Sedang Membaca
Sebuah Mobil yang Mengubah Sejarah Politik (Islam) Indonesia
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Sebuah Mobil yang Mengubah Sejarah Politik (Islam) Indonesia

Mobil Chevrolet Bel Air 1953

Tahukah Anda bahwa sejarah politik Islam di Indonesia (bahkan sejarah Indonesia secara umum) turut ditentukan oleh sebuah mobil. Mau tahu ceritanya?

Di tulisan ini saya akan menceritakan mobil itu, tapi sebelum itu mari kita simak sejumlah peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia.

Tahun 1939, NU bergabung ke dalam sebuah wadah yang bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah konfederasi organisasi-organisasi Islam di Hindia Belanda yang didirikan tahun 1937. Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU mulai memainkan peran-peran politik melampaui jam’iyah-nya, antara lain melalui MIAI ini.

Kelak, di zaman Jepang, platform dan struktur MIAI ini akan bergeser menjadi Majelis Syuro Muslimin (Masyumi). Di masa Jepang ini terbentuk lembaga bernama Shumubu, yang semula dipimpin oleh seorang perwira Jepang bernama Kolonel Horie, lalu diganti oleh Husein Djajadiningrat, sebelum akhirnya dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Shumubu ini adalah embrio kementerian agama di Indonesia.

Dalam masa ini, Kiai Hasyim Asy’ari secara sangat intensif mengkader putranya yang berusia 20an tahun, Abdul Wahid Hasyim, untuk memainkan peran-peran politik kebangsaan. Kepemimpinan yang dipegang oleh Kiai Hasyim di sejumlah organisasi, pada praktiknya diselenggarakan secara harian oleh Gus Wahid, demikian Saifuddin Zuhri muda memanggil Abdul Wahid Hasyim yang sedikit lebih senior, seperti diceritakan dalam bukunya, Guruku Orang-Orang dari Pesantren.

Pada masa persiapan kemerdekaan, Gus Wahid yang oleh publik mulai disebut sebagai “Kiai Wahid” memainkan peran besar lewat BPUPKI, PPKI dan Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan dasar negara berdasarkan lima prinsip yang diusulkan oleh Soekarno tanggal 1 Juni 1945.

Setelah Negara Indonesia berdiri, Kiai Wahid diangkat oleh Bung Karno menjadi menteri agama. Di masa ini, platform dan basis sosial Masyumi era Jepang digunakan untuk mendirikan sebuah partai politik dengan nama yang sama. Meski kabinet jatuh-bangun, dalam masa itu, Masyumi berhasil mengklaim kursi menteri agama untuk tokoh-tokohnya. Dari tahun 1945-1952, hanya pada bulan Oktober-November 1947 saja ada menteri agama dari PSII, selebihnya dari Masyumi. Mayoritas menteri agama dari Masyumi adalah tokoh NU. Hingga tahun 1952, Kiai Wahid menjadi menteri agama di empat kabinet yang berbeda.

Tahun 1952, Wilopo menunjuk Fakih Usman sebagai menteri agama. Ini “menginterupsi” tradisi politik yang mulai terbentuk bahwa kementerian agama dipegang oleh NU. Interupsi ini tentu sangat mengecewakan bagi NU. Kekecewaan NU ini menguat karena lembaga majelis syuro di Masyumi kian diperkecil perannya. Ini membuat ulama-ulama NU di majelis syuro kian sulit menentukan langkah parpol ini. Sementara itu di NU sendiri mulai lahir tokoh muda (seperti Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri) yang perlu ruang gerak yang lebih besar.

Baca juga:  Kopi dalam Sejarah Islam: Siapa yang Meracik Kopi untuk Pertama Kali? 

Hanya sepuluh hari setelah pencalonan Fakih Usman sebagai menteri agama disetujui oleh formatur kabinet, NU secara resmi menyatakan keluar dari Masyumi. Tanggalnya adalah 15 April 1952.

Bukan lagi menteri agama, Kiai Wahid kembali fokus pada urusan jamiyah NU dan banyak melakukan perjalanan ke luar Jakarta. Sejarah mencatat bahwa salah satu perjalanan Kiai Wahid telah merenggut nyawa dia. 18 April 1953, dalam sebuah perjalanan ke Sumedang, Kiai Abdul Wahid Hasyim mengalami kecelakaan.

Di jalanan berkelok yang licin antara Cimahi dan Bandung, sekitar jam 1 siang, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan mengunduri sebuah truk yang berhenti karena melihat mobil itu berputar. Kiai Wahid dan rekannya, Argo Sutjipto, terlempar dari jok belakang, mengalami luka parah, dan meninggal sehari kemudian. Usia Kiai Wahid saat itu tak sampai 39 tahun.

Di dalam mobil itu, duduk di jok depan bersama supir, ada putra pertama dia, Abdurrahman Wahid yang baru berusia 12 tahun. Supir dan Gus Dur sama-sama selamat dalam kecelakaan itu. Gus Dur saat itu ingat bahwa Kiai Wahid memberitahu padanya, ada bungkusan berisi banyak uang di jok belakang. Setelah kecelakaan, Gus Dur memeluk bungkusan berisi uang itu erat-erat, dan baru menyerahkannya kepada Nyai Wahid ketika dia tiba di rumah sakit tempat Kiai Wahid dievakuasi pasca kecelakaan.

Meninggalnya Kiai Wahid Hasyim adalah guncangan serius terhadap politik Islam di Indonesia. Kiai Wahid adalah seorang politisi yang sangat penting. Dia diharapkan oleh banyak kalangan untuk terus turut memimpin Indonesia. Keluarnya NU dari Masyumi dan meninggalnya Kiai Wahid setahun kemudian adalah disrupsi serius terhadap arah perjalan politik Indonesia.

Sekarang mari kita berandai-andai. Jika saja Kiai Wahid tidak meninggal tahun 1953, apa yang akan terjadi?

Yang jelas akan terjadi adalah: dia tetap akan menjadi tokoh penting di NU. Karena bukan menteri agama, ada kemungkinan dia akan lebih aktif di struktur formal NU. Andai saja Kiai Wahid Hasyim masih hidup, ada kemungkinan dia akan menjadi ketua umum PBNU tidak lama kemudian, barangkali sebelum pemilu 1955.

Andai itu terjadi, mungkin suara NU di pemilu itu akan lebih besar. NU mungkin tetap berada di urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi, tetapi dengan prosentase suara lebih besar. Andai suara NU lebih besar, dan Kiai Wahid berada di parlemen atau konstituante, ada kemungkinan dia akan menjadi tantangan berat bagi langkah-langkah yang dilakukan oleh Muhammad Natsir, untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (1): Sejarah Singkat Muhammad ibnu Abdul Wahab

Andai Kiai Wahid masih ada, kemungkinan Natsir tidak akan memiliki rasa percaya diri politik yang tinggi di parlemen untuk menggalang kekuatan mendukung ide Islam menjadi dasar negara. Kalau Natsir tidak cukup punya kekuatan di parlemen, tentu BK tidak perlu khawatir-khawatir amat bahwa Pancasila akan digantikan oleh Islam sebagai dasar negara melalui proses formal di konstituante.

Kalau BK tidak khawatir, maka kekhawatiran itu tidak akan digunakan oleh AH Nasution untuk mendorong dia melakukan intervensi politik. Artinya, jika Kiai Wahid masih hidup, ada kemungkinan BK tidak akan mengeluarkan dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Apa itu artinya?

Artinya mungkin Konstituante akan terus lanjut bekerja, hingga menghasilkan konstitusi baru, tapi tidak dengan perubahan besar soal dasar negara. Dasar negara akan tetap Pancasila, tetapi akan ada konstitusi baru yang jauh lebih bagus daripada UUD ‘45 yang terlalu ringkas dan dharuri itu.

Konstitusi baru itu mungkin membuat kita tetap dalam sistem parlementer, dengan presiden sebagai simbol negara (karena Indonesia adalah republik), dan perdana menteri sebagai pemegang kekuasan pemerintahan sehari-hari.

Tidak akan ada periode yang oleh BK disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, dan kelak oleh Soeharto akan disebut sebagai “Orde Lama,” yaitu periode saat BK memegang kekuasaan sangat besar sebagai presiden.

Jika BK tidak menjadi presiden dengan kuasa yang sangat besar, mungkin arah ekonomi akan berbeda. Mungkin perdana menteri dan kekuatan di kabinet tidak akan terlalu keras menantang kepentingan-kepentingan asing. Akan ada kompromi-kompromi ekonomi yang tidak akan membuat CIA harus melakukan langkah-langkah politik dan militer untuk menjatuhkan BK yang sangat anti modal asing kala itu.

Ini berarti bahwa tak ada prakondisi yang akan melahirkan peristiwa G-30-S. Lalu militer tidak akan bergerak menghancurkan PKI. Partai itu mungkin akan melemah dengan sendirinya, akibat menguatnya NU, Masyumi dan PNI. Tanpa G-30-S, tidak akan ada era kekuasaan militer selama 32 tahun, dipimpin oleh jendral yang terindikasi kuat bekerja sama dengan CIA menjatuhkan BK agar modal asing dapat masuk ke Indonesia, khususnya Papua.

Jadi bayangkan banyak hal yang akan berbeda dalam negeri ini andai Kiai Wahid tidak meninggal di usia sangat muda pada tahun 1953 ketika dia melakukan perjalanan dengan mobilnya.

Nah mari kita bahas tentang kecelakaan itu sekali lagi. Tahukah Anda apa mobil yang ditumpangi oleh Kiai Wahid dan kecelakaan di sekitar Bandung itu? Mereknya adalah Chevrolet Bel Air, sebuah mobil legendaris berukuran besar yang harganya boleh dibilang sangat mahal.

Baca juga:  Abu Sa’id dan Perannya dalam Pendirian Khanaqah di Persia

Bel Air adalah model yang dipasarkan oleh Chevrolet dari tahun 1950 hingga 1981, dengan ukuran mesin 3.5 dan 3.9 liter. Antara tahun 1950-1952, Chevrolet memasarkan Bel Air dua pintu, dan setelahnya mulai memproduksi sedan full-size empat pintu.

Tak mudah bagi kita untuk mengetahui, dari mana Kiai Wahid memperoleh mobil itu. Jika Bel Air itu adalah keluaran tahun 1953, pasti dia membelinya setelah menjadi menteri. Dari mana kita bisa mengetahui bahwa Bel Air Kiai Wahid adalah produksi tahun 1953? Pertama dari narasi bahwa Bel Air yang dimiliki oleh Kiai Wahid masih sangat baru. Greg Barton dalam bukunya yang terkenal tentang biografi Gus Dur menceritakan bahwa supir Kiai Wahid masih sangat tidak familiar dengan mobil putih berukuran dan bertenaga besar itu. Kedua, kita bahkan bisa menduga lebih tepat tentang tahun mobil itu dari cerita Kiai Saifuddin Zuhri, tokoh NU yang menjadi menteri agama dari tahun 1962 hingga 1966.

Dalam buku berjudul Berangkat dari Pesantren, Kiai Saifuddin bercerita bahwa pada tahun 1956, dia

… membeli mobil bekas milik Ibu A. Wahid Hasyim—Bel Air 1953—dengan harga Rp. 125.000, yang boleh dibayar separonya dulu. Ketika sisanya yang Rp. 65.000,00 hendak aku lunasi, ibu Wahid Hasyim memberi potongan Rp. 5.000,00. Mobil Bel Air itu dipergunakan buat keluargaku di Semarang… (Zuhri 2013, 556)

Sangat boleh jadi, mobil Bel Air yang diceritakan oleh Kiai Saifuddin Zuhri itu adalah mobil yang dipakai oleh Kiai Wahid dalam kecelakaan tahun 1953.

Kalau itu memang benar, berarti mobil yang mengubah sejarah Indonesia itu pernah berada di Semarang, dalam kepemilikan oleh Kiai Saifuddin Zuhri. Ke mana mobil itu sekarang? Dalam sebuah kesempatan, saya pernah bertanya pada Ning Alissa Wahid, putri pertama Gus Dur.

“Sampeyan tahu nggak Mbak, di mana Chevrolet Bel Air punya Kiai Wahid? Sepertinya mobil itu dibeli oleh Kiai Saifuddin Zuhri di tahun 1956.”

“Wah, aku malah gak tahu kalau mobil dia mereknya adalah itu Mas.”

“Jadi nggak tahu di mana mobil itu?”

“Ya nggak tahu.”

Waduh… Kalau Ning Alissa saja tidak tahu, siapa yang tahu keberadaan mobil itu? Mungkin Pak Lukman Hakim Saifuddin, putra Kiai Saifuddin Zuhri, tahu di mana keberadaan mobil yang mengubah sejarah politik (Islam) Indonesia itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top