat toko buku di pelbagai negara, bukan Indonesia. Kita mengerti penulisan sejarah toko buku di Indonesia belum meriah. Kita masih mungkin membuat album ingatan dengan membuka majalah-majalah lama dan buku-buku biografi.
Kini, kita bernostalgia toko buku melalui majalah Minggu Pagi terbitan masa 1950-an. Ingatan terkuat untuk Toko Buku KR (Kedaulatan Rakyat) gara-gara sering diiklankan dalam Minggu Pagi. Para pembaca majalah laris itu mendapat bujukan: “Tahukan saudara? Bahwa ditoko KR itu lengkap segala bukunja? Kalau ada waktu silahkan kundjungi toko kami, dan djangan lupa bawa anak atau adik-adik. Walau tidak membeli tidak apa, asal sadja toko kami dikundjungi.” Kalimat-kalimat membujuk terbaca dalam Minggu Pagi, 11 Juli 1954.
Pada masa lalu, orang-orang berkunjung ke toko buku sebagai peristiwa istimewa. Bapak dan ibu mungkin mencari dan membeli buku-buku pelajaran untuk anak. Toko buku menjadi tempat penting untuk lakon pendidikan dan pengajaran. Anak dan remaja pun suka mengunjungi toko buku. Mereka mungkin menginginkan buku cerita atau komik. Di Yogyakarta, mereka bisa mengunjungi Toko Buku KR beralamat di Tugu Kidul 42.
Iklan berbeda tersaji dalam Minggu Pagi, 14 Februari 1954. Toko Buku KR mengajukan daftar judul buku. Pembaca digoda agar tergiur membeli buku-buku cerita. Di iklan, ada 49 judul buku. Semua buku cerita, tak ada buku pelajaran, agama, atau politik. Kesengajaan dari pengiklan. Pembaca maklum setelah membaca kalimat: “Hidangan istimewa dihari Minggu. Kami akan menjediakan karangan-karangan bernilai untuk saudara-saudara guna menghilangkan lelah setelah bekerdja.” Buku berhubungan Minggu. Orang-orang libur diajak menikmati buku cerita. Mereka diminta membeli di Toko Buku KR dengan datang ke tempat atau memesan untuk dikirim ke rumah.
Minggu Pagi tak cuma memberi halaman untuk iklan-iklan Toko Buku KR. Iklan sekian toko buku di Solo, Jakarta, Semarang, Surabaya, Kediri, dan Medan juga sering dimuat dalam Minggu Pagi. Iklan mereka tak melulu buku. Kerja sama pihak Minggu Pagi dan toko terjadi. Toko buku di pelbagai kota menjadi agen Minggu Pagi. Hubungan mereka mesra demi memanjakan publik dengan buku dan majalah.
Pada 1953, Haji Masagung memulai bisnis besar perbukuan dengan membuka Toko Buku Gunung Agung di Jakarta, berlanjut membuka cabang di pelbagai kota, termasuk Yogyakarta. Toko buku itu besar dengan penjualan buku-buku pelajaran. Pada masa 1950-an, kebutuhan buku-buku pelajaran terlalu besar demi memajukan pendidikan. Untung besar sekian toko buku di kota-kota memang sering berasal dari buku pelajaran.
Di majalah Minggu Pagi, 16 Agustus 1953, iklan Toko Buku Gunung Agung mencapai 3,5 halaman. Judul besar: “Buku-Buku untuk Sekolah Rendah”. Bisnis buku pelajaran terbukti menguntungkan, sejak dulu sampai sekarang. Pendirian ratusan toko buku di pelbagai kota masa lalu mungkin dipicu buku pelajaran. Pendidikan sedang berkembang. Murid-murid dan para guru memerlukan buku pelajaran untuk menjadikan revolusi bermutu mengacu pendidikan dan pengajaran.
Toko Buku Lauw beralamat di Pasar Pon 9, Solo, turut beriklan di Minggu Pagi, 22 Januari 1956. Iklan kecil tapi ingin meraup untung. Dulu, pelanggan Minggu Pagi di Solo termasuk terbesar, memungkinkan iklan-iklan toko buku bakal berdampak. Kita simak: “Gratis! Daftar buku-buku chusus untuk murid-murid jang hendak menghadapi udjian SMP, SKP, SGB, SGA.” Gratis untuk daftar buku itu memicu orang-orang bersemangat membeli buku-buku persiapan ujian. Buku-buku dianggap menentukan nasib.
Iklan-iklan itu terkenang sambil kita memikirkan nasib toko buku berlatar abad XXI. Sekian toko buku sepi. Situasi itu berbeda dengan kemunculan ratusan toko buku daring. Jenis toko berbeda dari kenangan-kenangan dimiliki para pembeli dan pembaca buku masa 1950-an. Begitu.