Sedang Membaca
Pemetik Puisi (24): Tak Lengkap, Tak Selesai
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (24): Tak Lengkap, Tak Selesai

Image

Ia bukan ulama atau tokoh penting di pesantren. Kesibukan membuktikan ketekunan berpikir dalam menulis terbaca adalam sastra dan pers. Ia sulit untuk dipilih memberi khotbah Jumat atau Idul Fitri. Tampang saat menua memang tampak seperti resi atau empu tapi tetap saja ia bukan tokoh agama di Indonesia. Ia membaca dan menulis, membaca dan menulis. Ia pun kadang berceramah meski kurang memikat. Omongan jarang lancar. Kuping menganggap tiada kemerduan atau ledakan. Tanggapan berbeda justru saat membaca tulisan-tulisan sering muncul di Tempo dinamai “Catatan Pinggir” dna puisi-puisi.  

Pada 2007, terbit buku berjudul Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai. Di situ, Goenawan Mohamad memberi tulisan-tulisan pendek bernomor. Pembaca disuguhi 99. Jumlah mengesankan bereferensi agama, selain pembaca sering menikmati tulisan-tulisan di pelbagai buku dan majalah bertema agama kadang memukau. Sekian tulisan mengenai Al Ghazali membuktikan Goenawan Mohamad tak main-main membaca sejarah pemikiran Islam, dari masa ke masa.

Di buku teranggap penting sebagai renungan, kita membaca tulisan nomor 23: “Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah. Tiap masa selaly ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun pasir tempat Musa – yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan – mencoba menebak kehendak-Nya terus-menerus. Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai.”

Baca juga:  Sains, Seni, dan Kemanusiaan

Kita ingatkan lagi bahwa Goenawan Mohamad bukan ulama atau tokoh “penting” dalam arus pemikiran keagamaan di Indonesia. Tulisan di buku itu tak perlu dijadikan dalih menempatkan Goenawan Mohamad dalam daftar pemikir Islam berpengaruh di Indonesia. Kita iseng membaca saja. Esai dan puisi gubahan Goenawan Mohamad biasa memberitahu pembaca tentang belum atau tidak lengkap, belum atau tidak selesai. Pembaca diminta lanjut dengan kesadaran memang “mustahil” menuju lengkap atau selesai.

Bukti itu buku berjudul Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Buku mengaku lengkap. Pada tahun-tahun berbeda, Goenawan Mohamad keranjingan menggubah puisi. Buku-buku baru terbit, menjadikan buku mengaku lengkap terbatalkan. Pada 2021, kita belum memastikan bakal terbit buku lengkap. Si tua itu masih menulis, menulis, menulis. Kita mengingat ia masih muda, menggubah puisi terasa mendekati renungan-renungan keagamaan dan ketuhana. Sejak muda, ia sudah berjalan menuju hal-hal bakal terbaca mendalam dan membingungkan dalam buku-buku esai dan puisi.

Pada 1964, ia menggubah puisi berjudul “Pertemuan”. Dua bait jarang mengesahkan Goenawan Mohamad berada dalam daftar pujangga berdakwah. Ia menulis: Meniti tasbih/ malam pelan-pelan/ Dan burung kedasih/ menggaris gelap di kedjauhan/ kemudian adalah pesona:/ wadjah-Nja tersandar di katja djendela/ memandang kita, memandang kita lama-lama. Suasana dan peristiwa religius. Pembaca mungkin merasa berada dalam puisi, menikmati ketenangan dan ketegangan. Goenawan Mohamad pernah menulis esai mengenai sastra dan keagamaan. Puisi itu belum tentu membenarkan kemauan turut dalam arus sastra-keagamaan pernah menguat pada masa 1970-an.

Baca juga:  Ida Iasha dan Adegan Makan Saat Puasa

Dulu, Goenawan Mohamad masih memberi lugu ketimbang mbulet-mbulet terbaca dalam puisi-puisi sejak masa 1970-an sampai sekarang. Episode ia memerlukan bahasa dalam sodoran-sodoran terbaca sampai makna meski tak lengkap. Kita lanjutkan: Demikianlah sunji telah diturunkan/ dan demikianlah Nabi telah dititahkan/ dan demikian pula manusia/ dikirim ke bumi jang terbentang,/ dari sorga/ jang telah ditutupkan. Dan kini tinggalah tjinta/ memantjar-mantjar dari sunji katja djendela. Pada situasi politik buruk masa 1960-an, Goenawan Mohamad emoh dalam godaan dan jebakan slogan. Ia masuk ke situasi menjauahi pidato dan teriak. Pada puisi, kita mengerti ada panggilan-panggilan religius masih dipenuhi berbarengan Indonesia dilanda perintah, marah, dendam, dan kutukan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top