Pemerintahan baru telah dilantik. Kabinet baru pun telah dibentuk. Beberapa bidang pengelolaannya diwadahi dalam institusi kementerian baru yang niatannya mencoba lebih fokus dalam pengelolaannya. Tidak terkecuali bidang kebudayaan, dengan dibentuknya Kementerian Kebudayaan dengan Fadli Zon sebagai Menteri dan Giring Ganesha sebagai Wakil Menteri.
Harian Kompas (13/11/2014) menyebutnya sebagai catatan penting bagi Indonesia karena butuh waktu 79 tahun untuk memiliki Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri. Sebelumnya, bidang kebudayaan selalu menempel pada kementerian yang mengurusi bidang lain, seperti pendidikan dan pariwisata.
Pembentukan Kementerian Kebudayaan seperti membuktikan niat pemerintahan Prabowo untuk memberikan perhatian khusus pada pelestarian dan pengembangan budaya sebagai aspek penting dalam pembangunan nasional. Hal ini telah muncul saat debat kelima calon presiden Pemilu 2024 pada Februari lalu, ketika Prabowo Subianto (saat itu masih sebagai capres) menyatakan setuju dengan rencana pembentukan kementerian kebudayaan.
Dengannya, harusnya akan ada dukungan yang lebih besar untuk melindungi adat istiadat, tradisi, produk dan karya seni hingga logika komunal sebagai warisan budaya yang kaya di seluruh Indonesia.
Pemahaman
Karena kebudayaan, kita tahu, tidak semata berwujud kesenian seperti selama ini dipahami sebagian besar masyarakat, tapi meliputi aspek kehidupan sosial masyarakat yang sangat luas. Tidak hanya secara persebaran wilayah, kurun waktu hingga keragaman ekspresinya.
Kebudayaan atau budaya adalah olah budi atau lelaku untuk terus menerus menyelaraskan karsa/raga (kehendak), cipta (pikiran, daya imaji, dan daya cipta), jiwa (tempat niat, tekad, dan dorongan terdalam), dan rasa (bingkai kebijaksanaan dan kearifan, dorongan empati moral yang terdalam). Pemahaman ini telah terumuskan selama ini. Ketika elemen kemanusiaan itu berjalan seimbang, nantinya akan mewujud tata budaya, tata nilai, tata masyarakat, tata negara, juga tata peradatan dan peradaban yang lebih berkualitas.
Dengannya, seturut Nunus Supardi (2024), kebudayaan bisa meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi dan kohesi sosial, turut melindungi lingkungan hidup, dan memperkuat pembangunan yang berpusat pada manusia dan berakar pada konteks yang spesifik. Kebudayaan menjadi salah satu pilar pembangunan selain kemakmuran ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Untuk itu, Kementerian Kebudayaan membutuhkan basis logika, kesungguhan, kerja keras dan nafas panjang untuk mengartikan kebudayaan tidak hanya sebagai budi daya, tapi juga sebagai daya budi yang pada akhirnya bisa menjadi sumber daya dalam meningkatkan kualitas manusia serta pembangunan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Semua itu dilakukan sebagai usaha pemajuan kebudayaan yang menyeluruh, integral, berkelanjutan dan kontekstual antara yang bendawi dan tak bendawi, konsep-nilai dan produk-karya hingga yang tradisional dan yang kontemporer.
Artinya, kebudayaan tidak sebatas pembangunan, penataan, pemanfaatan dan pengembangan sarana prasarana melalui pembangunan fisik. Kebudayaan menjadi sebuah konsep relasi sosial yang menggambarkan hubungan dinamis antara berbagai elemen yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain dalam suatu masyarakat atau komunitas. Elemen penyusunnya terdiri dari berbagai unsur kultural, seperti tradisi, nilai, norma, seni, bahasa, pengetahuan, lembaga, dan teknologi, yang saling berhubungan sehingga pemaknaannya selalu dinamis dan kontekstual.
Implementasi
Oleh karenanya harus segera diimplementasikan langkah-langkah yang disusun untuk mengidentifikasi kekayaan budaya, cara mengolahnya, mengatasi masalah finansial dan kebutuhan lainnya, membangun ekosistemnya serta memaksimalkan pemanfaatannya dalam konsep pemajuan kebudayaan. Ini penting agar wacana tentangnya tidak hanya sekedar janji-janji indah politik ketika kampanye tapi menguap begitu saja ketika berkuasa.
Dalam hal ini kita bisa memaknai kebudayaan sebagai investasi. Tidak semata dalam bentuk pembangunan fisik, sarana prasarana/infrastruktur, dalam pembangunan nasional, selain sebagai pengembangan ekonomi kreatif, serta promosi dan diplomasi budaya, kebudayaan yang inklusif dapat menjadi penguatan kohesi sosial dan persatuan nasional. Dengan memaknai toleransi dan pengertian antarbudaya, kebudayaan berperan dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis dan stabil. Ini penting untuk menciptakan kondisi sosial yang kondusif bagi pembangunan nasional.
Oleh karena itu, pada perwujudannya, setiap aktivitas selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia dan mewujud melalui wacana dan kebijakan riil yang dihadirkan dalam kehidupan publik.
Pemikiran ini, seturut Sukidi (2021), seyogianya dimulai dengan kepemimpinan yang visioner, kuat, dan demokratis. Yakni, pemimpin yang memberikan optimisme yang rasional kepada rakyatnya tentang arah bangsa di tengah ketidakpastian global, menjiwai kualitas moral yang kuat di tengah rendahnya etika bernegara, serta memimpin negara secara adil dan demokratis di tengah turunnya kualitas demokrasi. Visi Indonesia maju hanya mungkin terwujud jika perubahan yang radikal dimulai dari pemimpinnya, yang berdiri di barisan terdepan dengan keteladanan moral yang luhur. ”Ing ngarsa sung tuladha,” pesan Ki Hajar Dewantara.
Dengannya, Indonesia sebagai bangsa religius yang majemuk, inklusif, setara, dan berkeadaban; yang berdiri tegak di atas pilar kebinekaan; dengan penghormatan penuh pada harkat dan martabat kemanusiaan universal yang adil dan beradab, yang satu dan setara; dengan spirit persatuan dan kesatuan sebagai ikatan bersama di tengah kebinekaan dari segi apa pun; yang diselenggarakan berdasarkan kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah; dan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi apa pun (Sukidi, 2021). Itulah esensi kebudayaan Indonesia yang telah dirumuskan para founding fathers.
Janji Politik
Dalam memberlangsungkan kehidupan sebuah bangsa, memang tidak hanya berorientasi fisik, tapi pembangunan kebudayaan juga suatu hal esensial. Maka perspektif kebudayaan para pemegang kebijakan saat ini perlu dikawal, diawasi serta ditagih janji dan komitmen politiknya.
Jangan sampai segala hal yang telah dibangun, disusun dan diselenggarakan sebagai rancang besar ekosistem kebudayaan bangsa setidaknya sewindu terakhir ini dengan tonggak hukum UU Pemajuan Kebudayaan dan kini dilembagakan dalam sebuah kementerian sendiri ini hanya menjadi pemanis dalam gerbong tambahan bagi koalisi gendut pemerintahan yang berhasrat bagi-bagi kue kekuasaan, yang sarat kepentingan politik dan golongan—dan berpotensi kapitalistis nan koruptif—sebagaimana fakta-fakta politik yang selama ini kita hadapi di negara ini. Dan hal ini tentu saja bukan suatu produk bermutu dari pembangunan kebudayaan.