Sedang Membaca
Masjid Cipari yang Mirip Gereja Ini Menyimpan Sejarah Penting
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Masjid Cipari yang Mirip Gereja Ini Menyimpan Sejarah Penting

  • Diserang lebih dari 40 kali serangan militer, yang terbesar pada 17 April 1952, Masjid Cipari tetap berdiri kokoh. Konstruksinya yang tinggi, dengan 70 anak tangga dan menara setinggi 20 meter, membuat masjid ini benar-benar menjadi sebuah benteng pertahanan yang sulit ditembus.

Lewat bangunan masjid, Tuhan banyak memberi contoh tentang keteguhan dan daya tahan. Keteguhan untuk terus mengagungkan naman-Nya dan daya tahan dari berbagai gempuran bencana alam dan perusakan oleh tangan manusia.

Masjid kerap menjadi satu-satunya bangunan tersisa dari sebuah peristiwa besar, menjadi “saksi hidup” yang kokoh berdiri dan dengan caranya membagi cerita yang tak ada habisnya.

Masjid Cipari, kini bernama Masjid Asy-Syura, salah satu di antara bangunan suci yang memiliki kekuatan tersebut.
Masjid Cipari dibagun oleh Ajengan Harmaen, pengasuh pesantren Cipari, dan keluarganya pada 1933, berdasarkan gambar dari arsitek Abikoesno Tjokrosoejoso, lulusan Arnhem, Belanda. Sebuah sumber mengatakan pembangunan masjid ini sudah dimulai sejak 1895 M atau 1312 H.

Bagaimana seorang Abikoesno yang Jawa bersua Haramaen yang Sunda?
Semangat Sarekat Islamlah yang menautkan keduanya. Saat itu pergerakan kemerdekaan Indonesia tengah berada di pucak aktivitasnya. Apalagi Abikoesno itu adik dari HOS Tjokroaminoto. Maka dari bangunan yang mirip gereja inilah aspirasi umat Islam disuarakan.

Pesantren Cipari berkembang menjadi pusat pergerakan Islam di tangan anak-anak Ajengan Harmaen, khususnya oleh Yusuf Tauziri.

Jika tak ada menara dan tanda bulan sabit-bintang di atasnya, bangunan ini akan serta merta disebut gereja. Entah apa yang ada dalam benak Abikoesno saat membuat rancangan masjid ini. Sebagai lulusan Eropa, mungkin saja ia terpengaruh oleh gaya art-deco yang tengah populer saat itu. 

Baca juga:  Gus Dur Menyoal Ekstrimisme dalam Islam
Tak terlihat seperti masjid kan? (Andi Erik/alif)

Bangunannya seperti kubus atau kotak memanjang dengan banyak jendela yang melancarkan sirkulasi udara dan menampung sebanyak mungkin cahaya matahari. Mungkin juga sang arsitek membayangkan satu konsep masjid sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai benteng pertahanan. 

Lokasi Cipari relatif mudah dijangkau karena terletak tak jauh dari perlintasan kereta api jalur Selatan Jawa, yaitu stasiun Cibatu. Kereta api dari timur akan berhenti di Cibatu untuk memastikan kondisi mesin, sebelum menanjak di jalur Limbangan-Nagreg-Cicalengka.

Pada masa kejayaan perkebunan teh di Garut, penumpang dari Cibatu bisa menyambung kereta ke Garut Kota dan terus menuju Cikajang, pusat kawasan perkebunan. Stasiun Cibatu sempat mendunia ketika aktor film bisu Charlie Chaplin diabadikan singgah di sana pada 1927.

Dengan letak geografis seperti itu, tak mengherankan jika Masjid Cipari menjadi pusat pergerakan Sarekat Islam (SI), kemudian Partai Sarekat Islam (PSI), lalu akhirnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tahun 1914, hanya dua tahun setelah SI berdiri, Cabang Cipari sudah mengibarkan bendera organisasi itu.

Garut memang merupakan basis SI, PSI dan PSII. Pada 1927, dilangsungkan Kongres SI di Kota Intan ini dengan keputusan penting merubah SI menjadi PSI. Kongres menyepakati tujuan utama organisasi: Mencapai Kemerdekaan Nasional Atas Dasar Agama Islam.

Baca juga:  Agar Perusakan Masjid Ahmadiyah Tidak Terulang Kembali

Dua tahun berselang barulah terbentuk PSII. Yusuf Tauziri yang saat itu tampil sebagai kiai muda yang bersinar, menjadi identik dengan Cipari. Sebagai sesama aktivis PSII, ia berkawan karib dengan Maridjan Kartosuwirjo, bahkan disebut menjadi guru spiritualnya.
Ketika PSII terpecah, Tauziri berada di pihak Kartosuwirjo. Tauziri kemudian menjadi pembimbing Institut Suffah yang menggembleng anggota PSII versi Kartosuwirjo, yang kelak menjadi kader militan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII).

Namun, seiring waktu, ketika gerakan Kartosuwirjo mengarah pada pemisahan kedaulatan dengan Republik Indonesia, Tauziri bersimpang jalan. Ia keluar dari konsep Darul Islam (rumah Islam) dan beralih pada tujuan baru yaitu Darus Salam (rumah Keselamatan). 

Tauziri akhirnya berhadapan dengan Kartosuwirjo. Berpuluh kali ia diserang secara militer, tapi kokohnya tembok Masjid Cipari telah menjadi benteng pertahanannya yang tangguh. Inilah fakta sejarah yang unik, ketika wilayah Utara Garut menjadi basis DI/TII, Masjid Cipari yang berada di tengah-tengahnya, justru menjadi benteng pertahanan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sekalipun menerima gempuran lebih dari 40 kali serangan militer, yang terbesar pada 17 April 1952, Masjid Cipari tetap berdiri kokoh.

Dikelilingi asrama pesantren (Elik Ragil/alif)

Konstruksinya yang tinggi, dengan 70 anak tangga dan menara setinggi 20 meter, membuat masjid ini benar-benar menjadi sebuah benteng pertahanan yang sulit ditembus.

Baca juga:  Negara Islam Menurut Husain Haikal

Guyuran deras air hujan dan berondongan mesiu tak sanggup menembus tembok Masjid Cipari. Ia dijaga langsung oleh-Nya, sebagai saksi kebesaran-Nya. Saat masa pergerakan, masjid ini menjadi tempat berkumpul tokoh-tokoh SI/PSI/PSII, mengatur strategi menghadapi penjajah Belanda.

Saat revolusi, masjid ini melahirkan BKR dan TKR lalu menjadi benteng pertahanan dari serbuan Belanda yang ingin kembali menguasai bekas negeri jajahannya.

Saat kemerdekaan belum lagi berusia 10 tahun, masjid ini berdiri tegak mempertahankan NKRI, dari serbuan kelompok separatis yang coba mendirikan negara tersediri.

Tidaklah berlebihan jika masyarakat menyebutnya masjid penuh dengan karomah atau keramat, karena menurut ukuran logika, seharusnya masjid ini sudah luluh lantak.

Masjid di lingkungan pesantren itu kini masih tegak berdiri, seolah terus mengawasi dan menjaga santri-santri dari tingkat TK hingga SLTA yang datang silih berganti, menyerap ilmu pengetahuan untuk merevolusi mental, sebagai bekal mengisi pembangunan negeri Indonesia. Negeri yang ikut diperjuangkan oleh para pendiri dan pengurusnya sepanjang air yang selalu mengalir jernih dan tanah yang subur, terjaga di kawasan Cipari.

Demikianlah masjid Cipari, saksi revolusi yang sejati.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top