Annemarie Schimmel adalah salah satu orientalis kenamaan asal Jerman yang memiliki perhatian besar dalam kajian Islam dan Sufisme.
Schimmel, sebagaimana diulas secara singkat oleh Abdussalam Haidar dalam pengantar terjemahan buku autobiografinya, adalah seorang pribadi yang memiliki konsen di isu hubungan antara Barat dan Timur (Baca: Islam). Baik saat ia mengajar di Fakultas Teologi dan Perbandingan Agama di Ankara (1954-1959) maupun saat ia mengajar di Marburg dan Bonn (1959-1968) dan di Harvard (1969-1967).
Schimmel menguasai banyak bahasa. Dari Arab, Turki, Persia, Sindi, Punjabi, Urdu, dan sejumlah bahasa lainnya). Kontribusinya yang cukup besar dalam menyemai hubungan baik antara Barat dan Timur ini membawanya menyabet penghargaan perdamaian (Peace Prize of The German Book Trade) pada tahun 1995. Stephen Kinzer menulis sebuah artikel obituari atas wafatnya pakar tasawuf yang juga mengidolai Jalaludin Rumi ini.
Dalam tulisannya bertajuk “Annemarie Schimmel, Influential Scholar of Islam, Dies at 80” yang dimuat di New Yok Times tersebut, ia mengatakan bahwa tidak sedikit sarjana-sarjana Jerman yang mengkritik penghargaan yang diperoleh oleh Annemarie Schimmel. Salah satunya adalah filsuf kenamaan Jerman, Jürgen Habermas.
Annemarie Schimmel menulis lebih dari 50 judul buku dan ratusan artikel yang diterbitkan di banyak negara. Buku-bukunya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Tak terkecuali dalam bahasa Indonesia.
Ia menulis buku autobiografinya yang berisi perjalanan hidupnya baik di Barat maupun di dunia Timur. Buku tersebut diberi judul Morgenland und Abendland: Mein west-östliches Leben (Munich, 2002). Selang dua tahun kemudian, buku autobiografinya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Abdussalam Haidar dengan judul Al-Syarq wa al-Gharb: Hayati al-Gharb-Syarqiyyah (Timur dan Barat: Perjalananku di Dunia Barat dan Timur). Sang penerjemahnya sendiri merupakan seorang akademisi dan penerjemah otoritatif yang menyelesaikan jenjang doktoralnya di Otto-Friedrich-University Bamberg Jerman tahun 2002.
Ia sendiri sebenarnya cukup enggan menuliskan biografi dirinya. Hanya saja permintaan khusus dari para muridnya yang ingin mengetahui sejarah bagaimana ia belajar, terutama di masa-masa perang di Berlin, menggugahnya untuk menulis autobiografi.
Bertandang ke Indonesia dan Berdiskusi dengan Gus Dur
Buku autobiografinya ini dibagi menjadi tujuh bab. Pada bab pertama ia menceriterakan masa kecilnya hingga ia tumbuh dewasa (1922-1945). Yang menarik, di sub bab dalam bab pertamanya ini ia mengawali tulisannya dengan mengurai kalimat yang dinisbatkan kepada Sayyidina ‘Ali “an-nasu niyamun, faidza matuu intahabuu” (kalimat ini juga terlukis di batu nisan makamnya) yang artinya kurang lebih: semua manusia tertidur. Mereka baru tersadarkan saat mereka mati.
Bab kedua ia mengisahkan tahun-tahun awal pasca perang (1945-1952). Kemudian di bab ketiga (1952-1959) ia menulis tentang Turki yang di mana pada saat itu ia tinggal di sana. Bab keempat (1959-1967) ia menuturkan kembali tanah kelahirannya, Bonn Jerman. Di bab selanjutnya, bab kelima (1967-1992) ia menulis tentang masa-masa ia tinggal di Amerika. Selanjutnya pada bab keenam ia menulis tentang perjalanannya ke negeri timur (meliputi Kuwait, Bahrain, Suriah, Jordania, Mesir, Sudan, Tunis, Maroko, Yaman, dan Arab Saudi, Iran, Afganistan, Asia Tengah, Pakistan dan India, Hingga sub-bab singkat tentang Indonesia).
Nah, di sub bab-nya berjudul “Indonesia” ini ia mengisahkan perjalanannya saat berkunjung ke Jakarta. Isinya cuman sekitar tiga halaman. Namun, yang diceritakan cukup menarik, yaitu perjumpaannya dengan Gus Dur yang saat itu menjadi Presiden Republik Indonesia.
Ia sendiri menyatakan bahwa sangat jarang ia melawat ke Asia Tenggara. Pertama kalinya ia datang ke Asia Tenggara pada tahun 1993. Itu pun bukan ke Indonesia. Melainkan ke Malaysia untuk bertemu dengan Sayyid Naquib Alatas.
Baru pada awal tahun 2000 ia bertemu dengan seorang mahasiswi dari Indonesia yang saat itu mengunjungi saudaranya di Jerman. Sang mahasiswi mengenal nama Annemarie Schimmel karena buku-bukunya sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada pertengahan musim panas, ia mendapat undangan dari Goethe Institut untuk pergi ke Jakarta. Singkat cerita, ia kemudian diajak duta besar Jerman yang sebelumnya sudah terjadwalkan untuk bertemu dengan Presiden Gus Dur di Istana Merdeka.
Tentang pertemuannya dengan Presiden ke-4 RI ini ia menulis:
“Beliau dikenal oleh masyarakatnya dengan panggilan Gus Dur. Seorang presiden yang secara fisik “tidak sempurna” dan (selalu) ditemani putrinya (Yeni Wahid) yang menyenangkan dan memiliki pengetahuan luas. Topik obrolan kami sangat beragam. Dari mulai musik simponi nomor 9-nya Beethoven, politik, mazhab-mazhab sufi dalam Islam hingga sepakbola.”